Bahaya Cancel Culture

bahaya-cancel-culture

JAS HIJAU – Ada yang mengikuti kontroversi JK Rowling yang terjadi pada Juni 2020, dan masih berlanjut hingga sekarang, soal isu transgender? Saya sendiri mengikuti agak intens karena saya memiliki keprihatinan terhadap dampak-dampak buruk dari “cancel culture”.

Ada dua kubu dalam kontroversi ini: Kubu JK Rowling (penulis serial Harry Potter itu) dan lawan-lawannya. JK Rowling berpandangan bahwa “sex is real”; bahwa jenis kelamin itu jelas, laki-laki atau perempuan. Lawan-lawannya mengatakan: ada jenis kelamin lain, yaitu “non-binary sex”.

“Non-binary sex” artinya orang-orang yang tidak masuk dalam kategori lama laki-lak dan perempuan. Mereka inilah yang disebut sekarang sebagai transgender. Mereka menyeberangi kategori lama. Ada orang-orang yang membawa “tubuh laki-laki” tetapi tidak nyaman dengan itu lalu memilih sebagai perempuan.

Ada yang membawa “tubuh perempuan” kemudian tidak nyaman dengan itu dan memilih sebagai laki-laki. Mereka ini bisa disebut sebagai orang-orang yang mengalami “sex dysphoria” atau ketidakjelasan kelamin. Jumlah orang-orang yang mengalami dysphoria ini sekarang meningkat. Entah kenapa.

Mungkin tak tepat dikatakan “meningkat”. Yang tepat: gejala sex dysphoria ini sudah ada sejak dulu tetapi tersembunyi di balik karpet karena dalam konteks masyarakat lama, hal-hal seperti ini umumnya tidak bisa diungkapkan. Dalam masyarakat yang terbuka seperti sekarang, ini bisa diungkap.

Baca juga: Menyoal Pemaknaan Islamofobia


Dalam masyarakat tradisional yang memegang nilai-nilai konservatif, kaum transgender kurang mendapatkan tempat untuk muncul dengan identitas mereka sendiri. Mereka terpaksa sembunyi di balik kloset. Saat ini, sudah mulai ada ruang yang terbuka, meskipun, jujur, yang menentang masih dominan.

Kembali ke kontroversi JK Rowling tadi. Saat Rowling menyatakan bahwa “sex is real”, bahwa jenis kelamin itu jelas (laki atau perempuan), dia mendapatkan serangan hebat dari banyak kalangan. Banyak yang kecewa dan bahkan menganjurkan untuk membakar novel Harry Potter.

Bintang-barang yang dulu memerankan film Harry Potter juga terbelah dua: ada yang mendukung Rowling, ada yang mengkritik dia. Daniel Radcliffe dan Emma Watson termasuk yang mengkritik Rowling. Sementara Evanna Lynch (yang memerankan Luna Lovegood dalam film Harry Potter) mendukung Rowling.

Evanna Lynch yang mendukung Rowling juga terkena serangan hebat dari netizen pendukung hak-hak transgender. Ini memaksa Lynch untuk menutup akun Twitter. Debat di media sosial soal isu ini membuat sebagian netizen menggunakan bahasa-bahasa yang kasar, bahkan ancaman terhadap Rowling.

Di sini, menurut saya, terdapat bahaya yang serius dalam apa yang disebut “cancel culture”, yaitu budaya membungkam orang-orang yang memiliki pendapat yang beda. Di masyarakat Barat saat ini, terutama di Amerika dan Inggris, cancel culture itu marak bukan main. Menyedihkan.

Baca juga: Identitas dan Politik Identitas, Apa yang Sebenarnya Terjadi?


Gejala cancel culture ini juga sudah menjalar di mana-mana, termasuk di Indonesia. Budaya ini kemudian melahirkan fenomena yang di Amerika sering disebut “culture war”, perang budaya. Yaitu perang yang timbul karena benturan nilai/budaya dan masing-masing pihak ingin agar nilainya dominan.

Asal mula cancel culture ini adalah apa yang disebut politik identitas. Di sini yang disebut “identitas” bukan sekadar agama, melainkan lebih luas: suku, ras, kelamin, dan lain-lain. Dalam culture war, identitas dijadikan senjata untuk menyerang kelompok yang berbeda, “liyan”.

Dalam culture war terjadi apa yang disebut “weaponizing the identity”, pemersenjataan atau menjadikan identitas sebagai senjata untuk menyerang. Di sinilah pokok masalah serius dari cancel culture itu; masing-masing pihak hendak mendominasi pihak lain yang berbeda.

Apa yang hilang dalam cancel culture ini adalah apa yang disebut oleh Evanna Lynch sebagai rasa simpati (sense of grace) dan kemampuan mendengar pihak lain. Dalam cancel culture, masing-masing pihak hanya mau mendengar suaranya sendiri. Masing-masing pihak merasa paling benar (self-righteous).

Yang salah dalam cancel culture ini adalah hasrat pada semua pihak untuk menjadi kubu yang dominan seraya merendahkan yang lain. Ada hasrat kuasa di sana, bukan sekadar hasrat untuk diakui saja (rekognisi). Jika sekadar ingin diakui, sudah tentu tidak akan terjadi budaya ini.

Baca juga: Al-Ghazali dan Soal Takfir


Saya melihat gejala cancel culture ini sudah menjalar ke Indonesia. Contoh yang gampang: debat antara kaum salafi dan lawan-lawannya. Yang salafi meng-cancel lawan-lawannya, begitu juga sebaliknya. Situasi seperti ini jelas tidak ideal. Pelan-pelan kita harus berusaha keras menghindarinya.

Tidak gampang mengatasi cancel culture ini, apalagi di era media sosial yang membuat semua orang bisa mengemukakan sudut pandangnya secara terbuka dan blak-blakan, kadang malah melukai hati pihak yang berbeda pendapat. Ini tantangan peradaban yang tak gampang ke depan. [DR]


4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *