Adab Santri kepada Guru itu Feodal, Benarkah?

adab-santri-kepada-guru-itu-feodal-benarkah

JAS HIJAU – Percakapan tentang hubungan guru dan murid yang dianggap cenderung feodal ini bermula kala Abdillah Toha mengunggah foto Habib Ahmad bin Novel bin Jindan yang duduk bersimpuh di bawah Habib Umar bin Hafidz.

“Murid, ketua umum Majelis Hikmah Alawiyah Habib Ahmad bin Novel bin Jindan, semalam bersimpuh di bawah gurunya Habib Umar bin Hafidz, mendengarkan pesan sang guru bagi lembaga baru yang dipimpinnya untuk teguh menjalankan misinya bagi kebaikan kita semua,” tulis Abdillah Toha di akun Twitternya (14/10/18).

Tak dinyana, unggahan yang justru terbilang lazim bagi hubungan guru dan murid itu mendapat komentar Saidiman yang mempertanyakan gaya hubungan seperti foto tersebut.

“Apakah gaya hubungan murid dan guru begini tidak rada-rada feodal? Di negeri maju, guru dan murid lebih setara. Saling mengisi malah,” tulis Saidiman mengutip Twit Abdillah Toha.

Baca juga: Ketawadhuan Habib Munzir al-Musawa dan Kiai Ahmad Idris Marzuki Lirboyo


Tentu komentar itu mendapat jamak balasan dari warganet bahwa apa yang dikatakan Saidiman berlebihan. Bahwa sejatinya hubungan guru dan murid seperti itu adalah bagian dari adab bentuk penghormatan murid kepada gurunya. 

Selang sehari kemudian (15/10/18), Nadirsyah Hosen kemudian memberikan tanggapan atas komentar sahabatnya tersebut. Gus Nadir, sapaan karibnya kemudian menuliskan utas di akun Twitternya. Berikut utas yang ditulisnya:

Ada kawan saya yang menganggap foto seorang tokoh yang duduk di bawah, sementara Habib Umar duduk di kursi itu sebuah indikasi ‘feodal’ dalam dunia Pendidikan tradisional. Ini tidak terjadi di dunia Pendidikan negara maju, katanya.

Dunia pendidikan di negara maju memang mengajari sikap egaliter. Bahkan di Australia tempat saya dan belajar, sikap egaliter ini nampak dengan cara memanggil dosen. Di Eropa masih memanggil gelar: Prof XYZ. Di Australia langsung saja memanggil nama depan dosen XYZ tanpa embel-embel.

Di Tanah Air, konon ada sejumlah guru besar yang marah kalau namanya dipanggil tanpa sebutan Prof. Mungkin karena kita bekas jajahan Belanda yang memang soal panggilan ini cukup ‘feodal’.

Baca juga: Ketawadhuan Gus Mus dan Habib Quraish Shihab


Untung Kang Prof Oman Fathurrahman tidak marah kalau saya cuma sapa dengan nama saja. Eh, beneran tidak marah, kan?

Tapi masalahnya benarkah penghormatan yang seolah ‘feodal’ itu mematikan proses egaliter dalam dunia belajar-mengajar? 

Saya kira keprihatinan kawan saya Saidiman ada benarnya juga, hanya mungkin contoh yang dia gunakan kurang tepat.

Banyak memang dosen dan guru besar yang seolah anti kritik dan membungkam mahasiswa atas nama adab. Mahasiswa jadi segan mau komen, apalagi mengkritik dosen di kelas. Tapi pangkal persoalannya memang dosennya yang tidak siap dikritik. Bukan ‘adab’-nya yang harus kita persoalkan. Kan bisa mengkritik dengan adab?

Jadi sikap hormat jangan dikacaukan dengan sikap anti-kritik. Saya mengajar di Monash University tetap ada hormat dari mahasiswa meski tidak dalam bentuk panggilan atau posisi duduk. Rasa hormat itu tetap ada dalam relasi mahasiswa-dosen. Tapi sikap kritis juga wajib diutarakan. 

Baca juga: Ketawadhuan Kiai Nurul Huda Djazuli Ploso dan Kiai Idris Marzuki Lirboyo


Saya kalau bertemu para ulama akan mendahulukan adab. Saya tetatp cium tangan bolak-balik. Kalau pun tidak duduk di bawah, saya tetap mengambil posisi duduk dengan hormat dan menundukkan diri. Mau saya punya gelar berderet sekali pun, saya tetap berusaha menjunjung tinggi adab saat ketemu ulama.

Apa kemudian saya kehilangan sikap kritis saya? Oh tidak. Saya sering berbeda pandangan dengan para kiai. Tapi bukan pribadi para masyayikh yang kita kritik, melainkan pandangannya. Itu pun tetap harus kita sampaikan dengan penuh adab. Bahkan untuk sekadar bertanya pun, kita harus tahu adab.

Lantas bagaimana caranya menyampaikan kritik kepada para kiai? Selain pakai adab, gunakan rujukan yang jelas, jangan asbun (asal bunyi). Dunia para kiai itu dunia kitab. Selama kritikan kita itu ada ‘cantolan’-nya di kitab klasik, Insyaallah para kiai akan mendengar dengan serius.

Kalau pun para kiai tidak lngsung merespon pandangan kita, itu karena para kiai juga tengah mempraktikkan adab lainnya, yaitu menghormati tamunya. Para kiai akan mendengar apa pun omongan tamunya, baik beliau setuju atau tidak. 

Baca juga: Pertunjukan Etika Dua Kiai, Akhlaqul Karimah Tingkat Tinggi


Intinya, soal penghormatan atau adab/etika tetap dijaga baik di dunia Barat maupun Timur, hanya ekspresinya mungkin berbeda. Begitu pula jangan kita kacaukan antara adab dengan sikap kritis. Keduanya, baik di dunia maju atau pendidikan tradisional, dapat berjalan bersamaan.

Tanggapan Gus Nadir itu pun kemudian mendapat tanggapan dari Habib Ahmad bin Novel bin Jindan, sosok yang menjadi perbincangan lantaran fotonya yang duduk bersimpuh di bawah.

“Apa yang antum sampaikan sangat bermanfaat dan berharga sekali. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan keberkahan ats ilmu antum,” tulis Habib Ahmad bin Novel mengomentari tanggapan Gus Nadir. [DR]


One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *