Tentang Polemik Buya Arrazy Hasyim

Tentang Polemik Buya Arrazy Hasyim

JAS HIJAU – Meski sudah berusaha menghindar semaksimal mungkin, saya tak tahan untuk tak ikut serta menulis soal polemik seorang ustaz yang oleh banyak orang sering disebut “buya”. Buya Arrazy Hasyim—dalam tulisan ini selajutnya disebut AH—namanya menjadi perbincangan tanpa henti di beberapa percakapan Grup WhatsApp dan khususnya di Facebook.

Beberapa pernyataan—dan hal-hal besar—yang dinisbatkan kepada dirinya disoal bahkan oleh mereka yang dulu pernah “mesra” dan duduk bersama. Menarik. Sebab kritik-kritik kepada dirinya justru muncul dari “orang dalam” dan konon ada dari seorang gurunya yang bernama Kiai Marwazi. 

Bagi yang belum kenal, Kiai Marwazi ini adalah seorang santri Syekh Yasin, ulama besar di Mekkah asal Padang. Beliau membuka majelis di sekitar Jakarta dan sekitarnya. Banyak orang berguru kepadanya untuk mengambil sanad dan “konon” salah satunya AH.

Nama-nama lain seperti Gus Abdul Wahhab Ahmad, Ustaz Idrus Ramli, Habib Geys bin Abdurrahman Assegaf, Ustaz Abdul Somad muncul juga dalam percakapan belakangan ini. Ustaz Idrus dan Ustaz Somad pernah satu forum bersama dengan AH. Begitu pula dengan Habib Geys, yang mungkin cukup intens bertemu dengan AH.

Baca juga: Menjawab Tuduhan “Saya NU Ala Mbah Hasyim bukan ala Gus Dur yang Liberal”

Fakta-fakta itu, yang setidaknya menurut saya menarik untuk mengikuti polemik ini. Ada apa? Dan kenapa? Kritik yang muncul dari orang-orang dekatnya jika meminjam bahasa Jam’ul Jawami’ disebut “tidak memiliki motif kesangsian” sebab tak memenuhi itu semua. Motif sangsi bisa muncul jika kritik muncul dari orang—yang maaf—memang selama ini berseberangan dengan AH. Dan ini tidak. 

Jika diinventarisir, sejauh pengamatan saya perdebatan berkisar soal: 1. Tentang seluk beluk ismu ruh, 2. Tentang ekstraksi beberapa tarekat menjadi satu. 3. Sosok Maulana Abati yang sering disebut AH orang Jakarta yang bertemu dengannya di Uzbekiztan dan beberapa masalah yang saya tak tega untuk menuliskannya.

Poin utamanya menurut saya adalah di poin nomer 3. Siapa sosok Abati, guru konon yang membuat AH merinding dan tingkahnya aneh-aneh itu? Kata AH dia sosok yang aneh; secara zahir tidak menampakkan seorang sufi, bayangkan misalnya ketika AH diminta ngajar malah dia main PS. Tetapi jangan salah sangka, setelah main PS ucapan-ucapan sufinya mengalir bak sungai jernih yang menghilangkan dahaga dalam kerongkongan.

AH menyebut Maulana Abati itu wali (entah wali apa; Qutb, Abdal, al-Ghauts atau yang lain?) pertanyannya bagaimana AH mengidentifikasi dia wali? Jika dia mursyid? Dari siapa dia menerima sanad tarekat dan kemursyidan? Bagaimana rekam jejaknya? Siapa gurunya? Dan apa kiprahnya selama ini? Dan segenap pertanyaan lain, yang saya rangkum dari percakapan Facebook dan beberapa WAG.

Kritik-kritik keras mulai dari yang ilmiah hingga yang model debat jalanan bermunculan. Para pendukung AH—termasuk AH sendiri dalam sebuah klarifikasi—menuduh para pengkritik itu tidak melakukan tabayun. Hingga kritik mereka banyak didasarkan fakta-fakta yang tak kuat.

Baca juga: Ketawadhuan Habib Munzir al-Musawa dan Kiai Idris Marzuki Lirboyo

Sementara di sisi lain, beberapa pengkiritik tersebut berasalan bahwa masalah-masalah ini menjadi “masalah publik” karena AH tidak hadir ketika ia diminta klarifikasi. Bahkan konon ditelepon oleh seorang kawan yang dulu akrab dengan AH tetapi tak ada respons.

Untuk memvalidasi klaim itu, saya bertanya apa benar permintaan tabayun sudah ada? Informan yang saya tanyai menjawab: “Ia, sudah tetapi doi tak hadir.” Ia juga mengirimkan bukti foto di mana para kiai menunggu AH.

Masalah kemudian meledak di publik. Perdebatan ramai sekali hingga ada yang mencoba membongkar sosok guru AH yang ia sebut sebagai wali itu. Foto-foto AH cium tangan penuh takzim kepadanya tersebar. Kritik-kritik terus bermunculan, termasuk beberapa kajian AH yang dianggap bermasalah, misal soal menikahi 50 perempuan.

Sementara itu, AH merespons atau memberi klarifikasi atas polemik yang terjadi. Meski tidak dalam forum resmi ia memberi jawaban atas beberapa polemik. Tetapi respons-reponsnya tidak menjawab semua masalah yang dipersoalkan. Mungkin ini efek klarifikasi tidak secara utuh dan ilmiah.

Jadi yang menyimak merasa simpang siur; ia menanggapi masalah yang mana? Kepada siapa ditujukan respons itu? Dan klarifikasi atas masalah pokok, yaitu soal mursyid dirinya belum terjawab secara utuh.

Baca juga: Pandangan Syekh Mualan Nazim Tentang Kiai Jawa

Maka atas nama kehormatan ilmu, baiknya ada yang memfasilitasi bagaimana “meja sidang keilmuan” berjalan dengan terhormat. Buat forum resmi dengan penuh kerendahan hati untuk menjaga nama baik ilmu pengetahuan.

Tabayun dan meja sidang keilmuan ini bukan kepentingan salah satu dari kedua pihak yang berpolemik tetapi kepentingan semua orang dan marwah ilmu pengetahuan. Jadi semuanya butuh; maka tak perlu ditanyakan siapa yang mendatangi siapa tetapi ini datang untuk kepentingan bersama. Agar tak ada klaim, saya sibuk, jadwal padat dan alasan-alasan lain. sekali lagi, demi “kehormatan ilmu pengetahuan”.

Warga Nahdliyin memiliki preseden yang baik soal polemik ini; Kiai Said Aqil Siraj, yang profesor doktor dengan penuh ketawaduaan jauh-jauh hadir ke Sidoarjo untuk menghadiri debat terbuka dengan Gus dan Ustaz yang secara usia masih muda dan membahas hal-hal yang kontroversial dari Kiai Said.

Kiai Said tahu bahwa ilmu harus dijaga. Konstitusi ilmu di atas segalanya. Ia menempelkan atribut, menanggalkan baju kebesarannya untuk hadir menyimak, meluruskan tuduhan-tuduhan atas dirinya. Ini sungguh teladan yang luar biasa.

Saya berharap polemik belakangan ini bisa setidaknya bisa belajar dari kisah Kiai Said itu. Apalagi yang dipersoalkan adalah masalah tasawuf yang mengajarkan akhklak dan kerendahan hati tentunya lebih mudah kiranya untuk mewujudkan sebuah forum terhormat. Agar diskusi tentang tasawuf tidak menjadi debat jalanan.

Baca juga: Menjawab Tuduhan “Saya NU ala Mbah Hasyim bukan ala Kiai Said yang Syiah”

Terakhir kepada beberapa kawan yang kirim pesan kepada saya dan bertanya terkait tarekat dan ajaran-ajaran yang dianggap aneh? Sikap saya tetap makmum kepada Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang dalam salah satu rekaman pidato beliau soal tarekat berkata: “Tarekat benni engak reng ajuel kalambi rombengan” bahasa Madura yang artinya bahwa “tarekat bukan seperti orang jualan baju bekas secara obral.” 

Artinya, masalah tarekat adalah persoalan serius, bukan perkara “murah dan murahan” yang bisa diakses, dibeli semua orang tanpa pandanng bulu. Sebelum bahas tarekat atau menjadi praktisi di dalamnya perlu mempersiapkan banyak hal secara matang. Jangan orang yang belum paham soal mandi junub sudah diajak bahas tarekat. Alih-alih bisa membuat dekat kepada Allah, yang ada malah makin jauh.

Tak perlu kaget dengan klaim-klaim aneh beberapa orang yang menyebut dia sudah sampai kepada Allah SWT dengan cara-cara tertentu. Untuk menuju Allah tak harus dengan cara-cara aneh, cukup pakai cara biasa asal penuh dengan niat tulus dan ikhlas juga bisa sampai kepadaNya.

Jadi petani dengan pertaniannya bisa sampai kepada Allah SWT, jadi pedagang dengan perdagangannya bisa sampai kepada Allah SWT. jadi pejabat dengan jabatannya bisa sampai kepada Allah SWT, jadi guru dengan keguruannya bisa sampai kepada Allah SWT, sebagaimana dalam nazam Hidayatul Atqiya’ yang dipelajari di pesantren-pesantren. [DR]


Baca juga artikel-artikel tentang OPINI dan tulisan-tulisan dari AHMAD HUSAIN FAHASBU di Jas Hijau (jashijau.com).

4 Comments

  1. Bagus tulisannya… sy setuju banget, musti ada Forum Ilmiah, Robbaniah dan Ukhuwah.. untuk mengclearkan masalah ini.. jangan sampai umat tersesat

  2. Setuju Pak Kiai. Untuk sampai kepada Allah SWT tak perlu dengan cara aneh-aneh, karena Allah itu tidak aneh-aneh, Allah itu penuh kasih. Siapapun yang dikehendakiNya akan sampai kepadaNya, apapun profesinya, siapapun orangnya, meskipun dia tidak berilmu tinggi. Hanya butuh kebaikan hati, ketulusan tanpa berharap apapun. Menurut pemahaman saya yang bodoh ini, Allah itu LUAR BIASA, penuh cinta penuh kasih. Dia hanya minta kebaikan hati dan ketulusan kita. Berjalan saja yang lurus pasti akan sampai kepadaNya. Mohon petunjuk Pak Kiai. Salam penuh cinta.

  3. Jadi wali (Kekasih Allah) tidak mesti orang yang bersanad atau orang yang pernah mondok disalah satu pesantren, sebab kekasih itu cukup mengenal siapa yang dicintai dan label wali itu hanya Allah SWT yang berhak memberikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *