JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Abah Guru Sekumpul, Mustasyar PBNU 1994-1999
Home » Abah Guru Sekumpul, Mustasyar PBNU 1994-1999

JAS HIJAU – Menjelang Pemilu tahun 1982, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) paling keras mengusung wacana agar NU kembali ke Khittah 1926. Dua tahun berikutnya, wacana itu kemudian benar-benar disepakati pada Muktamar NU di Situbondo.
Kembalinya NU pada rel 1926—tidak terlibat dalam politik praktis—tentu saja tidak diinginkan sekaligus tidak disukai sebagian orang. Sehingga, banyak gangguan yang dilancarkan, termasuk dari kalangan para dukun yang mengirim pasukan gaib untuk membubarkan Muktamar itu.
K.H. M. As’ad Situbondo selaku tuan rumah tak ingin Muktamar itu diganggu-ganggu. Maka beliau kemudian menghubungi K.H. M. Zaini bin Abdul Ghani—sebagaimana cerita Abah Guru—agar mengontak Raja Jin Islam di Abu Dhabi. Sehingga, gangguan gaib dari para jin jahat itu dihadang dari bangsa jin sendiri.
Keterlibatan Abah Guru dengan Nahdlatul Ulama makin intens pada Muktamar NU 1994 (lihat tulisan Hairus Salim, Gus Dur dan Guru Sekumpul: Sebuah pertemuan). Beliau diundang oleh K.H. Abdurrahman Wahid untuk datang pada Muktamar NU tersebut. Namun karena aral melintang (kesehatan) beliau tidak jadi datang.
Kendati Abah Guru tidak bisa hadir, nama beliau (K.H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani) tercantum sebagai salah satu dari 9 Mustasyar (penasihat) PBNU periode 1994-1999. Dewan penasihat adalah strata tertinggi dalam struktur kepengurusan NU.
Lebih jauh, NU bukanlah organisasi yang baru dikenal Abah Guru, sebab para guru beliau di Pondok Pesantren Darussalam adalah pendiri sekaligus pengurus NU di masanya. Sebut saja, K.H. Abdul Qadir Hasan atau yang dikenal dengan julukan Guru Tuha. Beliau adalah pendiri sekaligus pemimpin pertama NU di Martapura. Kemudian K.H. Husin Ali (anak dari Syekh Ali al-Banjari) ditunjuk sebagai Katibnya (sekretaris).
Tidak hanya Guru Tuha dan K.H. Husin Ali yang mengurus NU, sejumlah nama ulama besar lainnya juga berkecimpung di dalamnya. Sebut saja, K.H. Salim Ma’ruf, K.H. Seman Mulya, K.H. Salman Jalil, dan didukung para ulama yang menjadi pengajar di Pondok Pesantren Darussalam. Bahkan, orang yang menyuruh Guru Tuha menemui Hadratussyekh Hasyim Asy’ari (menurut penuturan K.H. Syaifuddin Zuhri, Banjar Indah) adalah guru ulama Banjar saat itu. Beliau adalah Syekh Kasyful Anwar al-Banjari pimpinan ketiga Pondok Pesantren Darussalam.
Syekh Kasyful Anwar al-Banjari dengan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari satu “alumni”, yakni sempat menimba ilmu pada ulama di Tanah Haram. Salah satunya pada Syekh Bakri Satha (pengarang I’anatut Tholibin).
Karena itu, NU kemudian diwarisi para ulama Banjar berikutnya. Seperti K.H. Khalilurrahman bin K.H. Salim Ma’ruf, K.H. Hasanuddin bin K.H. Badruddin, K.H. M. Fadlan (sepupu Abah Guru), dan K.H. Muhammad bin K.H. Husin Ali.
Hampir semua ulama yang mengurusi NU di Martapura ada keterkaitan keluarga (keturunan) dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Datuk Kelampayan). Jadi kurang tepat, jika ada orang yang mengaku pengikut Datuk Kelampayan, namun mengabaikan ulama yang menjadi penerus perjuangannya.
Nah, semoga tidak ada lagi orang Banjar yang seolah berkata: “Kami Aswaja Banjar tidak perlu NU.”
Pernyataan-pernyataan yang seperti ini adalah pernyataan dari orang yang kurang mengerti sejarah. Syarif Husin mudah digulingkan King Saud dan Wahabi, karena orang Aswaja tidak memiliki kekuatan organisasi. Padahal Aswaja di Tanah Haram pada waktu itu mayoritas. Setelah King Saud berkuasa dengan ideologi Wahabinya, ratalah kubah-kubah makam para isteri dan sahabat Rasul saw, hilanglah peninggalan sejarah yang mengingatkan pada perjuangan mereka, bahkan makam Rasululullah juga mau diratakan.
Menanggapi betapa pentingnya organisasi NU, Habib Abu Bakar al-Masyhur (kakak Habib Umar bin Hafidz) berkata: “Indonesia beruntung memiliki NU.”
NU itu Aswaja. Banyak yang ingin merobohkannya. Dan amat malang, jika dia roboh di tangan orang-orang Aswaja yang tidak tahu, bahwa benteng NU itu ditempa dengan darah, keringat, dan air mata ulama pendahulunya. [DR]
Muhammad Bulkini
Wartawan rubrik religi, muhibbin dan penulis buku Abah Guru Sekumpul dalam Kenangan, juga sebagai anggota PPAGS.

One comment
[…] Baca juga: Abah Guru Sekumpul, Mustasyar PBNU 1994-1999 […]