Belajar dari Mbah Liem, Ulama Kharismatik Pencetus Slogan; NKRI Harga Mati

belajar-dari-mbah-miem-ulama-kharismatik-pencetus-slogan-nkri-harga-mati

JAS HIJAU – Siapa yang tidak tahu slogan “NKRI Harga Mati”. Mungkin dari sebagian pembaca sudah sering mendengarnya atau bahkan pernah melantunkan slogan tersebut. Slogan itu memang dibuat untuk membakar semangat nasionalisme dan menggelorakan jiwa patriotisme di berbagai even kebangsaan. Itulah mengapa slogan tersebut sangat populer.

Dari arti katanya, menunjukan pencetus slogan tersebut ingin memberikan dorongan dan menggelorakan semangat juang untuk setia membela tanah air Indonesia sampai titik darah penghabisan. Di mana kesetiaan pada bangsa dan negara adalah mutlak bagi setiap warga negara Indonesia.

Tetapi pada tema ini, penulis tidak hendak memberikan interpretasi lebih lanjut soal makna slogan di atas. Penulis lebih akan mengulas sesuatu yang mungkin dilupakan khalayak, ketika slogan itu didengungkan. Iya, kita luput membahas atau mengingat siapa sebenarnya pencetusnya?

Dari hasil penelusuran penulis, ada hikayat yang menceritakan bahwa pencetus slogan itu adalah ulama kharismatik Almaghfurlah Simbah K.H. Moeslim Rifa’i Imampuro atau akrab disapa Mbah Liem. Salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh Habib Luthfi bin Yahya.

Menurut kesaksian beliau, dalam buku Fragmen Sejarah NU karya Abdul Mun’im DZ mengatakan, pada saat Panglima TNI Jenderal Benny Moerdani datang ke Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, Mbah Liem meneriakkan yel-yel, NKRI Harga Mati…! NKRI Harga Mati…! NKRI Harga Mati…! Pancasila Jaya, maka sejak itulah yel-yel NKRI Harga Mati menjadi jargon, slogan tidak hanya di NU tapi di beberapa pihak seperti di TNI. Jadi slogan atau jargon “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” dicetuskan oleh Mbah Liem.

Baca juga: Apa Makna Historis Makna Kesaktian Pancasila Bagi Kita?


Mbah Liem sendiri adalah salah satu ulama yang memiliki rasa cinta terhadap NKRI. Hal ini telah ditunjukan oleh beliau semasa hidupnya. Beliau selalu mengimplementasikan nasionalisme itu di dalam kehidupan sehari-hari. Bentuknya adalah dengan menerapkan dasar dan falsafah negara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai tonggak pemikiran dalam setiap mengambil keputusan.

Sebagaimana kita ketahui, cinta tanah air adalah salah satu yang diajarkan oleh ulama-ulama terdahulu, khususnya saat mencuatnya “Resolusi Jihad, 22 Oktober 1928” yang dipelopori oleh K.H. Hasyim Asy’ari dengan fatwanya: “Cinta Tanah Air adalah sebagian dari Iman.” Sama halnya dengan K.H. Hasyim Asy’ari, Mbah Liem, juga mengajarkan kepada seluruh santrinya untuk menanamkan Hubbul Wathon (cinta Tanah Air) pada jiwa mereka.

Sama halnya dengan ulama besar lainnya, beliau juga mendirikan lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Namun yang menjadi pembeda adalah ungkapan kecintaan beliau terhadap NKRI, di mana nama lembaganya pun diberi nama Al-Muttaqien Pancasila Sakti. Kata “Sakti” di situ memiliki filosofi atau arti “Sampai Kita Mati”, sekaligus mengokohkan Pancasila sebagai falsafah yang harus terus dijaga sampai mati. Dalam metode penbajaran pendidikannya pun berbeda dengan Lembaga-lembaga lain pada umumnya, di mana Al-Muttaqin Pancasila Sakti berupaya melaksanakan “NKRI Harga Mati” dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satunya ada di masjid pondok Al-Muttaqien Pancasila Sakti, setiap setelah ikamah sebelum salat berjamaah selalu diwajibkan membaca doa untuk umat Islam, bangsa dan negara Indonesia, berikut doanya:

“Subhanaka Allahumma wabihamdika tabaroka ismuka wa ta’ala jadduka laa ilaha Ghoiruka.”

“Duh Gusti Alloh Pangeran kulo, kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno lare ingkang sholeh, maslahah, manfaat dunyo akherat bekti wong tuo, agomo, bongso maedahe tonggo biso nggowo becik ing deso, soho negoro kesatuan Republik Indonesia Pancasila kaparingan aman, makmur, damai. Poro pengacau agomo lan poro koruptor kaparingono sadar, Sumberejo wangi berkah ma’muman Mekah.”

Tradisi2 yg ditinggalkan semasa hidup Mbah Liem juga masih bisa dirasakan hingga sekarang, misalnya pengibaran bendera merah putih 24 jam dgn prinsip “Rusak-Ganti” maksudnya adalah adanya bendera merah putih yg terus berkibar selama 24 jam tanpa diturunkan, diturunkan ketika rusak baru di ganti dgn yg baru. Makam beliau juga dikelilingi oleh bendera merah putih, menunjukan bahwa kecintaan beliau terhadap negara yg luar biasa.

Sadar dengan bentuk negara kesatuan, di mana terdapat banyak perbedaan di dalamnya, Mbah Liem, menerima itu sebagai kenyataan yang harus diterima, didukung dan dicintai. Hal ini dituangkan dalam tulisan berikut:

Wujud lainnya dari kecintaan itu—toleransi dalam keberagamaan dan perbedaa—adalah dengan dibangunnya “Joglo Perdamaian Umat Manusia se-Dunia”. Bangunan ini dimaksudkan untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan antar umat manusia.

Baca juga: Saat Kiai Hamid Kajoran Jelaskan Pancasila, Kiai Ali Maksum Menangis


Membahas Mbah Liem, tentu banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari setiap langkahnya. Beliau menghabiskan masa hidupnya dgn selalu mencintai tanah airnya yaitu NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Maka dari itu sebagai generasi muda, kita berkewajiban meneruskan cita-cita kebangsaan para beliau dan para leluhur lainnya. Sebab sudah suatu kepastian, para pemuda lah yang menjadi tonggak harapan bagi terwujudnya cita-cita kemerdekaan, terkhusus bagi para santri yang selalu diajarkan jiwa agamis dan jiwa nasionalis dalam setiap langkahnya.

Terakhir, ada pepatah mengatakan: “Negara akan hancur dengan sendirinya jika para pemudanya lupa akan sejarah”. Seperti pesan Soekarno: “Jas Merah; Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Cacatan; kendati kiprah dan karyanya cukup fenomenal, khususnya bagi warga Nahdliyyin, biografi Mbah Liem sebenarnya cukup misterius, utamanya soal tahun kelahiran dan silsilah. Beliau seolah menutupi identitasnya, bahkan hingga kini putera-puterinya tidak mengetahui persis tanggal lahirnya. Salah satu putera Mbah Liem bernama Gus Muh mengatakan Mbah Liem lahir pada tanggal 24 April 1924, namun begitu Gus Muh sendiri belum begitu yakin.

Soal identitas Mbah Liem hanya sering mengatakan kalau beliau dulu adalah bertugas sebagai penjaga rel kereta api. Tentang silsilah, pada masa tuanya—menurut informasi dari Gus Jazuli, putera menantunya—Mbah Liem pernah menulis di kertas, bahwa ia masih keturunan keraton Surakarta. [DR]


CATATAN:
Artikel ini ditulis oleh Fahri Ali, alumni Pondok Pesantren “Al-Muttaqien Pancasila Sakti” asal Banyumas, kelahiran 25 November 1999.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *