JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Biografi K.H. Ahmad Maisur Sindi, Pencetus Nama Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung
Home » Biografi K.H. Ahmad Maisur Sindi, Pencetus Nama Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung

JAS HIJAU – K.H. Ahmad Maisur Sindi lahir di Desa Tursyidi Lor, Kecamatan Pituruh, Purworejo pada kisaran tahun 1344 Hijriah atau kurang lebih tahun 1926 Masehi, bertepatan dengan tahun lahirnya Nahdlatul Ulama (NU).
K.H. Ahmad Maisur Sindi lahir dengan nama kecil Muhammad Syaerozi. Nama ini masih dikenal saat beliau nyantri di Pondok Pesantren Lirap (Kebumen), Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang) dan Pondok Pesantren Jampes (Kediri). Barulah saat nyantri di Pondok Pesantren Darul Hikam Bendo, Pare (Kediri), namanya ganti menjadi Ahmad Maisur Sindi.
Dalam kitab-kitab yang ditulisnya, K.H. Ahmad Maisur Sindi selalu menyematkan nama at-Tursyidi dalam setiap sampulnya sebagai nama belakanggnya. Kata at-Tursyidi merupakan kata yang dinisbatkan pada desa kelahirannya, Tursyidi Lor.
K.H. Ahmad Maisur Sindi merupakan anak dari Kiai Muhammad Tsarbini bin Syafi’i. Jauh sebelum K.H. Ahmad Maisur Sindi hijrah ke Pondok Pesantren Ringinagung, ayahnya sudah lebih dulu nyantri di pesantren tersebut di bawah asuhan K.H. Imam Nawawi.
K.H. Ahmad Maisur Sindi menikah dengan Nyai Umahatun, puteri dari Nyai Zainatun binti Nyai Syafa’atun binti Nyai Sapurah binti K.H. Imam Nawawi, pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Mahir Ar-Riyadl Ringinagung, Keling, Kepung, Kediri. Nyai Umahatun adalah isteri satu-satunya K.H. Ahmad Maisur Sindi hingga akhir hayat.
Dari pernikahannya dengan Nyai Umahatun, beliau dikaruniai empat orang anak, di antaranya: Nyai Sri Ro’fah, Kiai Munif Abdul Kafi, Kiai Muhammad Munshif Abdul Haqqi dan Kiai Abdul Hamid.
Pengembaraan Ilmu
Semasa kecil, K.H. Ahmad Maisur Sindi tumbuh dan berkembang langsung di bawah pengawasan dan didikan orang tuanya. Beliau belajar dasar-dasar ilmu agama Islam kepada ayahnya seraya menamatkan SR (Sekolah Rakyat/Ongko Loro).
Memasuki usia 9 tahun, K.H. Ahmad Maisur Sindi mulai menlanjutkan pendidikan ke pesantren. Pondok Pesantren Lirap, Kebumen adalah pesantren pertama yang disinggahinya. Di pesntren ini, beliau belajar dan memperdalam ilmu nahwu dan shorof di bawah asuhan Kiai Ibrahim.
Baca juga: Pondok Pesantren Mahir Arriyadl Ringinagung, Asrama Barongan Tanpa Aturan yang Teratur
Saat di Lirap, K.H. Ahmad Maisur Sindi memiliki guru khoth yang profesional. Guru beliau tersebut bukan hanya bagus dalam tulis menulis saja, tetapi juga merupakan guru yang sabar dalam mendidik murid-muridnya, tegas, disiplin, serta bertanggung jawab. Sang guru pernah berkata kepadanya, bahwa gurunya itu lulusan Pondok Pesantren Tebuireng. Sang guru menyarankan kepadanya agar kelak setelah selesai di Lirap sebaiknya melanjutkan ke Tebuireng
Sekitar umur 11 tahun, K.H. Ahmad Maisur Sindi kemudian pindah ke Pondok Pesantren Tebuireng ditemani oleh seorang temannya yang bernama Dalail dari Blekatuk, tetangga desanya. Kelak setelah menunaikan ibadah haji, temannya tersebut dikenal dengan sebutan Kiai Abdul Hamid.
Di Tebuireng, K.H. Ahmad Maisur Sindi belajar berbagai macam disiplin ilmu agama. Beliau mengenyam pendidikan di bawah asuhan Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari. Diperkirakan Hadratussyekh saat itu telah berusia 60 tahunan, umur yang sudah menampakkan keteduhan dan kematangan jiwa.
Kepribadian K.H. Ahmad Maisur Sindi yang baik berupa teliti, disiplin, dan penuh tanggung jawab kebanyakan diperoleh di Tebuireng. Pendidikan yang dilalui oleh K.H. Ahmad Maisur Sindi di Tebuireng kira-kira dimulai semenjak tahun ±1356H/1937M, sampai tahun ±1361H/1941M.
Selesai dari Tebuireng, K.H. Ahmad Maisur Sindi melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Al-Ihsan Jampes, Kediri. Di pesantren ini, beliau belajar berbagai macam ilmu agama di bawah asuhan Kiai Ihsan bin Dahlan (w. 1952 M). Ilmu Falak dan Hisab beliau kembangkan di pesantren ini. Kurang lebih empat tahun lamanya beliau menimba ilmu di pesantren ini.
Saat itu kegiatan Pondok Pesantren Jampes masih mengunakan metode pengajaran tradisional dengan metode bandongan dan sorogan tanpa adanya madarasah. Setelah Kiai Ihsan mengetahui bahwa K.H. Ahmad Maisur Sindi adalah santri lulusan Tebuireng, Kiai Ihsan pun menugaskan beliau untuk turut andil dalam pendirian madarasah di Jampes.
K.H. Ahmad Maisur Sindi pun melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Kiai Ihsan, membantu mendirikan madarasah. Pada tahun 1942 M, berdirilah Madarasah Mafatih al-Huda (MMH). Adapun mengenai pembangunan lokal baru madarasah yang terletak di barat pondok, kemungkinan besar merupakan jerih payah adik Kiai Ihsan yang bernama Kiai Muslim atas perintah Kiai Ihsan.
Setelah kira-kira empat tahun belajar di Jampes, dan setelah melakukan tugas membantu mendirikan Madarasah Mafatih al-Huda, beliau memiliki kehendak untuk pindah belajar di Pondok Pesantren Bendo, Pare, Kediri. Pesantren ini, saat itu adalah pesantren yang terkenal dikarenakan tidak sedikit santri-santri yang sudah mematangkan ilmu agama dari berbagai pesantren di Nusantara pindah ke Bendo untuk tabarruk kepada Kiai Khozin yang terkenal dengan kewaliannya. Mayoritas santri yang mondok di Bendo adalah santri yang sudah tua-tua dan sudah mumpuni keilmuannya.
Kira-kira kepindahan K.H. Ahmad Maisur Sindi dari Jampes ke Bendo terjadi pada tahun 1945/1946 M. Pada saat beliau berada di Bendo, situasi Indonesia masih sangat genting sekali. Pertempuran-pertempuran terjadi di berbagai daerah antara rakyat Indonesia dan tentara Belanda yang berlangsung dari tahun 1946 M sampai kira-kira tahun 1949 M.
Hal ini membuat orang tua beliau tidak bisa mengirimkan uang saku kepada beliau untuk biaya belajar di Bendo. Kurang lebih pernah selama satu tahun wesel tutup total. Dengan keadaan yang demikian itu, ayahnya tidak tega dan memintanya untuk pulang dan berhenti sejenak menuntut ilmu sementara waktu sampai keadaan aman kembali. Namun dikarenakan tekad yang begitu besar dalam menuntut ilmu, beliau pun tidak mau pulang ke rumah melainkan tetap berada di Bendo.
Benar saja, demi untuk menyukupi kebutuhannya di Bendo selama tidak dikirim orang tuanya, K.H. Ahmad Maisur Sindi sempatkan diri untuk bekerja buruh di desa-desa sekitar Pare pada saat libur pengajian, di antaranya sampai ke Desa Sukorejo untuk membantu memanen hasil sawah yang mana upahnya beliau gunakan untuk kebutuhan di pesantren selama setahun.
Seperti halnya di Jampes dan Tebuireng, di Bendo pun beliau juga tidak meninggalkan kebiasaannya merajut bait-bait syair dan menyusunnya dalam beberapa kitab, di antaranya adalah kitab al-Ikmal dan Nail al-Amal yg membahas tentang ilmu shorof i’lal .
Baca juga: Pondok Pesantren Darul Hikam Bendo (Pare, Kediri), Tempat Nyantri Segudang Kiai
Selain itu, K.H. Ahmad Maisur Sindi juga telah turutmemprakarsai berdirinya Madarasah Raudlotul Huda yang sampai sekarang ini masih ada. Madarasah Raudlotul Huda kira-kira berdiri pada tahun 1949 M, dengan jenjang pendidikan pada saat ini sebagai berikut:
- Madarasah Ibtidaiyah dengan masa pendidikan lima tahun,
- Madarasah Tsanawiyah dengan masa pendidikan tiga tahun, dan
- Majelis Musyawaroh dengan masa pendidikan dua tahun (yang diwajibkan) yang merupakan kajian-kajian kitab salaf (kitab kuning).
Setelah kira-kira empat tahun di Pondok Pesantren Bendo, K.H. Ahmad Maisur Sindi diuji sakit mata yang tak kunjung sembuh. Berulang-ulang kali beliau mencoba mengobati sakit mata tersebut namun belum juga diberi kesembuhan. Hingga suatu saat beliau sowan kepada Kiai Hayat untuk meminta pertimbangan atas penyakit yang beliau sandang. Kiai Hayat lantas memberikan saran kepada muridnya tersebut untuk pindah di Ringinagung.
Akhirnya, K.H. Ahmad Maisur Sindi datang ke Pondok Pesantren Ringinagung sekaligus memenuhi pesan ayahandanya untuk berziarah di makam Kiai Imam Nawawi (guru ayahanya). Hingga pada akhirnya beliau diambil menantu oleh Nyai Syafa’atun dan dijodohkan dengan cucunya yang bernama Nyai Umahatun dan beliau pun bermukim di sana sampai akhir hayat.
Ketika di Ringinagung, banyak dari pihak keluarga besar Ringinagung dan tokoh masyarakatnya yang ingin menguji kealiman K.H. Ahmad Maisur Sindi karena berdasar berita yang beredar, bahwa santri yang belajar di Bendo bukanlah santri sembarangan. Kebanyakan santri yang belajar di Bendo saat itu adalah santri yang sudah pandai-pandai dan mumpuni serta berbobot keilmuannya dan biasanya mereka yang mondok Bendo hanya dalam rangka ber-tabarruk.
Diujilah K.H. Ahmad Maisur Sindi dengan berbagai macam permasalahan-permasalahan hukum agama yang terjadi di tengah masyarakat dan lain sebagainya. Dengan kealimanya maka dengan mudah pertanyaan-pertanyaan itu dapat dijawab satu persatu.
Mengetahui kealiman K.H. Ahmad Maisur Sindi, para keluarga Ringinagung pun mempunyai pemikiran untuk memanfaatkan kealiman beliau guna memajukan Pesantren Ringinagung yang saat itu masih dalam masa transisi karena generasi penerus seperti Kiai Zaid dan Kiai Saubari masih mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Di antara permasalahan pondok yang diajukan Kiai Makun kepada K.H. Ahmad Maisur Sindi adalah mengenai tata tertib santri.
K.H. Ahmad Maisur Sindi mengajukan pendapat untuk mencanangkan peraturan-peraturan pondok yang kala itu belum ada. Pendapatnya itu pun disetujui dan dibuatkanlah sebuah peraturan-peraturan untuk santri pertama kali oleh K.H. Ahmad Maisur Sindi yang sampai saat ini masih ada terpapang di tembok serambi Masjid Ringinagung.
Bertahun-tahun Ringinagung berdiri tanpa nama dan simbol. Kemudian berdasarkan keputusan dan hasil musyawarah para masyayikh terdahulu ditetapkan sebuah nama “Mahir” yang berarti cerdik atau pandai. Menurut sebagian masyayikh yang ikut pembentukan nama tersebut mengatakan bahwa nama “Mahir” itu adalah singkatan dari Ma’had Islam Ringinagung, dan sebagai simbol khusus untuk melengkapi nama “Mahir” adalah sebuah lambang bergambar masjid yang diambil dari bentuk masjid Ringinagung.
Pada tahun 1964-1965 M, nama “Mahir” ditambahkan rangkaian kata lagi dengan “Ar-Riyadl” menjadi “Mahir Ar-Riyadl”. Tambahan nama ini adalah ide dan gagasan K.H. Ahmad Maisur Sindi. Setelah diadakan musyawarah dan munajat dari para masyayikh pada saat itu maka di terimalah nama itu sebagai tambahan “Mahir” sehingga terciptalah nama yang indah yaitu “Mahir Ar-Riyadl Ringinagung”.
Setelah Pondok Ringinagung memiliki nama dan simbol khusus di atas, Ringinagung belum memiliki madarasah, K.H. Ahmad Maisur Sindi yang sudah berpengalaman dalam merintis madarasah pada tahun 1956 M, didesak-desak oleh sebagian keluarga pesantren untuk bersedia mendirikan madarasah. Beliau pun tidak tergesa-gesa dalam menanggapi permohonan sebagian keluarga tersebut disebabkan ada hal yang harus dipertimbangkan antara lain wasiat dari Kiai Imam Nawawi yang melarang berdirinya madarasah di Pondok Ringinagung.
K.H. Ahmad Maisur Sindi lantas memberi jawaban kepada sebagian keluarga yang mendesaknya pada akhir tahun 1956 M sebagai berikut: “Yang akan mendirikan madarasah itu Insyaallah dari keluarga sini sendiri. Adapun saya, Insyaallah tetap melindungi dan mengarahkan dan mendampingi.”
Dengan sekian rangkaian, seperti sedia kala, K.H. Ahmad Maisur Sindi lantas membantu, mengarahkan dan melindungi berdirinya madarasah yang setelah lima tahun berjalan madarasah tersebut beliau beri nama Madarasah al-Asna dan nama tersebut disetujui oleh segenap masyayikh dan para guru Mahir Ar-Riyadl Ringinagung.
Baca juga: K.H. Ahmad Maisur Sindi, K.H. M. Sahal Mahfudz dan Isthilah Fuqoha
K.H. Ahmad Maisur Sindi dan Karya Kitabnya
K.H. Ahmad Maisur Sindi adalah salah satu ulama Nusantra yang produktif dalam menyusun karya-karya ilmiah berupa kitab di zamannya. Kemampuan dalam menyusun karya-karya tersebut kemungkinan besar adalah keteladaan yang diwariskan oleh guru-guru beliau semisal Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ihsan Dahlan Jampes. Kebanyakan kitab-kitab beliau berupa kalam syair disertai penjelasan. Berikut adalah nama kitab karya-karyanya:
- Tanbih al-Muta’allim fi Adab at-Ta’allum;
- Nail al-Amal fi Qawaid al-I’lal, kitab setebal 103 halaman sudah digunakan di Pondok Ringinagung sejak tanggal 8 Dzul Hijjah 1390 H/4 Februari 1971 M. Kitab ini menjelaskan tentang ilmu shorof berupa kaidah-kaidah i’lal (tata cara mengubah bentuk kosa kata bahasa Arab).
- Al-Ikmal fi Bayani Qowaid al-I’lal, kitab ini memuat penjelasan lebih rinci tentang kaidah-kaidah i’lal. Tersusunya kitab ini sebagai pendukung dalam pembelajaran kitab Nail al-Amal.
- Tamhid al-Bayan fi Tajwid ash-Shibyan, kitab ini membahas tentang ilmu Tajwid yang fokus kepada makhorij al-huruf dan sifat-sifatnya.
- Tahdzib al-Lisan fi Kafiyati Tadrisi Tamhid al-Bayan.
K.H. Ahmad Maisur Sindi wafat pada hari Sabtu menjelang salat Ashar tepatnya pada tanggal 09 Shofar tahun 1416 H/08 Juli 1995/1996 M di kediamannya, di Ringinagung, Keling, Kepung, Kediri, Jawa Timur, pada usianya yang ke-72. Beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ringinagung. Adapun isterinya, Nyai Umahatun wafat pada tahun 2007 M. [DR]
