JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Biografi K.H. Abdul Manan, Pendiri Pesantren Minhajut Thulab Banyuwangi
Home » Biografi K.H. Abdul Manan, Pendiri Pesantren Minhajut Thulab Banyuwangi

JAS HIJAU – K.H. Abdul Manan Lahir di Desa Grampang, Kediri pada tahun 1870 M. K.H. Abdul Manan merupakan putera kedua dari K.H. Moh. Ilyas yang berasal dari Banten dan Umi Kultsum, yang berasal dari Jatirejo, Kandangan, Kediri. Saat berusia 1 tahun, ia dibawa K.H. Moh. Ilyas pindah dari Grempol ke Desa Ngadirejo, Kandangan, Kediri. Di Ngadirejo, K.H. Moh Ilyas kemudian membuka pondok pesantren ala kadarnya.
Selepas mendapat didikan dari sang ayahanda, K.H. Abdul Manan juga nyantri ke beberapa pesantren di Jawa Timur. Saat berusia sekitar 12 tahun, K.H. Abdul Manan masuk Pondok Pesantren Keling atau lebih dikenal Pondok Pesantren Ringinagung yang diasuh oleh K.H. Nawawi.
Sekalipun usianya masih kecil, K.H. Abdul Manan mendapat didikan langsung dari K.H. Nawawi, sehingga saat menjadi santrinya ia banyak dikenal sebagai santri pemberani. Di mana hanya orang dewasa saja yang semestinya mengaji dengan K.H. Nawawi, namun ia sudah mengeyamnya sejak pertama kali masuk pesantren.
Lepas dari Pondok Pesantren Ringinagung, K.H. Abdul Manan kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Gerompol, pesantren neneknya sendiri. Di Gerompol, ia banyak menimba ilmu hikmah dan dikenal sebagai jago gelut alias ahli jadug karena sering melawan kalangan berandalan dan perampok yang sering merajalela di daerah tersebut.
Bahkan, K.H. Abdul Manan pernah berhadapan dengan lima puluh berandalan sekaligus dan ia melawan mereka dengan sendirian dan dari sekian banyak berandalan itu dapat dibrantasnya dengan mudah karena ia memang memeiliki jurus-jurus silat yang pernah ia pelajari di Pondok Pesantren Gerompol.
Puas mempelajari ilmu hikmah dan silat di Gerompol, K.H. Abdul Manan kemudian melanglang buana ke berbagai pesantren untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Di kalangan santri biasa disebut sebagai Santri Kalong karena mondoknya hanya sebentar saja.
Beberapa pesantren yang pernah dirambah oleh K.H. Abdul Manan di antaranya adalah: Pondok Pesantren K.H. Abas di daerah Wlingi (Blitar), Pondok Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo), Pondok Pesantren Gayam (Jombang), Pondok Pensatren Tegalsari (Ponorogo) dan terakhir ia nyantri ke Pondok Pesantren Syaikhona K.H. Kholil Bangkalan, Madura.
Lepas mendapat didikan dari K.H. Kholil Bangkalan, K.H. Abdul Manan kemudian melanjutkan belajar ke Makkah dan belajar dengan ulama-ulama Indonesia dan juga beberapa rubath yang ada di sana selama 9 tahun.
Sepulangnya dari Tanah Suci, K.H. Abdul Manan kembali ke daerah asalnya yakni Desa Jatirejo, Kandangan, Kediri untuk membantu orang tuanya menularkan ilmu-ilmu yang sudah didapatnya kepada santri-santri K.H. Moh. Ilyas.
K.H. Abdul Manan menikah dengan seorang puteri dari Sumber Biru, Puhrejo, Pare, Kediri, bahkan sampai membangun pesantren kecil. Namun, karena K.H. Abdul Manan tidak cocok dengan tempat itu, akhirnya ia furqoh (cerai) dengan isterinya dengan status belum punya putera dan akhirnya kembali ke Jatirejo, Kandangan, Kediri.
Di Jatirejo, rupanya K.H. Abdul Manan tidak betah juga karena rasa ghirah (semangat) untuk mencari ilmu masih sedemikian tinggi. Akhirnya ia kembali nyantri ke Pondok Pesantren Jalen, Genteng, Banyuwangi yang saat itu diasuh oleh K.H. Abdul Basyar. Karena usianya paling tua, di pesantren ini ia diangkat menjadi kepala pondok (lurah pondok). Tak selang beberaqpa lama kemudian, ia diambil menantu oleh K.H. Abdul Basyar dengan dinikahkan dengan salah satu puterinya, Siti Asmiyatun.
Pernikahannya dengan Nyai Siti Asmiyatun, K.H. Abdul Manan dikaruniai dua belas putera-puteri, di antaranya: Nyai Siti Robi’ah Askandar, Tabsyrul Anam, Ma’ariful Waro, Rofiqotuddarri, Nuryatun, Ma’rifatun, Khosyi’atun, Kamaludin, Abdul Malik Luqoni, Mutamimmah, Munawarroh dan Zubaidah.
Pada masa penjajahan Jepang, Nyai Siti Asmiyatun wafat. K.H. Abdul Manan kemudian menikah lagi dengan Hj. Umtiyatun (Jalen) dan dari isteri keduanya ini beliau dikaruniai 9 putera-puteri, di antaranya: Nyai Asliyatun, Moh. Soleh, K.H. Fahruddin, Moh. Dalhar, Nyai Siti Aisyah, Dewi, Dafi’ul Bala’, Nyai Mariyati dan K.H. Toha Muntaha.
Pada tahun 1929, K.H. Abdul Manan pindah dari Jalen ke Berasan dan mendirikan Pondok Pesantren Minhajut Thulab. Sedangkan Pondok Pesantren Jalen diteruskan olehh adik iparnya, Nyai Mawardi.
Baca juga: Sekilas K.H. Fadlurrahman Zaini, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Abror Al-Robbaniyin Banyuwangi
Membangun Pesantren
Sebelum memilih daerah Berasan, K.H. Abdul Manan sebelumnya berkeliling mulai dari Kalibaru, Silir, Pesanggrahan, Tamansari dan Berasan. Ternyata dari sekian tempat yang dijelajahi akhirnya terpilih daerah Berasan. Itu pun atas isyaroh dari K.H. Kholil Canggan, Genteng, Banyuwangi agar memilih daerah Berasan menjadi sentral peantren yang akan dirintis.
Awalnya, K.H. Abdul Manan berangkat ke Berasan dengan tujuh teman santri dari Jalen dan bertemu dengan warga desa Badegan, Rogojampi (Banyuwangi) yang juga adalah pemilik tempat yang akan dijadikan lokasi pesantren, yakni H. Sanusi. Pemilik tanah dan rumah di Berasan itu (H. Sanusi) akhirnya mau menjual rumah dan tanahnya kepada K.H. Abdul Manan.
Tepat tahun 1932, K.H. Abdul Manan berserta keluarga dan diikuti oleh 12 santrinya, resmi boyongan dari Jalen menuju Berasan dan mulai membangun pesantren. Awal berdiri pesantren hanya berupa sebuah rumah dan musala kecil dan bangunan pondok bambu yang beratap daun alang-alang, sangat memprihationkan.
Semakin lama, santri mulai berdatangan dari berbagai daerah, bahkan mulai kerepotan menampung jumlah santri, sehingga K.H. Abdul Manan menambah jumlah lokasi pesantren dengan membeli sebagaian tanah penduduk setempat sekaligus membuat bangunan masjid dan bangunan kamar-kamar pondok pesantren yang permanen.
Masa Penjajahan Jepang dan Belanda
K.H. Abdul Manan terkenal sangat gigih melawan penjajah Jepang dan Belanda. Banyak kiai di Banyuwangi pada masa penjajahan Jepang dan Belanda yang menderita karena ditangkap oleh penjajah. Akan tetapi berkat lindungan Allah swt, K.H. Abdul Manan dapat lolos dari tiap jeratan penjajah. Pada masa itu, beliau diungsikan oleh para santri dan masyarakat di rumah-rumah penduduk.
Nasib nahas memang banyak menimpa kiai-kiai besar pada masa penjajahan yang berhasil ditangkap oleh penjajah seperti K.H. Manshur (Sidoresmo), K.H. Moh. Ilyas, K.H. Askandar dan masih banyak lagi karena melawan penjajahan Belanda. Lepas dari penjajahan Belanda, dan Indonesia telah merdeka, ia tetap mengajar di pesantren.
Tepat tahun 1945, K.H. Abdul Manan membangun sebuah gedung yang bisa menampung banyak jamaah untuk mengaji, yakni gedung Jam’iyyah al-Ishlah atau populer dengan Jam’iyyah Gedong. Pada waktu itu, memang Pondok Pesantren Minhajut Thullab belum ada sistem pendidikan serupa dengan pendidikan sekolah-sekolah, yang ada hanya sistem pengajian-pengajian ala pesantren sepereti sorogan, bandongan, khitobah dan lain-lain.
Baru pada tahun 1947 mulai dibuka sekolah bnermateri khusus pendidikan agama atau Madrasah Diniyah yang dibimbing oleh K.H. Suyuthi. Pada tahun 1951 dibuka sekolah setingkat Madrasah Ibtidaiyah. Baru pada tahun 1976 didirikan mulai dari tingkat kanak-kanak (TK Khodijah), MTs Miftahul Mubtadin dan SMA Al-Hikmah.
K.H. Abdul Manan adalah sosok ulama yang saleh dan zuhud. Beliau mendidik putera-puterinya di rumahnya dan kemudian anak-anaknya dipondokkan ke berbagai pesantren lain. Beliau dikenal sangat teliti dengan pendidikan anak-anaknya dan para santri, bahkan juga masyarakat di mana bila sudah pukul 20.00 mereka diwajibkan untuk istirahat (tidur).
Beliau adalah seorang yang aktif dan disiplin. Memang awalnya beliau mendidik dan memberi pengajian kepada putera-puteranya, santri dan masyarakat sendirian, belum punya tenaga pengajar dari kalangan santri. Namun setelah santri-santri sudah mampu mengajar dan mengaji, mereka dianjurkan untuk memberikan pengajian kepada santri-santri di bawahnya.
Uniknya, para santri atau tenaga pengajar yang ada di Pondok Pesantren Minhajut Thulab tidak dibayar dengan uang. Namun mereka dijamin dan dicukupi dalam kebutuhan makan sehari-hari, ada yang makan di nDalem-nya dan ada juga yang sebagian makan di rumahnya orang-orang desa yang diberi garapan berupa sawah atau kebun dari tanah K.H. Abdul Manan.
Keseharian beliau adalah seorang kiai dan seorang petani. Sedang di bidang pertanian cukup dipercayakan kepada orang lain. Beliau juga dikenal sebagai pedagang yang sukses. Cara beliau memasarkan daganagannya, beliau cukup di rumah. Kalau ada orang yang ingin menjual barangnya mereka datang ke rumah K.H. Abadul Manan. Sedangkan kalau beliau menjualnya cukup dipasarkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Baca juga: Biografi K.H. Mukhtar Syafa’at, Pendiri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi
Rotan Bertuah
Setelah Indonesia merdeka, justru ada peristiwa yang lebih kejam lagi, yakni pemberontakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30S/PKI). Komunis lebih kejam lagi, banyak kiai dan santri menjadi korban PKI. Melihat tindakan seperti itu, ia bersama santri dan penduduk tidak tinggal diam. K.H. Abdul Manan mengutus beberapa santri untuk mencari beberapa batang rotan (kayu penjalin) dan dijadikan azimat untuk melawan PKI.
Rotan-rotan itu oleh K.H. Abdul Manan setelah didoakan dipergunakan oleh para santri dan masyarakat untuk melawan dan melumpuhkan orang-orang PKI yang masih sering berkeliaran di daerah Banyuwangi. Khasiat rotan itu juga bahkan dapat membakar rumah-rumah penduduk PKI cukup dengan memukulkannya. Tidak hanya rotan yang dapat di-asma’ oleh K.H. Abdul Manan, banyak orang yang datang sambil membawa barang kesayangannya untuk didoakan oleh beliau, seperti cincin, sorban, peci dan lain-lain.
Kelebihan dan ke-jadug-an K.H. Abdul Manan bukanlah sesuatu yang didapat secara instan, tetapi buah dari riyadah sejak ia berusia muda. Saat masih menimba ilmu di pesantren, sering melakukan puasa mutih, ngrowot. Saat belajar di Makkah selama 9 tahun, ia juga berpuasa secara terus menerus, kecuali 2 hari yang diharamkan untuk tidak berpuasa, Idulfitri dan Idhuladha (2 hari Iduladha). Bahkan tak jarang ia hanya berbuka hanya sebutir kurma dan minumnya juga hanya segelas air zam-zam.
Amalan-amalan yang ia lakukan dari usia muda sampai menjelang wafat lewat memperbanyak puasa semata-semata demi keberhasilan dan kebaikan beliau untuk memperihatini (laku prihatin) agar anak-anak dan santrinya kelak dapat menjadi orang yang berhasil serta berguna bagi masyarakat banyak.
K.H. Abdul Manan wafat pada hari Jumat Kliwon menjelang Subuh, 15 Syawal 1399 H (1979 M) dan dimakamkan masih di sekitar Pondok Pesantren Minhajut Thulab Sumberberas, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. [DR]

3 Comments
[…] Banyuwangi pada awalnya merupakan lembaga pendidikan berbentuk pondok pesantren yang didirikan K.H. Abdul Manan. Beliau lahir di Desa Grompol, Nganjuk sekitar tahun 1870 M, putera pasangan K.H. Muhammad Ilyas […]
[…] Masehi, kepemimpinan Pondok Pesantren Jalen dipasrahkan kepada menantu pertama sekaligus santrinya, K.H. Abdul Manan. Namun, selang beberapa tahun, pesantren tersebut diserahkan kepada adiknya yang ketiga, Kiai […]
[…] Baca juga: Biografi K.H. Abdul Manan, Pendiri Pondok Pesantren Minhajut Thulab Muncar, Banyuwangi […]