Al-Ghazali dan Soal Takfir

al-ghazali-dan-soal-takfir

JAS HIJAU – Semalam, saya khataman kitab Faisal al-Tafriqah karya al-Ghazali yang saya baca sejak Ramadan tahun lalu. Saya mau cerita sedikit tentang gagasan dia soal takfir atau mengkafirkan pihak lain yang beda pendapat.

Kitab Faisal al-Tafriqah yang saya khatamkan semalam itu, dalam bacaan saya, adalah kitab tentang toleransi; persisnya “toleransi internal” antar sesama kelompok dalam tubuh umat Islam. Isi kitab ini secara ringkas: sesama umat Islam jangan gampang saling mengkafirkan. Ini berbahaya.

Jika diungkapkan dalam bahasa sekarang, sesama umat Islam jangan saling meng-cancel (mutual cancellation). Sebab takfir pada dasarnya adalah sebentuk cancel culture. Bagaimana cara al-Ghazali mencegah gejala takfir ini? Penjelasannya panjang.

Intinya: al-Ghazali memperluas definisi Islam begitu rupa sehingga semua kelompok masuk di dalamnya. Dengan kata lain: “Muslim” adalah kategori yang inklusif sehingga istilah itu bukan monopoli satu-dua kelompok saja. Kenapa takfir terjadi? Karena definisi Islam dipersempit.

Secara garis besar, definisi iman (yang menjadi fondasi kemusliman) adalah: Percaya kepada segala yang diajarkan Qur’an melalui Kanjeng Nabi. Maksudnya “percaya” di sini adalah: Percaya bahwa segala yang diajarkan di sana benar Ada-nya. Ada dalam bahasa Arab adalah “wujud”.

Baca juga: Al-Ghazali dan Ilmu Kalam


Perluasan definisi Islam dilakukan al-Ghazali dengan cara menganalisis: Apa makna “ada” atau “wujud” itu? Apa itu yang disebut “ada”? Apakah sesuatu disebut “ada” hanya jika memiliki wujud material saja? Bagaimana dengan konsep angka yang hanya dalam pikiran, tak punya wujud material? Apa ia ada?

Al-Ghazali membagi “ada” dalam lima level: wujud dzati (material), hissi (sensical/inderawi), khayali (memorial/dalam memori), ‘aqli (dalam pikiran), dan syabahi (analogical/ secara analogi saja). Menurut al-Ghazali, sesuatu disebut “ada” jika ia ada dalam lima level itu.

Kembali kepada definisi “Muslim”. Seseoang disebut Muslim jika ia percaya pada segala ajaran yang ada dalam Qur’an/sunah; dalam pengertian kandungan ajaran itu benar-benar ada dalam salah satu dari lima pengertian wujud yang sudah dijelaskan tadi.

Karena perdebatan pokok pada saat al-Ghazali hidup (abad ke-11 M) adalah sekitar masalah sifat-sifat Tuhan, maka pokok pangkal pengkafiran antar sesama Muslim di era itu adalah perkara perbedaan tafsir soal sifat-sifat Tuhan. Ini agak mirip-mirip dengan situasi dalam Kristen awal.

Pokok pertengkaran dalam Kristen pada abad-abad ke-4 hingga abad pertengahan adalah soal hakekat Yesus: apakah dia sepenuhnya manusia, sepenuhnya Tuhan, atau dua-duanya? Jika dua-duanya, dua hakekat itu menyatu atau terpisah? Mana hakekat yang lebih utama? Dan seterusnya. Perkara Tuhan mendominasi.

Baca juga: Al-Ghazali dan Syarat Belajar Ilmu Debat


Perdebatan soal-soal iman di era al-Ghazali sama dengan debat-debat dalam Kristen pada masal awal dan pertengahan: soal ketuhanan. Sebab itu adalah “era teosentrisme.” Kita harus memahami konteks seperti ini sebelum membaca debat-debat pada masa itu. Jangan diukur dengan standar sekarang.

Kembali ke soal takfir. Al-Ghazali mengajak kelompok-kelompok dalam umat Islam untuk memperluas definisi “Islam” sehingga bisa mencakup (inclusive) sebanyak mungkin kelompok. Tak gampang saling mengkafirkan. Kebenaran bukan monopoli satu mazhab, kata al-Ghazali.

Al-Ghazali menegaskan: bahkan kebenaran juga bukan monopoli mazhab Asy’ari—mazhab yang diikuti oleh al-Ghazali sendiri; mazhab sebagian besar muslim Sunni di dunia saat ini. Dengan kata lain, al-Ghazali menyerukan (dalam bahasa dialog antar-agama sekarang) “semangat ekumenisme.”

Jika dikafirkan pihak lain, demikian kata al-Ghazali, kita jangan membalas mengkafirkan balik pihak lain itu. Mengkafirkan pihak lain (tanpa mengikuti “qanun” atau kaidah yang dijelaskan al-Ghazali dalam kitab ini) adalah Tindakan keliru. Jangan dibalas balik.

Baca juga: Marah dalam Koridor Syar’i dan Nalar, Catatan Ngaji Ihya’ Gus Ulil


Jangan kekeliruan dibalas balik dengan kekeliruan lain. Nanti akan terjadi “lingkaran setan” kekeliruan tak berkesudahan. Dengan kata lain, lingkaran pengkafiran harus diputus. Jika tidak akan merusak kehidupan umat. Pengkafiran jangan dibalas balik dengan pengkafiran lain.

Dengan kata lain: jika Anda di-cancel suatu kelompok, jangan membalas dengan meng-cancel balik. Sebab jika tidak, yang terjadi adalah siklus cancel culture yang tiada habis-habisnya. Demikian sekelumit ringkasan dari kitab Faisal yang saya khatamkan semalam. [DR]


One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *