Biografi K.H. Abdurrochim Hasbullah Tambakberas, Penggerak NU dan Muhammadiyah Jombang

biografi-kh-abdurrochim-hasbullah-tambakberas-penggerak-nu-dan-muhammadiyah-jombang

JAS HIJAU – K.H. Abdurrochim Hasbullah adalah putera keempat Mbah Kiai Hasbullah Tambakberas. Lahir kisaran tahun 1895. Kiai Abdurrochim adalah adik kandung Kiai Wahab Hasbullah.

Pesantren Tambakberas dirintis oleh Kiai Abdussalam, Buyut K.H. Abdurrochim Hasbullah. Kiai Abdurrochim wafat karena sakit, pada bulan Ramadan tahun 1943. Awal penjajahan Jepang di Indonesia.

Pendidikan K.H. Abdurrochim Hasbullah
K.H. Abdurrochim Hasbullah dipastikan mendapatkan pendidikan dasar ke-Islam-an di Pondok Pesantren Tambakberas asuhan ayahnya.

Di zaman sebelum kemerdekaan, para santri kebanyakan adalah santri kelana. Menimba ilmu dari satu kiai ke kiai lain. Dari satu pesantren ke pesantren lain.

Pada Biografi Kiai Masykur Singosari Malang (pernah menjabat Menteri Agama), K.H. Abdurrochim Hasbullah tercatat sezaman dengan Kiai Masykur ketika belajar di Madrasah Mamba’ul Ulum Solo. Madrasah Mamba’ul Ulum adalah madrasah yang didirikan dan difasilitasi oleh Kesultanan Solo. Madrasah yang maju dan didukung oleh para ulama di Solo. Antara lain Kiai Idris, Pondok Pesantren Jamsaren, Solo.

Tidak heran bila K.H. Abdurrochim Hasbullah semasa hidupnya, dipasrahi mengelola Madrasah Mubdil Fan di Pondok Pesantren Tambakberas. Berbekal pengalaman Kiai Abdurrochim semasa belajar di Mamba’ul Ulum Solo.

Kiai Abdurrochim juga telah berhaji sebelum wafatnya. Kiai Abdurrochim paling tidak mengaji pada kiai-kiai daerah Jombang, Solo dan ulama Makkah.

Kiai Hasbullah adalah sosok yang tidak khawatir mengeluarkan harta demi pendidikan puteranya. Kiai Wahab, kakaknya, mesantren (nyantri) ke Mojosari Nganjuk, Langitan, Syaikhona Kholil Bangkalan, hingga menjadi lurah Pondok Pesantren Tebuireng periode awal. Kiai Hamid kakak keduanya, tercatat merupakan santri generasi awal Kiai Munawwir Krapyak, Yogyakarta.

Sosok yang Chalim dan Penyayang
Kiai Abdurrochim adalah sosok yang chalim. Sebagaimana penuturan Nyai Sa’diyah Wahab, kakak iparnya. Chalim adalah perpaduan antara sifat santun, sabar, kalem dan cenderung pendiam. Terminologi chalim dekat dengan kosa kata bahasa Inggris “calm” dan bahasa Jawa “kalem”.

Dalam pemaknaan kitab, para kiai pesantren di Jawa memaknai kata chalim dengan makna aris. Sifat aris adalah padanan dari sifat bijaksana.

Sebagaimana nama yang diberikan Kiai Hasbullah ayahnya, Kiai Abdurrochim adalah sosok yang amat penyayang kepada isteri dan anak-anaknya. Berdasarkan penuturan Mbah Nyai Mas Wardiyah isterinya, Kiai Abdurrochim tidak pernah membunuh nyamuk yang hinggap. Beliau hanya mengubah agar nyamuk tidak menggigit anak-anaknya yang sedang tidur.

Kiai Abdurrochim berupaya agar isterinya yang berasal dari Kauman, Yogyakarta, mampu beraktualisasi diri dan tidak mengalami gegar budaya ketika berpindah musim ke Tambakberas mengikutinya. Kisaran tahun 1920 an, listrik, keramaian metropolitan dan kemajuan pendidikan bagi perempuan, telah ada di Yogyakarta. Sesuatu yang belum ada di Jombang kala itu.

Nyai Mas Wardiyah yang pandai baca tulis latin, berhitung dan berbahasa Belanda, dipercaya mengajar pelajar puteri Madrasah Tambakberas dan mencatat pembukuan hasil panen padi Kiai Hasbullah.

Kiai Abdurrochim bersama Nyai Mas Wardiyah, di tengah kesibukannya mengajar, berupaya keras mengusahakan pengobatan bagi puteri mereka, Nyai Bariroh, yang mengalami kebutaan waktu kecil. Kiai Abdurrochim bolak-balik Jombang-Yogyakarta, demi terapi pengobatan Nyai Bariroh kecil, di rumah sakit Yogyakarta. Suatu ikhtiar yang tentunya menghabiskan biaya dan aset yang tidak sedikit. Di akhir kurun penjajahan Belanda, dimana transportasi dan akses kesehatan tidak semudah dan semudah saat ini.

Kiai Abdurrochim memanglah sosok yang itsar. Lebih mementingkan anak, isteri, murid, santri dan keluarganya. Daripada kepentingan dan kesenangan pribadinya sendiri.

Kiprah dan Perjuangan
Kiai Abdurrochim dipasrahi mengelola Madrasah Mubdil Fan, setelah didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1914. Kiai Abdurrochim berbagi tugas dengan kakaknya. Kiai Wahab berkonsentrasi pada perjuangan dakwah kaum pesantren di luar Tambakberas. Hingga mendirikan NU bersama kiai lainnya pada tahun 1926. Kiai Hamid berfokus pada pengelolaan pondok dan ubudiyah.

Peran yang merata dan keistikamahan menjalankan peran, adalah teladan kerukunan dari kakak beradik putera Kiai Hasbullah dan Nyai Lathifah yang bisa diteladani hingga kini.

Kiai Abdurrochim juga membacakan kitab Sahih Muslim semasa hidupnya. Wirid pengajian dan pengelolaan madrasah selepas kewafatan Kiai Abdurrochim, dilanjutkan oleh Kiai Fattah keponakannya. Putera pertama Nyai Fathimah Hasbullah.

Kiprah di Muhammadiyah, Nahdlatut Tujjar dan NU Jombang
Kiai Abdurrochim termasuk pengobatan Muhammadiyah Jombang, sebelum NU berdiri. Suatu hal yang tidak mengherankan. Mengingat kedekatan hubungan kekerabatan antara Kiai Abdurrochim dengan Kiai Ahmad Dahlan. Nyai Mas Wardiyah adalah cucu Kiai Lurah Noor, yang terhitung masih paman Kiai Dahlan. Juga sama-sama berasal dari Kauman Yogyakarta. Dekat masjid Gede dan keraton.

Kiai Ahmad Dahlan sendiri memiliki kedekatan dengan Kiai Wahab Hasbullah. Sama-sama murid dari Sayyid Abu Bakar Syatho’ dan Syekh Khatib Minangkabau. Kiai Dahlan memerlukan diri menjemput Kiai Wahab di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, saat kepulangan Kiai Wahab dari belajar di Makkah tahun 1914.

Kiai Abdurrochim berkantor di Muhammadiyah Jombang kota. Adanya ruang rawat inap Abdurrochim di Rumah Sakit Muhammadiyah Jombang, sepertinya menunjukkan sejarah bahwa memang Kiai Abdurrochim adalah tokoh awal pembawa persyarikatan Muhammadiyah ke kota Jombang.

Pada perjalanan selanjutnya, Kiai Abdurrochim tercatat sebagai salah seorang penanam saham pada syirkatul ‘inan/koperasi Nahdlatut Tujjar. Bukti otentiknya bisa dilihat pada tercantumnya Kiai Abdurrochim pada piagam pendirian Nahdlatut Tujjar. Kiai Abdurrochim agaknya juga bertani sebagaimana Kiai Hasbullah ayahnya.

Kiai Abdurrochim akhirnya diminta oleh Kiai Wahab, untuk ikut bergiat di NU Jombang setelah pendirian NU cabang Jombang. Kiai Wahab dawuh, “wes, sa’iki ngantore pindah ngalor yo”. Kiai Abdurrochim diminta bergiat di NU Jombang, yang kala itu berkantor di desa Santrean Tembelang.

Kiai Abdurrochim mematuhi permintaan Kiai Wahab. Penduduk sekitar, sering melihat Kiai Abdurrochim berjalan dari Tambakberas menuju Santrean semasa hidupnya. Dengan sarung batik, kemeja putih dan kopiah hitam yang selalu dikenakannya.

Kiai Abdurrochim memang tidak berkiprah di kancah NU tingkat nasional. Kiai Abdurrochim fokus pada pengelolaan madrasah sebagaimana titah Kiai Wahab, sambil tetap menghidupkan NU di tingkat lokal Jombang. Sumbangan Pondok Pesantren Tambakberas pada Jam’iyyah NU tingkat pusat, telah diwakili oleh Mbah Wahab.

Perumus Jawaban Bahtsul Masail Kiai Wahab
Kiprah Kiai Wahab dengan mobilitasnya yang tinggi membesarkan NU, membutuhkan dukungan dari keluarganya di Tambakberas. Berdasarkan penuturan Nyai Sa’diyah Wahab, Kiai Abdurrochim sering kali diminta mencarikan ta’bir/referensi dari berbagai literatur kitab kuning, terkait masalah-masalah yang akan dibahas pada forum Bahtsul Masail/musyawarah para Kiai.

Bahan dari Kiai Abdurrochim ini dibawa oleh Kiai Wahab dalam forum tersebut. Kiai Wahab pada tahun 1930-an, menjadi tokoh utama pembela amaliah Ahlussunnah wal Jamaah pada debat yang sering diadakan dengan kaum Islam modernis.

Permintaan referensi dan jawaban dari Kiai Wahab pada Kiai Abdurrochim, menunjukkan penguasaan yang baik dari Kiai Abdurrochim terhadap literatur kitab kuning.

Titik Temu NU dan Muhammadiyah
Pernikahan Kiai Abdurrochim dan Nyai Mas Wardiyah adalah satu titik temu dari sekian banyak persamaan kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Hubungan erat antara Kiai Wahab dengan Kiai Dahlan dan Syekh Baqir al-Jogjawi, memiliki peranan besar dalam perjodohan keduanya.

Pernikahan ini merekatkan Jombang jantung NU, dengan Kauman jantung Muhammadiyah. Keturunan Kiai Abdurrochim masih menyambung silaturrahmi dengan keluarga Kauman. Ir. Basith Wahid (sesepuh Tapak Suci) dan Prof. Chamamah Soeratno (Ketua Aisyiyah Pusat) adalah saudara sepupu Nyai Mas Wardiyah. Prof. Azhar Basyir, ketua Muhammadiyah pusat pun, terhitung masih kerabatnya.

Nyai Mas Wardiyah sendiri memiliki pengetahuan ke-Islam-an yang mendalam, hasil belajarnya kepada kerabatnya, Nyai Zainab Kauman, Yogyakarta. Nyai Zainab terkenal sebagai ulama perempuan yang lama mukim di Makkah. Ayah Nyai Mas yang bernama Kiai Ma’lum, adalah penghulu Keraton Yogyakarta.

Kiprah Putera-Puteri Kiai Abdurrochim
Kiai Abdurrochim meninggalkan seorang isteri dan lima putera dan seorang puteri. Yaitu:

  1. Kiai Ahmad Al-Fatich AR

Kiai Fatich ditinggal wafat Kiai Abdurrochim kala usianya masih 13 tahun. Nama Al-Fatich menunjukkan pengetahuan sejarah Kiai Abdurrochim dan keinginan beliau yang mendamba kejayaan Islam sebagaimana masa Sultan Muhammad al-Fatih yang berhasil membebaskan Konstantinopel.

Kiai Fatich menempuh pendidikan di Yogyakarta. Sempat merintis madrasah NU di Yogyakarta. Juga merupakan salah seorang pendiri IPNU bersama Kiai Tolchah Manshoer.

Kiai Fatich menjadi direktur madrasah Mu’allimin Tambakberas, setelah kepulangannya dari Yogyakarta. Menggantikan Gus Dur yang melanjutkan pendidikan tinggi ke Al-Azhar Mesir.

Kiai Fatich atas restu Kiai Wahab pamannya, merintis Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah negeri di Tambakberas pada tahun 1969. Beliau pula yang menjadi kepala madrasah pertama. Kiai Fatich juga merintis MTs Bahrul Ulum. Madrasah swasta dalam naungan Yayasan PPBU.

Kiai Fatich beristerikan Nyai Muchtaroh. Puteri Kiai Abdul Fattah Jalalain, pendiri Pondok Pesantren Nglawak Kertosono. Kiai Fatich mendirikan Ribath Pesantren Al-Ghozali yang terletak di Utara masjid jami’ Tambakberas. Kiai Fatich wafat pada tahun 1996. Pesantren Al-Fatich dan An-Najach PPBU, dirintis oleh putera-puteri Kiai Fatich.

  • Nyai Bariroh AR

Nyai Bariroh adalah puteri satu-satunya Kiai Abdurrochim dan Nyai Mas Wardiyah. Nyai Bariroh yang terlahir normal, kehilangan pengelihatannya di usia balita. Nyai Bariroh menghabiskan umurnya dengan banyak berzikir di sudut kamar sebelah Timur nDalem Kiai Wahab. Di area pesantren Al-Lathifiyah.

Wajah Nyai Bariroh selalu tampak meneduhkan mereka yang memandangnya. Tampak atsar sujud pada pancaran wajahnya. Nyai Bariroh tidak berputera. Setahun menjelang wafatnya, Nyai Bariroh berkenan tinggal di kediaman keponakannya, Kiai Fajrunnajah Al-Fatich, hingga wafat di sana pada tahun 1999.

  • Kiai Ahmad Nashrullah AR

Kiai Nashrullah menempuh pendidikan Ibtidaiyah di Tambakberas. Kiai Nashrullah melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Leran, Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah. Dua tahun di sana, Gus Nashrul muda turut membina masyarakat dan mendirikan madrasah. Di jemput Kiai Wahab pamannya, Kiai Nashrullah pulang ke Tambakberas pada tahun 1956 dan ikut mengajar ngaji di pondok puteri Al-Lathifiyah.

Sejak itu, Kiai Nashrullah menjadi ajudan Kiai Wahab dan sering mendampingi Kiai Wahab ketika bepergian. Hingga Kiai Nashrullah menikah pada tahun 1958 dengan Nyai Zubaidah, santri Al-Lathifiyah. Nyai Zubaidah adalah puteri Haji Sulaiman, saudagar asal Keboan, Jombang. Kiai Abdullah Yazid, adik Nyai Zubaidah, adalah pencipta lambang Bahrul Ulum. Adik bungsu Nyai Zubaidah, Kiai In’am Sulaiman, adalah pendiri HIMABA dan ketua pertama IKABU.

Kiai Nashrullah banyak menerima amalan wirid dari Kiai Wahab. Juga mengkhatamkan pengajian kitab Tafsir Jalalain dari Kiai Wahab. Kitab yang ajeg dibacakan Kiai Nashrullah pada santri Tambakberas, tiap bakda Maghrib tahun 1970-2000. Kiai Nashrullah juga sorogan kitab Mahalli pada Kiai Wahab.

Kiai Nashrullah merintis madrasah di samping masjid Keboan. Di tanah wakaf Haji Sulaiman. Selepas dari Keboan, sejak mukim kembali di Tambakberas tahun 1973, Kiai Nashrullah menjabat Kepala Madrasah Mu’allimat. Jabatan yang beliau emban hingga tahun 1992.

Kiai Nashrullah merintis Sekolah Persiapan (SP) yang sekarang berkembang menjadi Madrasah Aliyah Al-I’dadiyah. Kiai Nashrullah juga merintis Pesantren As-Sa’idiyyah. Kiai Nashrullah sejak tahun 1989, menjabat Katib Syuriyah PWNU Jawa Timur.

Kiai Nashrullah wafat pada bulan Robi’ul Awwal tahun 2002. Pesantren As-Sa’idiyah 1, As-Sa’idiyah 2, As-Sa’idiyah 3, Al-Wardiyah, An-Nashriyah, Bayt al-Qur’an, masjid Sukijo dan Darul Qur’an, adalah pesantren yang didirikan dan diasuh keturunan Kiai Nashrullah.

  • Washul (wafat masih kecil)
  • Kiai Amanullah AR

Kiai Amanullah merupakan sahabat karib Gus Dur. Kiai Aman dan Gus Dur bersama mesantren (nyantri) ke Kiai Chudlori Tegalrejo, Magelang. Selepas lulusnya Kiai Aman dari Mu’allimin Tambakberas dan seusai Gus Dur menanamkan pendidikannya di Yogyakarta.

Semasa hidupnya, Kiai Aman ajeg membacakan kitab Sahih Muslim di Masjid Jami’ Tambakberas. Kiai Aman juga membacakan banyak kitab hingga khatam bagi para santri Pondok Pesantren Tambakberas. Mulai Al-Adzkar, Tafsir Jalalain, Jawahirul Bukhari, Ibnu Aqil dan sederet kitab lainnya.

Kiai Aman pernah menjabat kepala MTsN Tambakberas hingga tahun 1998. Juga menjadi anggota DPR RI hingga Tahun 2004. Kiai Aman mendirikan Pesantren An-Najiyah, SMK TI dan STIKES Bahrul Ulum.

Kiai Amanullah beristerikan Nyai Nur Fi’atin asal Kertosono. Kiai Aman menjadi Ketua Majelis Pengasuh PPBU hingga wafatnya pada tahun 2008. Pesantren An-Najiyah 1, An-Najiyah 2, An-Najiyah 3 dan Nur An-Najiyah diasuh oleh keturunan Kiai Amanullah.

  • Kiai Chisnullah AR

Kiai Chisnullah adalah putera terakhir Kiai Abdurrochim. Kiai Chisnullah lah yang selalu mendampingi ibundanya, Nyai Mas Wardiyah. Di kala kakak-kakaknya merantau ke berbagai daerah. Kiai Chisnullah tinggal di kediaman Kiai Abdurrochim, yang terletak di Utara kantor Yayasan PPBU. semasa hidupnya, Kiai Chisnullah aktif mengajar di MTsN Tambakberas. Sifat chalim Kiai Abdurrochim, tampak pada diri Kiai Chisnullah. Kiai Chisnullah beristerikan Nyai Aminatursurur asal Jokyaimbang. Kiai Chisnullah wafat pada tahun 2000.

Kiai Abdurrochim, Nyai Mas Wardiyah (wafat 1987) dan seluruh putera-puterinya dimakamkan di area pemakaman Kiai Abdussalam/Kiai Wahab Hasbullah. Di deretan kedua dari Timur.

Kiai Abdurrochim meninggal masih muda. Dokumentasi fotonya pun tidak ada. Pendeknya usia bukanlah penghalang kiprah seseorang. Yang utama adalah bagaimana menggunakan umur sebaik-baiknya. pada jalan yang diridaiNya. Mengamalkan ilmu dan mendidik generasi. Anak keturunan Kiai Abdurrochim yang saleh dan bermanfaat bagi sesama, menjadi penjaga ingatan akan sejarah perjuangan Kiai Abdurrochim Hasbullah. [DR]


3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *