Al-Ghazali dan Syarat Belajar Ilmu Debat

al-ghazali-dan-syarat-belajar-ilmu-debat.jpeg

JAS HIJAU – Kitab Ihya’ (karya Al-Ghazali) terbagi empat bagian, 4 jilid besar. Setiap bagian jilid terdiri sepuluh sub kitab, dan dalam setiap kitab ada bab. Semuanya 40 sub kitab. Kita tahu, kitab Ihya’ awalnya dibuka dengan penjelasan bab ilmu (ilm) yang memberikan makna bahwa dalam ajaran Islam ilmu punya kedudukan yang sangat penting sekali.

Kedua, kitab Ihya’ spesifik membahas akidah. Secara tersirat, al-Ghazali hendak mengatakan bahwa, akidah tidak bisa ditegakkan tanpa didasari ilmu. Tak heran jika al-Ghazali membukanya dengan bab ilmu, baru kemudian persoalan iman (akidah). Demikian juga dalam pandangan ulama Islam, akidah tanpa dibarengi ilmu pengetahuan tak boleh ditegakkan—seseorang tidak boleh beriman hanya karena katanya dan ikut-ikutan saja.

Tentang persoalan ilmu al-Ghazali menjelaskan secara rinci. Ada yang menjelaskan keutamaan ilmu, ilmu yang dipuji dan dicela, adab dan mengajarkan ilmu, adab murid dan guru, tanda-tanda orang mencari ilmu untuk dunia (ulama jahat) dan akhirat (ulama akhirat). Pertanyaannya adalah, kenapa orang-orang yang mencari ilmu (seringnya terjadi) tujuannya untuk menang dalam berdebat?

Sebenarnya, kalau kita telisik, dalam sejarah Islam ilmu tumbuh secara pelan-pelan. Iya tumbuh. Kita tak boleh membayangkan ilmu fikih seperti sekarang, karena ilmu fikih tumbuh melalui tahapan-tahapan dan berkembang hingga akhirnya menjadi ilmu yang kompleks dengan ribuan bahkan jutaan tema.

Dalam perkembangannya, terutama ilmu fikih dan kalam, berkembang sedemikian rupa. Itu sebabnya, kedua ilmu itu dicarinya bukan untuk karena mencapai rida Tuhan, melainkan sebagai bekal atau bahan debat-perdebatan. Mengapa demikian? Karena dua ini memiliki peran yang cukup penting dalam masyarakat.

Ilmu kalam dianggap penting (dari dulu hingga sekarang), karena dalam Islam sering terjadi perdebatan ketuhanan seperti sifat dan asma Allah dan lainnya. Inilah yang menjadi perdebatan dan menimbulkan tuduh-menuduh kafir antara kelompok satu dengan lainnya. Atas kejadian inilah, al-Ghazali kemudian menulis kitab Faishal al-Tafriqah. Demikian juga dengan ilmu fikih yang menjadi perdebatan karena membahas tentang hukum. Dan, kita tahu bahwa madharat-nya perdebatan itu sangat banyak.

Pada zaman al-Ghazali, ilmu pengetahuan umat Islam mencapai puncak peradaban (maju dalam segalanya). Semua ilmu sudah matang. Namun, setelahnya ilmu berkembang seperti syarah (memberi komentar). Karena sudah matang, sekarang ilmu menjadi bahan debat-perdebatan dan mereka berlomba-lomba mencari popularitas (jabatan).

Gus Ulil, mengatakan, khalifah dalam pengertian aslinya (masa sahabat yang empat) itu spesifik sekali. Dalam hal ini, mereka jadi kepala negara dan sekaligus kepala agama. Namun, setelahnya terjadi perpecahan. Dari sinilah muncul perkembangan ilmu sebagai alat perdebatan. Begitu ulama muncul sebagai aktor baru, ada jabatan-jabatan menggiurkan yang harus diisi yaitu fungsi keulamaan. Lalu, orang berbondong-bondong mencari ilmu untuk mendapatkan jabatan itu. Dan akhirnya, ilmu sebagai alat untuk menonjolkan diri (tafahur-tabakhil).

Akibat perkembangan politik terjadi perpisahan kekuasaan politik dan agama. Hal ini, lanjut Gus ulil, meskipun bukan mirip seperti sekularisasi ala Eropa Barat, tetapi ini sekularisasi ala sejarah Islam. Dan, beberapa sarjana modern sudah mengatakan hal ini seperti, Prof. Herman Jansen, seorang muslim muallaf yang sangat alim. Menurutnya, bahwa dalam Islam juga ada perkembangan atau proses sekularisasi.

Syahdan, di bagian berikutnya, al-Ghazali menjelaskan syarat-syarat orang boleh belajar ilmu untuk perdebatan. Perlu diketahui, ilmu perdebatan bukan semuanya jelek, dalam hal ini ada situasi di mana ilmu debat boleh dipelajari. Sekurang-kurangnya, al-Ghazali mengklasifikasikan syarat belajar ilmu debat dalam beberapa.

Pertama, seseorang tidak boleh mempelajari ilmu perdebatan sementara ada kewajiban agama lebih penting yang harus dikerjakan. Artinya, mereka belum menuntaskan fardhu ‘ain sudah mau belajar sesuatu yang masuk dalam kategori fardhu kifayah. Dalam hal ini, kata al-Ghazali, orang yang belajar ilmu debat, sementara dia punyak kewajiban agama yang lebih penting (meninggalkan kewajiban pokok), ia seperti orang yang meninggalkan salat hanya untuk menenun kain.

Karena itu, ketika si penenun ditanya, kenapa kamu menenun kain? Iya, saya ini menenun kain tujuaannya untuk membantu orang supaya salat bisa menutup auratnya. Jadi pekerjaan yang saya lakukan ini membantu orang salat. Yang jelas orang semacam ini tidak mengerti skala prioritas. Jelasnya, fardhu ‘ain harus tuntas baru kemudian belajar fardhu kifayah.

Kedua, seseorang tidak boleh beranggapan bahwa ilmu perdebatan lebih penting dari ilmu lainnya. Itu artinya, seseorang harus punya pandangan bahwa ada sesuatu yang lebih urgen dari ilmu perdebatan. Al-Ghazali dalam hal ini memberikan contoh seperti, ada orang yang kehausan dan hampir mati dan ia tidak menolongnya, justru ia malah pergi untuk belajar ilmu bekam.

Tentunya, dalam kejadian seperti itu, maka prioritas menolong orang lebih penting. Mengingat, hukuk al-adamiyin lebih penting diperhatikan dari pada hukuk al-Allah. Karena sifat adalah Allah al-Taysir (kemudahan).

Ketiga, orang yang mau beajar ilmu debat harus mencapai level mujtahid. Kenapa? Karena seorang mujtahid punyak hak dan otoritas untuk merumuskan pendapat sendiri. Sekiranya bukan mujtahid, kata Gus Ulil, maka tak perlu debat-berdebat. Cukup bertanya dan mengikuti kepada mazhabnya.

Keempat, harus mempedebatkan sesuatu yang urgen. Istilahnya, jangan memperdebatkan masalah-masalah al-tubuliyah (masalah populer). Memperdebatkan masalah sesuatu yang populer, ada kemungkinan untuk mencari panggung dan popularitas.

Kelima, jika berdebat untuk mencari kebenaran, maka berdebatlah di ruang tertutup (fi al-halwah). Kenapa? Sekiranya berdebat di ruang publik, otomatis akan muncul kehendak untuk mendapatkan popularitas (pamrih), dan kepentingan mencari kebenaran tersingkirkan. Logikanya, siapa pun pasti tidak akan mau kalah dalam berdebat jika ditonton orang banyak, karena yang kalah pasti akan malu.

Keenam, orang yang berdebat tidak boleh menghalangi lawan debatnya untuk pindah dari satu dalil ke dalil lain. Biasanya, etika dalam berdebat, orang sebelum berpindah dalil, maka dalil sebelumnya harus dituntaskan. Namun, berbeda dengan al-Ghazali, orang boleh berdebat dan memberikan kebebasan kepada lawannya untuk pindah dari satu dalil ke dalil berikutnya.

Memang, berpindah-pindah dalil ada kemungkinan untuk lari dari perdebatan. Akan tetapi, kemungkinan juga, berpindah-pindah dalil, karena ada kemungkinan dalil awal salah dan mengharuskan berpindah ke dalil yang kedua (pindah dari kesalahan menuju kebenaran).

Ketujuh, harus berdebat dengan orang yang benar-benar mempunyai ilmu. Sekiranya kita berdebat dengan mereka, kita akan memperoleh tambahan ilmu. Itu artinya, seseorang dilarang berdebat dengan orang-orang bodoh yang nantinya akan menimbulkan permusuhan (apalagi saling mengkafirkan). [DR]


2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *