JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Al-Ghazali dan Pengetahuan
Home » Al-Ghazali dan Pengetahuan

JAS HIJAU – Dalam pandangan al-Ghazali, pengetahuan itu dibagi dua macam, pertama adalah al-ulum syar’iyah, kedua adalah al-ulum aqliyah. Al-ulum syar’iyah adalah segala pengetahuan yang sumbernya dari wahyu, baik al-Qur’an atau pun hadis. Sedangkan al-ulum aqliyah adalah ilmu yang sumbernya di luar wahyu misalnya, penelitian data-data empiris atau penalaran murni rasional seperti, ilmu matematika, ilmu tradisi (warisan tradisi), ilmu tentang bagaimana bercocok tanam dan lainnya.
Al-Ghazali juga membagi al-ulum aqliyah menjadi dua kategori, pertama al-ulum aqliyah mahmudah (terpuji), kedua al-ulum aqliyah mazmumah (tercela). Ilmu aqliyah yang terpuji misalnya, seperti ilmu kedokteran, ilmu pertanian, dan ilmu-ilmu yang menjadi syarat untuk tegaknya dunia dan kehidupan ini.
Sementara itu, ilmu aqliyah yang tercela seperti ilmu sihir. Namun demikian, tidak semua jenis ilmu sihir tercela karena, bisa saja ilmu sihir dipelajari (meneliti) bukan untuk mencelakai orang lain. Itu artinya, sekadar meneliti ilmu sihir (dan tidak mengamalkannya), maka tidak termasuk dalam kategori tercela (seorang mahasiswa meneliti untuk mencari tahu bagaimana ilmu sihir, apa saja kebiasaan orang dalam mempraktekkan sihir).
Hubungan dengan Ilmu-ilmu
Imam al-Ghazali adalah ulama yang tidak hanya sekadar mempelajari ilmu agama, tetapi juga mempelajari ilmu-ilmu yang di luar ilmu agama (ulum aqliyah). Beliau menulis kitab Tahafut al-Falasifah sebagai kritik terhadap filsafat. Gara-gara buku ini, al-Ghazali dituduh sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap matinya filsafat di dunia Islam, bahkan juga dituduh bertanggung jawab juga terhadap kemunduran dunia Islam.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana filsafat pada zaman al-Ghazali? Yang disebut dengan filsafat (abad 10 M) sebetulnya adalah ilmu yang di dalamnya ada banyak cabang ilmu. Jelasnya, filsafat adalah ilmu yang di dalamnya terdapat banyak ilmu misalnya, ilmu fisika, kedokteran, astronomi, matematika, logika, politik, sejarah dan lainnya. Semua ilmu-ilmu yang bukan bersumber dari wahyu masuk dalam kategori besar “filsafat”. Berbeda dengan sekarang, ilmu-ilmu sudah berkembang pesat dan berdiri sendiri (independen).
Gus Ulil mengatakan, ilmu filsafat dalam pengertian seperti di atas tidak semuanya dikritik oleh al-Ghazali. Karena itu, al-Ghazali membagi filsafat dalam enam bagian. Pertama, ilmu riyadiyyah atau ilmu yang berkaitan dengan hitungan-hitungan (matematika). Kedua, ilmu mantiqiyyah yaitu, ilmu logika (cara berpikir).
Ketiga, ilmu tabi’iyyah, adalah ilmu yang berkaitan dengan fenomena alam (termasuk disini adalah ilmu fisika, biologi, kimia, astronomi dan lainnya). Keempat, ilmu Ilahiyah (ilmu tentang ketuhanan). Kelima, ilmu siyasiyah yaitu, ilmu tentang politik atau bagaimana cara mengatur negara. Keenam, adalah ilmu akhlak (mengenai teori etika tentang akhlak).
Enam kategori diatas yang menjadi sasaran kritik al-Ghazali adalah ilmu ilahiyat, yang di dalamnya juga membahas akidah. Dalam masalah akidah, kita harus hati-hati, karena orang Islam itu sudah punya patokan akidahnya sendiri. Berbeda dengan orang Yunani (filsafat Yunani dari Plato hingga Aristoteles), dalam masalah ilahiyat, mereka cenderung murni menggunakan akal.
Inilah yang dikritik habis al-Ghazali, karena ilmu ilahiyat para filosof sebagian bertentangan dengan akidah Islam. Misalnya, argumen para filosof bahwa alam itu qadim. Artinya, alam tidak punya permulaan dan sejak dulu ada bersama dengan Tuhan. Begitu Tuhan ada, maka alam juga ada.
Para filosof Yunani berpandangan, bahwa Tuhan dengan alam ibarat seperti hubungan antara matahari dan cahaya. Jadi, begitu ada matahari, maka cahaya ada. Sebaliknya, begitu ada Tuhan, maka ada alam (alam tidak pernah tidak ada, karena adanya alam bersamaan dengan adanya Tuhan).
Sekali lagi, pandangan ini dikritik oleh al-Ghazali karena bertentangan dengan akidah Islam yang sudah diterangkan dalam al-Qur’an, bahwa alam itu diciptakan oleh Allah swt dan punya permulaan. Dengan demikian, alam tidak mungkin qadim, melainkan hadits (baru). Alam adalah sesuatu yang tercipta dalam waktu, mempunyai permulaan, dan tidak abadi, baik abadi ke masa lampau maupun abadi ke masa depan.
Lalu, Apa Inti dari Kritik al-Ghazali?
Al-Ghazali sebetulnya tidak punya masalah dengan ilmu filsafat yang sifatnya thobi’iyah (kealaman), juga tidak mempersoalkan ilmu-ilmu seperti ini karena sifatnya netral (bisa dimanfaatkan untuk orang Islam terlebih kemaslahatan orang Islam). Hanya saja, problem bagi al-Ghazali, jika ada akidah (dalam ilmu ini) yang bertentangan dengan akidah-akidah orang Islam.
Dari sini kita tahu, sekiranya dijadikan landasan untuk melihat hubungan antara ilmu agama dengan ilmu umum (al-ulum syar’iyah dengan al-ulum aqliyah) maka, menurut Gus Ulil, ajaran al-Ghazali bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk melihat hubungan antara dua pengetahuan ini.
Pertama, dengan membagi dua pengetahuan dalam al-ulum syar’iyah dan al-ulum aqliyah, tidak berarti bahwa al-ulum aqliyah lebih rendah. Memang tak bisa dipungkiri selama ini ada tuduhan dikotomi. Artinya, ilmu syar’iyah lebih tinggi dari pada al-ulum aqliyah, sehingga membuat orang Islam lebih suka belajar syariah dan mengabaikan yang aqliyah. Hal ini sangat keliru. Karena al-Ghazali tidak pernah membedakan antara al-ulum syar’iyah dan al-ulum aqliyah. Keduanya, sama-sama tinggi dan harus dipelajari oleh orang Islam khususnya.
Kedua, al-Ghazali mengatakan, bahwa al-ulum aqliyah yang berkaitan dengan tegaknya suatu kehidupan dan ketentraman dunia, wajib dipelajari oleh orang Islam, bahkan hukumnya “fardhu kifayah”. Ketiga, al-ulum aqliyah yang disebut dengan filsafat, tidak masalah dalam konteks akidahnya orang Islam kecuali berkaitan dengan ilmu ilahiyah.
Khusus ilahiyat, al-Ghazali mengharuskannya untuk meneliti dengan benar dan sungguh-sungguh. Misalnya, apakah ada kontradiksi dengan akidah Islam atau tidak, jika ada kontradiksi maka sudah pasti kita harus menolaknya. Wallahu a’lam bisshawab. [DR]
