Biografi K.H. Abdul Wahab Hasbullah: Pendiri NU, Penggubah Ya Lal Wathon

biografi-kh-abdul-wahab-hasbullah-pendiri-nu-penggubah-ya-lal-wathon

JAS HIJAU – K.H. Abdul Wahab Hasbullah lahir di Jombang, 31 Maret 1888 Masehi. Beliau adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama. Ia adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu Soeara Nahdlatul Oelama (Soeara NO) dan Berita Nahdlatul Ulama. Beliau adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 7 November 2014.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah adalah penggubah syair Ya Lal Wathon yang banyak dilantunkan di kalangan Nahdliyyin. Syair ini dikarangnya pada tahun 1934 Masehi. K.H. Maimun Zubair mengatakan bahwa syair tersebut adalah syair yang beliau dengar, peroleh, dan dilantunkan saat masa mudanya di Rembang. Dahulu syair ini dilantangkan setiap hendak memulai kegiatan belajar oleh para santri.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah adalah putera dari K.H. Hasbullah Said, pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Nyai Latifah. K.H. Abdul Wahab Hasbullah kecil banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan bersenang-senang layaknya anak-anak kecil masa itu. Semenjak kanak-kanak, K.H. Abdul Wahab Hasbullah dikenal sebagai pemimpin dalam segala permainan.

Silsilah Keturunan K.H. Abdul Wahab Hasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu dengan silsilah Hadratussyekh K.H. M. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Soichah.

Pengembaran Ilmu
Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh di lingkungan pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barzanji, diba’, dan salawat.

Kemudian tak lupa pula, K.H. Abdul Wahab Hasbullah diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawassul. Beliau dididik ayahnya sendiri mengenai cara hidup sebagai seorang santri.

Diajaknya salat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk salat tahajjud. Kemudian K.H. Abdul Wahab Hasbullah dibimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca al-Qur’an dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya kitab Safinatunnaja, Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Fath al-Wahab, Muhadzdzab dan al-Majmu’. Ia juga belajar ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, dan Ulumul Hadits.

Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, K.H. Abdul Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya. Di antara pesantren yang pernah disinggahinya adalah sebagai berikut:

  1. Pondok Pesantren Langitan, Tuban.
  2. Pondok Pesantren Mojosari, Nganjuk.
  3. Pondok Pesantren Cempaka.
  4. Pondok Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
  5. Pondok Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura.
  6. Pondok Pesantren Branggahan, Kediri.
  7. Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Khusus di Pondok Pesantren Tebuireng, K.H. Abdul Wahab Hasbullah cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi Lurah Pondok, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut.

Baca juga: K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Penggagas Berdirinya Gerakan Pemuda Ansor NU


Membina Bahtera Rumah Tangga
Pada tahun 1914, K.H. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan puteri Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampung Kertopaten, Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai K.H. Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Isterinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921.

Setelah itu K.H. Abdul Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, puteri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebab setelah mendapatkan putera, isterinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama isteri ketiganya ini. Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena isterinya meninggal atau bercerai.

Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, puteri Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang selanjutnya mengasuh Pondok Pesantren Tambakberas.

Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian beliau menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.

Penikahan keenam kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan ini pun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari isteri ini beliau dikaruniai empat orang anak.

Pernikahan beliau yang terakhir, yang ketujuh, adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahannya mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.

Pendiri NU, Pelopor Kebebasan Berpikir
K.H. Abdul Wahab Hasbullah merupakan bapak Pendiri NU. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama Tashwirul Afkar.

Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan tua dengan muda.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan Nahdliyyin. Ia merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau juga dikenal seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu, beliau membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914.

Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekruitmennya yang lebih mementingkan progresifitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.

Baca juga: K.H. Abdul Wahab Hasbullah, Boneknya Kiai NU


Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, ia bersama K.H. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah, beliau mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya.

Di antara ulama yang berhimpun itu adalah K.H. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), K.H. Abdul Halim (Leimunding, Cirebon), K.H. Alwi Abdul Aziz, K.H. Ma’shum Lasem dan K.H. Cholil Kasingan (Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipeloporinya dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada kaum Muslimin Indonesia.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum Muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis ke-Islaman.

Selain mempelopori Tasywirul Afkar, K.H. Abdul Wahab Hasbullah merupakan seorang inspirator berdirinya GP Ansor. Pada 1924 para pemuda, ia membentuk Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya GP Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO). Dan, nama Ansor ini merupakan saran dari beliau.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan Pemikirannya
Jika disejajarkan dengan Gus Dur, maka K.H. Abdul Wahab Hasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi. Gus Dur dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan manuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya.

Kemudian, kenapa K.H. Abdul Wahab Hasbullah juga begitu kontraversial? Di antara beberapa hal yang menjadikannya ulama sekaligus politisi dan cendekiawan yang kontraversial di kalangan umat Islam Indonesia adalah ketika meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau tampil sebagai guardian tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.

Dalal hal pendidikan, menurut K.H. Abdul Wahab Hasbullah, pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan pendidikan di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar.

Melalui Nahdlatun Wathan, K.H. Abdul Wahab Hasbullah juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, di antaranya:

  1. Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo;
  2. Madrasah Far’oel Wathan di Gresik;
  3. Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang; dan
  4. Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya.

Dalam hal keagamaan, konsep K.H. Abdul Wahab Hasbullah terutama bagaimana peran Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan pergerakan Ahlussunnah wal Jamaah. Pemikiran beliau lebih terbuka dengan tidak keras atau fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran bersama, dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal sebagai moderatisme.

Konsep pergerakan K.H. Abdul Wahab Hasbullah terlihat jelas ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan kehidupan.

Baca juga: Negosiasi K.H. Abdul Wahab Hasbullah pada Malaikat Izrail, Tunda Wafat hingga Muktamar NU Selesai


Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan bacaan kitab kuningnya yang mereka pelajari di pesantren.

K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan K.H. Idham Chalid sama-sama duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini membicarakan “Sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain.

Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah Sosialisme ala Indonesia dan bukanlah Sosialisme ala Komunisme, baik Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi ideologi negara adalah Pancasila dan UUD negara yang menjamin setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya.

Sementara itu, tentang landasan landreform, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.

Bagi K.H. Abdul Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerja sama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.

K.H. Abdul Wahab Hasbullah wafat di Jombang pada 29 Desember 1971. Beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 7 November 2014. [DR]


One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *