Apa Pentingnya Fikih Sosial?

apa-pentingnya-fikih-sosial

JAS HIJAU – Itu pertanyaan yang mungkin bergelayut di benak para pengkaji fikih sosial pemula. Fikih sosial adalah fikih yang digagas oleh Kiai Sahal. Sebagai sebuah pengetahuan, istilah fikih sosial masih baru. Ia muncul sebagai sebuah gagasan pada dekade 80-90an. Setelah itu gagasan ini berkembang menjadi wacana yang ramai didiskusikan di ruang-ruang kajian mahasiswa dan para santri.

Melalui ruang-ruang kajian sempit itu fikih sosial Kiai Sahal semakin ramai diminati dan diapresiasi kalangan akademisi. Tetapi gagasan ini di level pesantren sendiri masih belum cukup familiar. Itulah sebabnya, tingkat apresiasi terhadap gagasan Kiai Sahal ini justru kurang terdengar dari pesantren, dibanding apresiasi yang muncul dari bangku perguruan tinggi.

Di bangku perguruan tinggi gagasan fikih sosial ini disambut dengan cukup hangat. Banyak penelitian yang ditujukan pada pendalaman gagasan ini. Puluhan karya akademik dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi tentang fikih sosial telah banyak ditulis.

Sementara di dunia pesantren, gagasan fikih sosial Kiai Sahal masih sangat samar dibicarakan. Bahkan, sebagian cenderung menolak, karena dianggap pemikiran baru yang aneh dan tidak ada sandarannya dalam sumber hukum otentik agama.

Para santri yang belakangan mengapresiasi fikih sosial rata-rata juga mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi di bangku perguruan tinggi. Pesantren yang secara serius telah mengajarkan fikih sosial, tentu baru pesantren Kiai Sahal sendiri, yaitu pesantern Maslakul Huda.

Barang kali akan timbul pertanyaan dari pembaca, mengapa justru terjadi demikian? Bukankah Kiai Sahal adalah seorang santri dan kiai yang lahir dan besar di pesantren?

Benar, Kiai Sahal adalah seorang Kiai yang lahir dan besar di pesantren. Tetapi pemikiran Kiai Sahal mampu menerobos ruang sempit pesantren menuju dunia yang lebih luas. Pergaulan dan pertemanan Kiai Sahal pada fase kematangannya di era 80-an sangat berpengaruh sekali membentuk karakter pemikiran dan corak keilmuannya.

Dalam fase ini Kiai Sahal tampak sekali mendialogkan ilmu fikih di pesantren yang telah ia pelajari dengan dunia luar yang riil. Itulah sebabanya pandangan fikih Kiai Sahal pada masa itu sering bertabrakan dengan wacana mainstream pesantren dan kiai di sekitarnya.

Baca juga: Kiai Sahal Mahfudz, Pendekar Tradisi Sanad dan Pesan-pesannya


Fase tahun 80-an ini menjadi salah satu fase penting dalam kelahiran fikih sosial. Karena itu memahami pemikiran fikih sosial Kiai Sahal tidak akan bisa sempurna jika mengabaikan fase ini. Pada fase ini lahir tulisan-tulisan Kiai Sahal yang sangat kritis dalam Bahasa Indonesia yang menghiasai Majalah Pesantren, Aula, atau sejumlah surat kabar, khususnya Suara Merdeka. Selain itu juga tulisan-tulisan makalah yang dibuat sebagai bahan penyajian materi di forum-forum kajian.

Dari sejumlah tulisan itu tampak sekali bahwa fikih sosial yang digagas oleh Kiai Sahal pada dasarnya berangkat dari semangat menjawab benturan-benturan yang banyak terjadi antara realitas kehidupan dengan idealitas yang dibawa oleh fikih. Sejak masa kemunduran fikih, benturan-benturan itu banyak sekali terjadi. Tetapi tidak mampu direspon oleh fikih.

Sebaliknya, dengan mundurnya dunia Islam secara global, menjadikan fikih semakin jumud dan tidak mampu secara aktif merespon benturan-benturan itu. Hal yang demikian ini tidak banyak difahami oleh dunia pesantren yang kurang mengajarkan sejarah pertumbuhan fikih. Fikih diajarkan di pesantren sebagai ajaran yang harus diamalkan. Tetapi belum diajarkan sebagai sebuah ilmu pengetahuan.

Inilah perbedaan pesantren dan perguruan tinggi. Sehingga lahirnya fikih sosial dianggap sebagai ‘tandingan’ bagi fikih klasik yang lebih dulu. Karena itu muncul pertanyaan bagaimana fikih sosialnya salat dan ibadah-ibadah lainnya. Pertanyaan ini tampak sekali ingin mendudukkan secara biner antara fikih klasik dengan fikih sosial. Hal itu akibat pemahaman fikih yang hanya berhenti pada tataran praktis (amaly).

Di perguruan tinggi fikih diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Fikih dipelajari sebagai sebuah ilmu yang dinamis dan berkembang. Karena itu fikih sering menjadi bahan kajian kritis di perguruan tinggi. Kekurangannya, di lingkungan perguruan tinggi masih kurang apresiatif terhadap pengamalan fikih. Sehingga sering menjadi bahan sindiran dan kritikan dari kalangan pesantren yang menganggap para akademisi kurang taat kepada fikih, bahkan cenderung mengabaikan fikih.

Sebaliknya, di pesantren fikih diajarkan sebagai ilmu yang amaly (praktris). Para santri diajak untuk memahami sekaligus mempraktikkan fikih dalam kehidupan sehari-hari. Karena orientasinya lebih pada pengamalan praktis, maka santri kurang diajak untuk mendiskusikan fikih sebagai ilmu pengetahuan.

Barangkali bagi pesantren bukan karena menghindari atau menganggap tidak perlu. Melainkan karena mempertimbangkan bahwa input pesantren secara umum adalah santri yang masih di level anak-anak. Usia mereka rata-rata baru belasan tahun. Dengan demikian mereka belum siap untuk diajak mengkaji fikih dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Sementara kebutuhan mereka adalah pengamalan fikih praktis untuk memenuhi ubudiyah sehari-hari.

Baca juga: Tapak Tilas Perjalan Intelektual K.H. Sahal Mahfudz, Bendo dan Sarang


Harusnya, kenyataan itu bisa mendorong pesantren untuk merumuskan penjenjangan pendidikan fikih. Sayangnya, hal ini belum banyak mendapatkan perhatian serius dari pesantren sendiri. Sehingga para santri yang sudah puluhan tahun di pesantren terkadang belum memiliki kesempatan mengkaji fikih secara keilmuan.

Kajian tentang sejarah lahir dan terbentuknya fikih yang menjadi bahan kajian ilmu tarikh tasyri’ belum banyak diajarkan di pesantren. Filsafat hukum yang menjadi bahan kajian dalam ilmu falsafatut tasyri’ sama sekali tidak diajarkan. Ilmu mantiq yang menjadi dasar logika dalam fikih juga jarang diajarkan. Pesantren paling banter baru mengajarkan ushul fiqh dan qawaid fikihiyah.

Karena itu santri tidak cukup pengetahuan untuk menangkap dan mendudukkan fikih sebagai sebuah ilmu yang berkembang secara dinamis. Padahal perangkat metodologi fikih itu dirumuskan secara dinamis oleh para mujtahid yang telah memahami perangkat ilmu-ilmu di atas.

Sementara itu di perguruan tinggi fikih diajarkan sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Karena kesadaran itulah, maka perguruan tinggi sejak awal telah mengajarkan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam memahami fikih sebagai ilmu pengetahuan. Maka kurikulum fakultas syariah sejak awal telah menyediakan pengajaran tentang ilmu tarikh tasyri’, falsafatut tasyri’, selain fikih, ushul fiqh dan qawaid fikihiyah-nya. Di luar itu masih ada pula tambahan materi tentang sosiologi hukum, sebuah ilmu yang memahamkan fungsi sosial sebuah hukum.

Ilmu-ilmu inilah yang memahamkan para akademisi bahwa fikih sebagai sebuah ilmu pengetahuan bukanlah lahir dari ruang kosong. Ia telah tumbuh dan berkembang secara dinamis dari masa ke masa secara fleksibel. Fleksibilitas itu disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk memenuhi jawaban dengan latar belakang konteks yang berbeda-beda.

Hal inilah yang dipelajari Kiai Sahal di luar pesantren secara mandiri dan otodidak. Karena itu, Kiai Sahal menjadi santri yang memiliki corak pemikiran yang jauh maju ke depan dibanding para santri pada masanya. Tetapi dengan perbedaan latar belakang yang dipelajari itulah, yang menyebabkan hasil pemikiran Kiai Sahal masih sulit difahami oleh kalangan pesantren.

Sayangnya, perbedaan ini masih sulit didialogkan dengan baik lantaran masih adanya kecurigaan-kecurigaan yang sering lebih dulu muncul sebelum memahami permasalahan intinya. Para santri yang merasa lebih fasih membaca dan mengkaji fikih menganggap remeh para akademisi dari perguruan tinggi yang mencoba mengkritisi fikih.

Sementara para akademisi juga masih sulit untuk bisa menggandeng kalangan pesantren dalam melakukan dialog yang baik dalam perkara ini. Atau Sebagian telah melakukan dialog tetapi masih saja mengalami benturan-benturan antara keduanya. Karena seringkali berujung pada sikap kurang saling mengapresiasi.

Baca juga: Merawat Komunikasi dalam Keluarga ala Kiai Sahal


Hal ini akan bisa dijawab oleh para santri yang sudah mampu keluar dan mengenyam Pendidikan di perguruan tinggi. Dimana mereka telah merasakan dua model pembelajaran fikih sekaligus; fikih sebagai ilmu praktis (amaly) dan fikih sebagai ilmu pengetahuan. Di tangan para santri yang demikian inilah fikih sosial akan bisa diterima dengan baik dan bisa dikembangkan secara maksimal. Karena hanya dengan pendekatan itu, fikih sosial yang digagas oleh Kiai Sahal bisa difahami.

Bagi mereka yang sudah memahami fikih sosial justru akan merasakan bahwa fikih sosial yang telah digagas Kiai Sahal ini hakikatnya adalah fikih yang sangat mashlahah, sangat berkemajuan (dalam istilah teman-teman Muhamadiyah), dan mampu mendamaikan kebuntuan antara realitas dan idealitas fikih yang selama ini jumud. [DR]


5 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *