JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Badajoz, Kota Kecil Kelahiran Ahli Ilmu Nahwu
Home » Badajoz, Kota Kecil Kelahiran Ahli Ilmu Nahwu

JAS HIJAU – Badajoz adalah sebuah kota kecil di Spanyol. Letaknya di bagian barat, tepat bersisian dengan perbatasan Spanyol-Portugal. Selain merupakan kota kecil, sepak bolanya juga tidak bagus-bagus amat. Tim sepak bola kota ini, Club Deportivo Badajoz, hanya sanggup bertengger di kelas 2 selama bertahun-tahun. Meski begitu, dulu di kota ini pernah lahir seorang ahli Ilmu Nahwu.
Dulu kapan? Dulu sekali, yakni setelah kota ini dibangun oleh keluarga Jilīqī, sebuah keluarga muwallad, yakni keturunan campuran pribumi Spanyol dan Arab. Berkat restu dan dukungan dari Amir Abdullah, ‘Abd al-Rahman ibn Marwan al-Jiliqi membangun benteng di kota ini.
Ibn ‘Abd al-Mun’im al-Humayri (w. 900 H), dalam bukunya Shifah Jazirah al-Andalus, mengisahkan pembangunan kota ini. Ibn Marwan mendapat dukungan dana dan tenaga ahli untuk membangun Badajoz. Benteng kota dibangun dengan bahan tanah. Ada masjid di dalamnya yang dibangun dengan batu bata.
Di dalamnya juga ada bangunan dari batu granit yang digunakan khusus untuk Ibn Marwan menyepi (shawma’ah). Benteng kota itu lama-kelamaan jadi ramai dan menampung ribuan penduduk. Pembangunan benteng kota oleh Ibn Marwan itu dijadikan sebagai awal mula berdirinya kota itu.
Para sejarawan dan penulis Arab klasik berbeda pandangan tentang bagaimana kata Badajoz diucapkan dalam bahasa Arab. Semuanya sepakat mengenai tulisannya: (بطليوس). Kebanyakan penulis dan geografer Arab klasik membaca ya’ dengan dlammah, jadi Bathalyus. Namun Ibn Khallikan dalam Wafayat al-A’yan-nya memandu kita agar membaca ya’ dengan fathah, jadi Bathalyaws. Bahasa Arab modern tampaknya lebih setuju dengan pandangan Ibn Khallikan, dan cara baca inilah yang dianut oleh tulisan ini.
Baca juga: Isimya Kana
Ada banyak tokoh yang lahir atau dinisbatkan pada kota ini. Di antaranya yang cukup terkenal, tentu saja, adalah Ibn al-Sid.
Muhammad ibn al-Sid al-Baṭalyawsi lahir di Badajoz tahun 444 H/1052 M. Di dunia Muslim dia lebih dikenal sebagai ahli ilmu Nahwu dan sastra Arab, sebab di bidang itulah karya-karyanya kebanyakan sampai ke kita.
Selain ahli dalam Nahwu dan sastra Arab, dia juga menulis dalam banyak ilmu. Ada kitabnya tentang perbedaan pandangan golongan-golongan, ada pula kitab syarah Al-Muwaththa’-nya Imam Malik.
Berkat satu karyanya yang sampai ke kita, Al-Hada’iq fi al-Mathalib al-‘Āliyah al-Falsafiyyah al-‘Awishah, kita jadi tahu bahwa beliau juga mendalami ilmu filsafat. Di titik inilah, sosok Ibn al-Sid jadi menarik perhatian saya.
Kitab Al-Hada’iq adalah elaborasi atas filsafat Farabian. Hal ini sudah bisa kita reka sejak bab pertama yang membahas tingkat-tingkat wujud (maratib al-wujud).
Namun saat dia membahas bilangan satu dan kaitannya dengan teologi, terdapat kesan kuat bahwa Ibn al-Sid terpapar oleh mazhab Phytagoreanisme. Apakah dia membaca risalah-risalah Ikhwan al-Shafa? Bisa jadi. Bisa jadi pula dia sudah membaca karya-karya Pythagorean yang lebih klasik.
Saat menerangkan theologia negativa, ada kesan kuat bahwa dia sudah membaca karya-karya Al-Kindī. Namun ada kemungkinan pula bahwa dia sudah membaca buku-buku yang lebih klasik di bidang ini.
Saat dia membincang relasi pengetahuan manusia dengan tingkat-tingkat wujud, terkesan ada kemiripan dengan Ibn Sina. Jika benar bahwa Ibn al-Sid sudah membaca karya-karya Ibn Sina, saya jadi terkesima betapa peredaran buku di zaman itu terbilang cepat. Hanya terpaut waktu 17 tahun antara kelahiran Ibn al-Sid dan wafatnya Ibn Sina, ditambah jarak Hamadan-Andalusia yang ribuan kilometer, tentu mengesankan jika Ibn al-Sid sudah membaca buku-bukunya Ibn Sina.
Kita tidak perlu heran jika Ibn al-Sid sudah membaca karya-karya al-Kindi, Al-Farabi ataupun Ikhwan al-Shafa, sebab terpaut waktu yang cukup lama antara mereka dan Ibn al-Sid. Di masa hidup Ibn al-Sid, buku-buku mereka tentu sudah beredar luas di Andalusia dan pemikiran mereka sudah diperbincangkan dalam forum-forum ilmiah.
Baca juga: K.H. Aniq Muhammadun, Pakar Nahwu yang Tersembunyi
Kisah peredaran buku di zaman klasik juga merupakan kisah yang menarik. Zaman dulu belum ada mesin cetak, sehingga untuk mereproduksi sebuah buku butuh orang-orang yang tekun menyalinnya dengan tangan. Bahkan orang yang mau memiliki sebuah buku kadang harus menyalinnya sendiri, sebagaimana bisa kita ketahui dari beberapa kitab mengenai panduan belajar.
Hanya orang-orang yang berkelimpahan uang saja yang bisa membeli sebuah buku salinan dari pedagang buku. Di zaman itu ada sebuah profesi bernama kuttab yang pekerjaannya adalah menyalin buku dengan tangan.
Kisah perjumpaan Ibn Sina dengan buku-bukunya al-Farabi cukup menggambarkan situasi perbukuan di zaman itu. Alkisah, Ibn Sina tidak kunjung paham pemikiran metafisika Aristoteles, padahal dia sudah membacanya berulang-ulang (menurut pengakuannya, dia sudah membacanya 40 kali hingga sanggup menghafalnya luar kepala).
Saat berjalan-jalan ke pasar buku, seorang pedagang menawarkan sebuah buku dengan harga mahal. Itulah buku komentar al-Farabi atas kitab metafisika Aristoteles. Perjumpaannya dengan bukunya al-Farabi itu membuat metafisika Aristoteles jadi terang-benderang di kepalanya.
Terlepas dari itu semua, tampak jelas bahwa kitab Al-Hada’iq ditulis oleh Ibn al-Sid untuk menjawab pertanyaan orang yang ingin tahu atau mengalami kesulitan memahami teologi-filosofis. Mungkin itulah alasannya kenapa kitab ini ditulis dengan urutan bab yang seolah menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok teologi-filosofis masa itu. Dan bahasanya terbilang mudah dipahami. Jelas sekali, kitab Al-Hada’iq ditujukan bagi segmen pemula di bidang ilmu ini.
Baca juga: Sekelumit tentang Gus Nasihuddin Khozin, Sosok Alim Nahwu dan Fikih
Ibn al-Sid memang punya reputasi di bidang kemampuan menjelaskan dengan baik. Ibn Khallikan mencatat pujian atas reputasi ini.
وكان حسن التعليم جيّد التفهيم ثقة ضابطا
“Ibn al-Sid terampil dalam mengajar, piawai dalam memahamkan, juga terpercaya dan kuat hafalan.”
وبالجملة، فكل شىء يتكلم فيه فهو في غاية الجودة
“Singkat kata, semua topik yang Ibn al-Sid bicarakan berada dalam mutu terbaik.”
Badajoz memang tempat lahir Ibn al-Sid, pada saat kota itu dikuasai oleh Bani Afthas, namun tempat ini tampaknya tidak aman dimukimi. Sejarah mencatat bahwa Badajoz berkali-kali jadi perebutan oleh beberapa dinasti, baik di kalangan orang Arab maupun setelah Andalusia berhasil direbut kembali oleh beberapa dinasti Eropa-Kristen.
Pada saat Badajoz direbut oleh dinasti Murabithun, Ibn al-Sid mengungsi dan berkali-kali pindah kediaman. Awalnya di Teruel, lalu ke Toledo, lantas Zaragoza, akhirnya di Valencia yang lebih tentram.
Semasa Ibn al-Sid tinggal di Zaragoza, penguasa di situ adalah dinasti Tujibiyyun. Mungkin dia berpatron pada dinasti ini hingga dia betah tinggal di sini selama 10 tahun. Dalam masa-masa tinggal di situ, dikabarkan dia berjumpa dengan filosof berbakat yang usianya jauh lebih muda darinya: Ibn Bajah. Mereka berdua berdebat tentang peran logika dalam ilmu bahasa.
Ibn al-Sid meninggal di Valencia pada tahun 521 H/1127 M, kurang lebih setahun setelah Ibn Rusyd lahir di Kordoba. [DR]

One comment
[…] Baca juga: Mengenal Badajoz, Kota Kecil Kelahiran Ahli Ilmu Nahwu […]