JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Biografi Ibu Nyai Hj. Masthi’ah, Sosok Perempuan Gigih nan Tangguh dari Lasem
Home » Biografi Ibu Nyai Hj. Masthi’ah, Sosok Perempuan Gigih nan Tangguh dari Lasem

JAS HIJAU – Ibu Nyai Hj. Masthi’ah berasal dari keterunan Mbah Sambu Lasem yang selalu menomersatukan amal saleh dan peduli dengan lingkungan. Beliau merupakan puteri pertama dari Kiai Idris bin Kiai Umar bin Kiai Abdul Karim bin Ki Tawangsa bin Ahmad bin Muhammad bin Abdurrahman yang populer dengan sebutan Mbah Sambu Lasem.
Sang ayah Kiai Idris adalah putera dari pengasuh pondok di daerah Gagaan, Cepu, Jawa Tengah, selain mengaji pada ayahnya beliau juga pernah mengenyam pendidikan pesantren di daerah Cirebon, Jawa Barat.
Sekembalinya dari pesantren beliau mengajar di sekitar daerah Cepu. Kehidupan beliau dijalaninya dengan penuh kesederhanaan, segala amaliah sehari hari sangat menunjukkan akan keluhuran budinya. Beliau sangat ikhlas dalam mendidik anak-anak sekitar untuk mengaji di Masjid Jamik Cepu dan selalu berjuang untuk menjadikan putera-puteri beliau menjadi orang yang alim dan dapat meneruskan estafet perjuangan para ulama.
Ibu beliau bernama Rusmini bertempat tinggal di daerah Cepu, Ibu Rusmini adalah sosok wanita yang rajin beribadah, puasa Senin-Kamis tak pernah ditinggalkannya, dan riyadah merupakan kebiasaan yang selalu dijalaninya. Beliau juga istikamah melakukan salat tahajud di tengah malam bersama suami, Kiai Idris. Bahkan bila anak-anaknya sedang ujian sekolah, maka sang ibu ini pasti berpuasa setiap hari hingga ujian selesai.
Menengok konsisten beliau dalam beribadah, tak mengherankan berbagai isyarat selalu dialami setiap hamil terutama saat mengandung bayi yang bernama Masthi’ah, beliau merasa menerima cincin dari Rasulullah saw di tengah keheningan malam mengiringi nyeyaknya tidur setiap makhluk sejagat raya. Dan seketika itu beliau bangun dan merenung cikal bakal apa yang kelak lahir.
Dikemudian hari Ibu Rusmini berkunjung ke rumah kakeknya bernama K.H. Siroj yang terkenal alim dan menceritakan perihal mimpi yang pernah dialaminya. K.H. Siroj memaparkan dengan tersenyum menaruh harap dan yakin akan jabang bayi yang lahir menjadi sosok yang saleh-salehah, yang tangguh dan tabah dalam menghadapi setiap problem.
Melihat dan mendengar semua ini tak pelak kebahagiaan beliau begitu nampak disaat kelahiran sang bayi dan diberi nama Masthi’ah atas pengarahan dan pemberian K.H. Siroj yang tak lain adalah pamannya sendiri. Ibu Nyai Hj. Masthi’ah lahir pada tahun 1945 M disaat Indonesia sedang dalam keadaan kemelut mempertahankan kemerdekaan, bersamaan pula sang kakek bernama Kiai Umar mengemban tugas dari K.H. Mahrus Aly Lirboyo sebagai prajurit untuk menumpas tentara Sekutu yang ternyata diboncengi tentara Belanda karena masih ingin menjajah Nusantara tercinta. Tak aneh jika berpengaruh terhadap kejiwaan sang bayi.
Pasca kelahiran berkisar tiga hari kemudian Kiai Umar pulang dari medan pertempuran yang melelahkan, dan betapa bahagianya saat mendengar kabar kelahiran cucu pertama perempuan dengan spontan beliau berkata: “Wah, wes ora suwe aku iki, kabeh putuku lanang saiki wedok (Wah, cucuku semua laki-laki, sekarang telah lahir perempuan, maka hidupku tidak akan lama lagi).” Kebahagiaan beliau begitu kentara dengan selalu menggendong dan menimang serta menyayanginya. Tidak lama berselang, Kiai Umar kembali ke haribaan Allah swt.
Baca juga: Mengenal Nyai Nurriyah Ma’shoem, Ulama Wanita dari Lasem
Hari demi hari beliau telah berlalu, bulan dan tahun berganti mengiringi perkembangan sang bayi, tumbuhlah sang puteri cantik nan jelita yang setiap mata tak jenuh memandang, tak peduli itu saudara yang keluarga maupun tetangga, hingga sang ibu jarang dapat menggendong dan memantaunya langsung, kelincahan dan kemuliaan budi pekerti beliau telah tumbuh semenjak beliau masih kecil, sehingga setiap insan merasa senang dan selalu ingin mengajaknya bermain serta bersilaturahmi, dan kebiasaan itu telah mendarah daging yang mengantarkannya menjadi sosok wanita yang fleksibel, menjadi panutan masyarakat di tempat kelahirannya dan juga disaat membina rumah tangga.
Saat masih kecil, Ibu Nyai Hj. Masthi`ah menerima pendidikan di kampungnya, Cepu, di bawah asuhan ayah dan ibunya. Setelah itu mengaji kepadanya yang telah sekian lama berharap untuk dapat mendidiknya sejak kecil. Ibu Nyai Hj. Masthi’ah selain sebagai keponakan, beliau adalah sosok santri yang istimewa dan disanyangi. Setelah dirasa cukup usianya, sang ayah mengantarkannya untuk mencari ilmu di luar daerah dan masuk ke Pondok Pesantren Tremas, sebuah daerah yang kala itu banyak memunculkan tokoh-tokoh ulama handal, yang menguasai dalam segala bidang ilmu.
Tremas juga terkenal akan pesantren yang penuh tirakat, apalagi dengan kondisi penduduk sekitarnya yang makanan pokoknya singkong diolah sebagai menu pokok setiap hari hingga zakat fitrah yang dikeluarkan di bulan Ramadan juga berupa singkong bukan padi atau beras.
Setelah tiga tahun lamanya menjalani kehidupan pesantren, hal serupa dialaminya lagi yaitu sebuah predikat sebagai santri kesayangan disandangnya, berkat kemampuannya menempatkan diri pada posisi sebagai wanita salehah, dan kegigihan cengkir (kencenge piker) tak sedikit kawan-kawannya yang menilai Ibu Nyai Hj. Masthi’ah adalah sosok wanita cerdas, gesit, lincah, pantang menyerah dan peduli pada sesama.
Semua ini beliau miliki karena suatu tuntutan keadaan yang mengharuskan untuk tidak bergantung pada orang lain dan harus mengurus adik-adiknya yang masih kecil.
Dari Tremas inilah Ibu Nyai Hj. Masthi’ah telah terbiasa dengan kemandiriannya, tirakat, makan makanan tiwul (makanan yang berbuat dari gaplek) selama tiga tahun begitu pula berbagai riyadhoh serta perjuangna lain yang menjadikan seseorang dapat menahan diri dari melakukan perbuatan yang tidak terpujii dan bersikap arif dalam setiap situasi dan kondisi.
Sekembalinya dari Tremas, setiap ada kesempatan tholabul ilmi tidak akan disia-siakannya. Kepopuleran K.H. Ma’shum Lasem yang alim dalam bidang al-Qur’an dan tafsirnya menjadikan nurani Ibu Nyai Hj. Mashti’ah terketuk untuk pergi belajar dan berkhidmat kepada ahlil ilmi.
Setiap hari belajar Al-Qur’an bersama Ibu Nyai Hj. Nuriyah Ma’shum dan keilmuan lain juga beliau terima terlebih ilmu haliyah (tingkah laku) banyak beliau peroleh melalui tata cara mendidik dan segala bentuk keseharian yang dipenuhi dengan nuansa keilmuan. Segala bimbingan dan perintah dijalani dengan penuh tawadhu’ dan selalu mengambil hikmah untuk bekal kembali ke kampung halaman yang kala itu masih hangat-hangatnya faham Komunisme dan bertekad kelak ilmu yang diperoleh akan ditularkan kepada putera-puterinya demi mengibarkan bendera Islam.
Baca juga: Biografi K.H. Maimun Zubair, Pendiri Pesantren Al-Anwar Sarang
Menjalin Rumah Tangga
Kecintaannya terhadap lingkungan dan berbagai disiplin ilmu membuat setiap mata meneropong, tak mengherankan juga dalam masa mudanya, banyak laki-laki yang datang kepada Kiai Idris untuk meminangnya. Tetapi yang mendapat kebahagiaan untuk meminangnya adalah K.H. Abdul Qodir dari Kudus.
Sebagaimana kisah yang diceritakan dimuka, Kiai Idris adalah orang yang mahir dalam bidang al-Qur’an. Suatu hal yang wajar bahwa Kiai Idris menerima K.H. Abdul Qodir sebagai menantunnya setelah melalui proses yang sangat selektif. Dikisahkan Kiai Idris sebelum menerima menantu terlebih dahulu menguji sendiri akan keahlian dalam bidang al-Qur’an yang dimiliki oleh K.H. Abdul Qodir. Di kemudian hari akad nikah mengikuti sunah Rasul dilaksanakan dengan khidmat.
Indahnya kehidupan dengan rajutan cinta yang selalu mengalir menelusuri waktu yang kian melaju kedepan. Kebahagiaan kedua pasangan selalu tersenandung dalam butiran-butiran doa, mengaharap kekalnya mawaddah hingga akhir hayat dan bertemu kembali dipertamanan surga. Bahtera rumah tangga terasa semakin berarti dengan lahirnya puteri pertama bernama Nurus Shobah, sebuah anugerah dariNya sebagai amanah yang harus diembannya.
Perjalanan hidup tak ubahnya alam semesta yang terus tidak ada sesuatu di dunia ini yang tetap pada tempatnya. Bumi bergerak mengitari matahari, bulan bergerak mengitari bumi, bahkan mungkin matahari pun bergerak mengitari planet lain yang lebih besar. Semua berjalan menurut kekuasaan dan kehendak Allah yang Maha Bijaksana. Senada dengan itu mahligai rumah tangga bahagia yang telah dibina, bersamaan dengan kehamilan yang kedua, Allah berkehendak lain. Memang inilah sunnatullah yang harus dijalani Ibu Nyai Hj. Masthi’ah dengan ikhlas dan tabah.
Semasa menjanda, dengan kondisi hamil ternyata tidak sampai mengurangi rasa cinta dan kepeduliannya pada lingkungan, semangat juang untuk syiar Islam semakin berkobar, dalam benaknya selalu berfikir dan merenung bagaimana caranya Islam dapat tampak ramai di bumi Cepu, mengingat faham Komunis masih dominan dan harus dicarikan jalan keluar sehingga setiap ada kesempatan yang berbau syiar Islam, Ibu Nyai Hj. Masthi’ah selalu eksis dan eksistensinya pun begitu nampak dengan bergelutnya beliau pada organisasi yang menunjang aktivitasnya.
Sebagai contoh ikut meramaikan perlombaan qira’ah al-Qur’an se-Kabupaten Blora yang pulang dengan acungan jempol, senyuman manis karena berhasil meraih juara satu tingkat kabupaten, kemudian dengan berjalannya waktu yang sarat akan perjuangan sebuah majelis taklim mulai dari anak-anak hingga para ibu telah dirintisnya.
Kehidupan mengisi kita dan membawa kita dan membawa kita dari satu tempat ke tempat lain, nasib menggerakkan kita dari satu titik ke titik lain. Berkat berkaca pada pengalaman selama belajar dulu dan perpijak pada situasi waktu itu apalagi hangat-hangatnya faham Komunisme dengan langkah pasti selepas kelahiran sang jabang bayi yang diberi nama Nur Laila, Ibu Nyai Hj. Masthi’ah meneruskan dakwahnya.
Dalam setiap langkah, beliau jalani dengan penuh kelembutan yang selalu menaruh harapan akan sinar hidayah Islam dapat berlabuh di hati setiap insan, hingga berhasil meluluhlantakkan nurani dua orang yang berkebangsaan Tionghoa untuk memeluk Islam dan beliau menuntunnya langsung pembacaan dua kalimah syahadat dan hingga sampai saat ini salah satu dari orang tersebut masih hidup di wilayah Cepu dengan nama Ibu Dasih.
Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah dan ucapan terima kasih kepada Ibu Nyai Hj. Masthi’ah akan bimbingannya dalam menuntun kepada agama Islam, kedua orang Tionghoa merelakan rumahnya yang terbilang mewah saat itu untuk dijadikan majelis taklim dan kegiatan sosial keagamaan lainnya yang telah diasuh oleh Ibu Nyai Hj. Masthi’ah pada masa itu.
Baca juga: Biografi K.H. Ma’shoem Ahmad, Pendiri Pondok Pesantren Al-Hidayat Lasem
Meskipun kegiatan di luar rumah begitu padat, perhatiannya pada akik-adiknya seakan tak pernah surut. Mengais rizki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga dilaluinya dengan perjuangan. Sementara status janda tidak sampai menumbuhkan rasa pesimisme dalam dirinya. Dan tanpa disadari segala upaya dan aktivitas yang telah dijalaninya ternyata menarik simpati setiap insan. Banyak yang ingin meminang beliau, tapi belum ada yang diterima karena trauma akan kegagalan rumah tangga. Hingga akhirnya datang pinangan dari putera K.H. Zubair dari Sarang, Rembang bernama K.H. Maimun Zubair yang tertarik akan jiwa juang dan kemuliaan hatinya. Maka datanglah beliau ke kediaman Kiai Idris untuk meminang puterinya.
Bagai dayung bersambut, maksud K.H. Maimun Zubair ini langsung diterima dengan senang hati oleh Kiai Idris, karena sudah diketahui akan ke-alim-annya. Di samping juga sebagai guru dari saudara Ibu Nyai Hj. Masthi’ah yaitu Kiai Taftazani yang waktu itu mondok di Sarang, selain itu sebelumnya Kiai Idris sempat sowan kepada K.H. Hamid Pasuraun yang bertujuan untuk mengutarakan problem rumah tangga puterinya.
Beliau di-dawuhi oleh K.H. Hamid Pasuruan dan sebelum sempat mengutarakan maksud kedatangannya: “Pulang sana! Mau diambil oleh wali tertutup kok malah ke sini.” [DR]
KETERANGAN:
Artikel ini dikutip dari buku Menyibak Al-Anwar Putri dalam Potret Sejarah dengan sedikit perubahan redaksi.
