Biografi K.H. Chudlori, Pendiri Pesantren API Tegalrejo Magelang

biografi-kh-chudlori-pendiri-pesantren-api-tegalrejo-magelang

JAS HIJAU – Lahir di Tegalrejo, K.H. Chudlori merupakan putera kedua dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Kiai Ikhsan dan Ibu Mujirah. Ayahnya adalah seorang pegawai (penghulu) yang menangani administrasi urusan agama di daerah pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi beberapa kecamatan, di antaranya; Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid dan Tegalrejo.

Pada zaman penjajahan Belanda, seorang penghulu dan keluarganya dihormati sebagai priyayi, sedangkan Ibu Mujirah adalah puteri Karto Diwiryo yang menjadi Lurah di Kali Tengah.

K.H. Chudlori melepas masa lajangnya dengan menikahi puteri K.H. Nahrowi Dalhar Watucongol, ia sempat mengajar di pesantren mertuanya tersebut, di Pondok Pesantren Watucongol, Magelang. Namun mengajarkan ilmu agama di kampung halamannya adalah cita-citanya yang menggebu-gebu sehingga K.H. Chudlori selalu melakukan mujahadah dan meminta petunjuk Allah swt untuk niatnya itu.

Dari pernikahannya, K.H. Chudlori dikaruniai sepuluh anak. Semua puteranya adalah seorang kiai dan meneruskan perjuangan dakwahnya dengan merawat dan mengembangkan Pondok Pesantren API Tegalrejo, perjuangan dipartai politik, dan sebagai dai.

Pengembaraan Ilmu K.H. Chudlori
Pada tahun 1923, seteleh menyelesaikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS), lembaga pendidikan setingkat Sekolah Dasar zaman Belanda, Chudlori kecil dikirim ayahnya ke Pondok Pesantren Payaman yang diasuh oleh K.H. Siroj. Ia menghabiskan 2 tahun di pesantren tersebut. Kemudian pindah ke Pondok Pesantren Kuripan di bawah asuhan K.H. Abdan.

Tapi kemudian pindah lagi ke pesantren Kiai Rahmat di daerah Gragab hingga tahun 1928. Karena kehausannya akan ilmu agama, K.H. Chudlori kemudian nyantri ke Pondok Pesantren Tebuireng yang waktu itu diasuh Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari. Di pesantren pendiri NU tersebut, ia mempelajari beragam kitab.

Saat di Tebuireng, ayahnya mengirim uang sebanyak Rp750,- per bulan, tetapi ia hanya menghabiskan Rp150,- dan mengembalikan sisanya. Chudlori muda hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut.

Baca juga: Manuskrip Kitab Ashfiya al-‘Ilm al-Ladunni di Gunungpring, Magelang


Dia melakukan ini dalam rangka riyadah, amalan yang biasa dilakukan para santri. Cerita lainnya tentang Chudlori muda, di kamarnya di Tebuireng, ia membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut di antara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya, Chudlori muda naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi dengan baik.

Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk duduk. Jadi dengan kedisiplinan dia dapat belajar setiap hari hingga tengah malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, dia menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur. Kemudian pada tahun 1933, Chudlori muda pindah lagi ke Pondok Pesantren Bendo, Pare, Kediri, menjadi santri Kiai Khozin Muhajir.

Di situ ia belajar fikih dan tasawuf seperti kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghazali. Empat tahun berikutnya, ia mengaji di Pondok Pesantren Sedayu, belajar ilmu membaca al-Qur’an selama 7 bulan. Pada tahun 1937, ia nyantri lagi ke Pondok Pesantren Lasem, Jawa Tengah, yang diasuh K.H. Ma’shum dan K.H Baidlowi.

Ketika sudah menguasai semua kitab yang diajarkan, Chudlori sering diminta oleh Kiai Baidlowi untuk mengajar para santri lainnya. Di pesantren inilah Chudlori menggali bakatnya sebagai seorang kiai. Meskipun tetap tinggal di sana, Chudlori tidak begitu banyak belajar, karena harus mengabdi pada kiai agar memperoleh barakah untuk memastikan bahwa di masa yang akan datang itu yang diperoleh dari para kiai itu akan tetap memiliki potensi spiritual dan berkualitas.

Mendirikan Pesantren
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh K.H. Chudlori, seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo.

K.H. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren API di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya pesantren yang lain. Baru setelah berkali-kali K.H. Chudlori mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 ditetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari salat Istikharah.

Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, K.H. Chudlori berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guru yang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.

Baca juga: Mengenang Nyai Hj. Chalimah Chudlori, Perempuan Tangguh di Balik Kebesaran Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang


Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat “Li’i lai kalimatillah” (menegakkan kalimat Allah) yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Di mana kondisi masyarakat Tegalrejo pada waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami.

Respon masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren API Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran Kejawen. Tak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa taa’llum (belajar-mengajar).

Sebagai seorang ulama yang telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, K.H. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangan yang datang.

Kurikulum kajian keagamaan yang diajarkan di Pondok Pesantren API Tegalrejo membutuhkan waktu 7 tahun. Ajaran dan amalan-amalan tasawuf dulu dan sampai sekarang merupakan bagian inti kurikulum. Bahkan K.H. Chudlori menyebut tingkat yang paling tinggi (tingkat tujuh) dengan Ihya’, meminjam judul kitab tasawuf terkenal, Ihya’ Ulumuddin.

Karena amalan-amalan tasawuf mewarnai kehidupan sehari-hari Pondom Pesantren API Tegalrejo, maka pesantren ini pun terkenal sebagai pesantren tasawuf.

Berkat ketegaran dan keuletan K.H. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren API baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar ratusan. Dan, sekarang angkanya sudah mencapai ribuan.

K.H. Chudlori wafat pada tanggal 28 Agustus 1977. Jenazahnya dimakamkan di komplek makam keluarga Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah. [DR]


One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *