Biografi K.H. Anwar Nur, Pendiri Pesantren An-Nur Bululawang Malang

biografi-kh-anwar-nur-pendiri-pesantren-an-nur-bululawang-malang

JAS HIJAU – K.H. Anwar Nur lahir di Probolinggo, tepatnya Desa Sumber Taman (tidak diketahui tanggal dan tahun kelahirannya). Sejak usia 15 tahun, K.H. Anwar Nur sudah tertarik dan berniat untuk belajar ilmu agama pada kiai-kiai yang terkenal.

Oleh karena itu ketika mengaji K.H. Anwar Nur senantiasa berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Pesantren-pesantren yang pernah didatangi, di antaranya:

  1. Pondok Pesantren Bladu, Gending, Probolinggo yang diasuh oleh pamannya sendiri, K.H. Fathulloh Umar.
  2. Pondok Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo yang diasuh oleh K.H. Zyarkasi.
  3. Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan.
  4. Mengaji pada K.H. Abdul Aziz di Probolinggo.
  5. Pondok Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo yang diasuh oleh K.H. Khozin dan K.H. Hasyim.

Di Pondok Pesantren Siwalan Panji inilah K.H. Anwar Nur mendapatkan amanah agar menyampaikan ilmu yang didapat guna menjadikan umat yang saleh. Dirinya diamanahi untuk membina dan mendidik masyarakat supaya menjadi manusia yang benar-benar takwa kepada Allah serta bertanggung jawab terhadap agama, nusa dan bangsa.

Dengan amanah tersebut, dalam usia 17 tahun K.H. Anwar Nur mulai mengembara bersama seorang kawan dan sampailah di desa Ganjaran, Gondanglegi, Malang untuk beberapa saat lamanya. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, rupanya Tuhan telah menentukan jodoh di desa Bululawang, Malang.

Selanjutnya pada hari Jumat, di bulan November 1938, K.H. Anwar Nur menikah dengan perempuan bernama Marwiyah binti Hasan, perempuan dari Kampung Haji, Bululawang.

Kala itu, K.H. Anwar Nur diminta oleh ketua kampung agar mengajar mengaji anak-anak kampung yang bertempat di langgar Al-Murtadlo, di Kampung Haji (terkenal dengan sebutan Kampung Haji, sebab mulai dulu sampai sekarang hampir semua warganya telah melaksanakan ibadah haji). Hal itu berlangsung kira-kira dua tahun lamanya. Kemudian oleh mertuanya diberi rumah, terletak kira-kira 100 meter sebelah barat langar. Rumah itu yang ditempati sekarang dengan keadaan asli belum mengalami perubahan.

Langgar itu didirkan pada tahun 1940 secara gotong royong dengan warga kampung untuk tempat mengaji. Setelah adanya langgar, ternyata makin banyak anak-anak sekitar Bululawang yang berdatangan dan minta ikut ngaji.

Permulaan Membangun Pesantren
Pada tahun 1942, semula K.H. Anwar Nur bermaksud mendirikan rumah sederhana di belakang rumah untuk tempat istirahat. Tetapi tiba tiba datanglah seorang yang sudah tua ingin membantu pekerjaan dan tinggal di rumahnya. Akhirnya pendirian rumah ditempatkan di samping sebelah selatan langgar yang selanjutnya digunakan sebagai tempat orang tua tersebut.

Semakin lama santri yang datang semakin bertambah, bukan saja berasal dari Bululawang, melainkan juga dari desa lain, seperti dari desa Segenggeng (Kecamatan Pakisaji) Jambearjo (Kecamatan Tajinan), bahkan dari Probolinggo. Pada umumnya santri yang datang dari jauh ini berkeinginan untuk tinggal.

Berhubung pada waktu itu santri saat mengaji sudah mencapai 40 orang, maka untuk menampung santri yang tidak pulang, mereka diminta tinggal bersama orang tua tadi dengan jalan rumahnya disekat dengan gedek (tembok dari bambu) menjadi dua bilik, kemudian ditambah satu bilik lagi.

Sejak tahun itulah sistem pondok pesantren dimulai, sedang kitab-kitab yang dipelajari antara lain: Sulam Safinah, Fath alQarib, Bidayatul Hidayah, dan sebagainya.

Masa Pancaroba
Pada zaman pendudukan Jepang di tahun 1943, ketenangan pondok ikut terganggu, bahan-bahan yang diperlukan sulit didapat akibatnya para santri terpaksa banyak yang pulang ke rumah masing-masing dan hanya beberapa orang saja yang tinggal, sedang kehidupannya terserah kepada kiai.

Sesudah Indonesia merdeka (tahun 1945), para santri yang dulu pulang mereka berdatangan kembali, bahkan ada santri baru yang datang dari Yogyakarta, Solo dan santri yang dari Probolinggo pun juga bertambah jumlahnya.

Namun keadaan demikian tidak berlangsung lama sebab Agresi Militer Belanda (tahun 1947-1948). Keadaan ini memaksa K.H. Anwar Nur untuk mengungsikan keluarga ke desa Ganjaran, Gondanglegi (daerah asal ibunya). Sedang K.H. Anwar Nur sendiri bersama para santri yang sudah dewasa bergabung dengan pasukan gerilya untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Gerliya dilakukan dengan berpindah-pindah antara Gondanglegi, Krebet dan Bululawang.

Pada tahun 1950, sesudah keamanan pulih, keluarga kyai kembali dari pengungsian, dan santri santripun berdatangan kembali ke pondok. Dua tahun kemudian (tahun 1952) datanglah seorang pemuka masyarakat Bululawang memberi saran kepada K.H. Anwar Nur agar langgarnya diberi nama “An-Nur” diambil dari singkatan pendirinya “An” dari Anwar dan “Nur” dari orang tuanya, Nuruddin, di samping menurut bahasa artinya adalah “cahaya”. Kemudian dari penetapan inilah An-Nur semakin berkembang.

Perkembangan Cita-Cita
Antara tahun 1952-1953 di Bululawang masih belum ada sekolah lanjutan. Beberapa pemuka masyarakat menghendaki adanya Madrasah Muallimin, dan sebagian menghendaki adanya SMP NU dan condong didirikan di komplek Pondok Pesantren An-Nur.

Berhubungan kiai tdak menyetujui penempatan SMP NU di komplek An-Nur, maka pembangunan SMP NU ditempatkan di tepi jalan raya Bululawang (sebelah utara stadion Bululawang) sampai sekarang. Sampai pada tahun 1966 untuk sementara, rupanya K.H. Anwar Nur belum memikirkan pendirian madrasah, melainkan memusatkan perhatiannya bagaimana melayani santri yang mondok. Hal itu terbukti dengan adanya usaha membangun gedung pondok, di tahun 1963 berhasil membangun bilik sebanyak empat kamar membujur ke timur (sekarang telah dibongkar).

Sejak tahun 1965, setelah mendapatkan menantu pertama (K.H. Burhanuddin), maka mulai terpikir bagaimana meningkatkan pendidikan para santri agar lebih kerasan (betah), serta memberikan pendidikan bentuk madrasah sesuai dengan tuntutan zaman. Kemudian timbullah rencana membuka madrasah yang pelaksanaannya diserahkan kepada putera beliau: M. Badruddin Anwar (putera pertama) dan Burhanuddin Hamid (menantu pertama).

Rencana tersebut ternyata mendapat dukungan penuh oleh beberapa pemuka masyarakat, seperti: H. Abd. Manan Ibrahim, Muso Abdul Aziz, Hasyim Alwan, Buadin Hadi Kusma, Pramu Turmudzi, H. Mahmud dan lain-lain.

Tepat pada tanggal 03 Januari 1968 sebagai perwujudan cita cita dibuka madrasah tingkat Tsanawiyah dengan nama “Madrasah Tsanawiyah Agama Islam An-Nur”. Dalam pembukaan ini langsung di tingkat Tsanawiyah, sebab di samping menerima anak luar pondok, para santri yang mondok umumnya telah tamat Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau sederajat.

Berhubung gedung atau tempat belajar belum punya, maka untuk sementara pinjam bekas gudang pengeringan tembakau yang terletak kurang lebih 100 meter seberang jalan raya sebelah barat pondok. Jumlah murid 76 orang dan dibagi dua, pagi untuk putera dan sore untuk puteri.

Setelah berjalan satu tahun, agar di belakang hari tidak menemui kesulitan dirasa perlu madrasah harus memiliki gedung sendiri ditambah lagi murid putera-puteri minta disediakan pondok. Maka kiai bersama tokoh masyarakat membantu panitia pembangunan yang selanjutnya bertindak sebagai pengurus pesantren dan madrasah “An-Nur”.

Alhasil, tanggal 19 September 1968 mulai membangun pondok puteri serta langgarnya, sedang pengasuhnya diserahkan pada puteri kedua (Ibu Nyai Lilik Zubaidah) dengan dibantu oleh Ibu Maslamah, Munawwaroh dan Nidhomah. Selanjutnya, tanggal 31 Desember1968 dilakukan peletakan batu pertama gedung madrasah terdiri dari tiga lokal dengan ukuran 7×7 meter. Alhamdulillah, selesai dalam waktu 6 bulan.

Dengan telah adanya pondok putera, puteri dan madrasah, maka nama pondok disempurnakan menjadi Pondok Pesantren dan Madrasah An-Nur.

Perkembangan dan Perubahan Madrasah
Dari tahun ke tahun pertumbuhan pendidikan selalu mengikuti pertumbuhan penduduk, selain itu juga harus mengikuti arus kemajuan bangsa yang sedang berkembang. Dalam hal ini, pesantren dan madarasah An-Nur ikut aktif membantu program pemerintah dalam meningkatkan pendidikan di daerah-daerah. Terbukti bahwa pada tahun 1971 sekaligus berhasil membuka 3 tingkat madrasah yaitu:

  1. Taman Kanak–kanak (TK);
  2. Madrasah Ibtidaiyah (MI); dan
  3. Madrasah Aliyah (MA) sebagai kelanjutan bagi tamatan Madrasah Tsanawiyah (MTs) An-Nur.

Kemudian sebagai penghargaan pemerintah atas keberhasilan An-Nur dalam mengelola pendikan, maka berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah TK. II Kabupaten Malang tanggal 31 Desember 1973, No. 52/Kep/Bapp/73 dipilih sebagi pilot proyek pendidikan pondok pesantren dan madrasah untuk Kabupaten Malang. Dengan menunjukan ini selanjutnya diabadikan menjadi nama dengan sebutan “Pilot Proyek Pendidikan Pondok Pesantern dan Madrasah An-Nur Bululawang, Malang”.

Empat tingkat tingkat madrasah telah berjalan, yaitu TK, MI, MTs dan MA, namun dirasa belum memenuhi keinginan masyarakat banyak. Oleh karna itu pada tahun 1975 membuka lagi PGA An-Nur dengan maksud guna menampung calon siswa yang kurang berminat belajar pada MTs. Tetapi baru berjalan tiga tahun, sehubungan dengan Keputusan Menteri Agama No. 16 dan 17 tahun 1978 tentang Penyederhanaan Struktur Sekolah dalam Lingkunagan Departemen Agama, maka untuk menyesuaikan keputusan tersebut pada tahun 1978/1979, PGA An-Nur dilebur dan disatukan dengan MTs.
Selain itu mengingat animo masyarakat Bululawang dengan memasukan putera-putreinya ke madrsah An-Nur lebih besar, akibatnya tempat-tempat pendidikan yang lain muridnya berkurang maka untuk mengatasi hal itu ditempuh dengan jalan:

  1. Tahun 1976, TK An-Nur ditiadakan dan muridnya disalurkan ke TK yang terdekat.
  2. Tahun 1976, MI juga ditiadakan dan murid–muridnya disatukan dengan MINU Bululawang.

Pengembangan Pondok Pesantren
Berhubungan lokasi pesantren yang ada tidak memungkinkan untuk ditambah atau diperbesar, sedang santri yang datang semakin bertambah, maka atas rida Allah swt pada tahun 1979 beliau dapat mendirikan Pondok II dengan diberi nama “Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo” yang terletak 600 meter arah selatan dari Pondok Pesantren Aan-Nur I.

Pembangunannya diawali dengan pendirian rumah darurat tiang kayu, dinding bambu (gedek) ukuran 7×11 meter. Dan, yang menempati bangunan darurat ini adalah putera pertamanya (H. M. Badruddin Anwar) yang selanjutnya diberi amanah sebagai pengasuh bersama 4 orang santri. Di mana, mengaji, salat, tidur, dan memasak menjadi satu ruangan.

Dalam masa tiga tahun santri yang mukim semula hanya empat orang, kini telah meningkat menjadi ribuan orang. Di antaranya mereka berasal dari Probolinggo, Lumajang, Jember, Pasuruan, Gresik, Jombang, Kediri, Trenggalek, Jepara (Jateng), bahkan ada yang dari Lampung (Sumatera). Kemudian tepat pada Hari Raya Iduladha, 10 Dzul Hijjah 1404/17 September 1983 dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan Pondok Pesantren An-Nur III dengan pengasuh putera ketiganya (A. Qusyairi Anwar). Untuk pertama kali yang dikerjakan adalah gedung madrasah, sebab gedung yang dipakai sekarang sudah tidak mencukupi dan terus berkembang pesat.

Hingga saat ini, Yayasan Pondok Pesantren An-Nur mengelola SMP, SMA, MI, MTs, MA dan lembaga non formal lainnya dengan jumlah santri lebih dari 2.000 orang.

K.H. Anwar Nur wafat pada tahun 1992 dan dimakamkan di Komplek Pondok Pesantren An-Nur Bululawang. [DR]

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *