JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Biografi K.H. Djazuli Utsman, Pendiri Pondok Pesantren Ploso
Home » Biografi K.H. Djazuli Utsman, Pendiri Pondok Pesantren Ploso

JAS HIJAU – K.H. Djazuli Utsman lahir pada tanggal 16 Mei 1900 M di Ploso, dengan nama kecilnya Mas’ud. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman panggilannya Pak Naib, seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Di desa yang ramai dengan aneka kemaksiatan itulah beliau dibesarkan. Namun lingkungan Ploso yang rusak memiliki hikmah yang tersendiri baginya. Sebab orang tuanya memberikan pengawasan dan bimbingan super ketat penuh kewaspadaan, sejak kecil ditanamkan disiplin yang tinggi dan terus menerus disiramkan bekal keimanan ke dalam jiwanya yang baru tumbuh.
Lebih‑lebih ayahnya memang dikenal sebagai orang yang berwatak keras, ditambah dengan gaya pendidikan yang dipakainya adalah pendidikan Belanda yang tidak jauh berbeda dengan gaya pendidikan militer yang penuh disiplin, ketat dan streng.
Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Kekhawatiran sang ayah akan masa depan putera-puterinya sangat beralasan, betapa tidak, dari pernikahannya dengan Nyi Mas Ajeng Muntoqinah binti M. Syafi’i beliau dikaruniai tujuh orang putera dan enam orang puteri. Jumlah tiga belas orang merupakan jumlah yang cukup besar dan perlu pemikiran serius.
Ketigabelas putera dan puteri tersebut adalah: 1) Iskandar; 2) Zarkasi; 3) Miftahul Arifin; 4) Siti Maimunah (Bu Soleh); 5) Siti Halimah; 6) Abdulloh; 7) Mas’ud (K.H. Ahmad Djazuli); 8) Masjhud; 9) Ardani; 10) Siti Roihah; 11) Siti Fatonah; 12) Siti Aminah; dan 13) Bairudin.
Masa Pendidikan
Sekolah‑sekolah yang dibentuk Belanda hanya mengajarkan ilmu‑ilmu umum, tujuannya semata‑mata memenuhi kebutuhan pernerintah Belanda untuk mencetak pegawai‑pegawai yang setia kepada pemerintahnya. Tidak sembarang rakyat dapat masuk sekolah, pemerintah kolonial hanya memberi kesempatan kepada kelornpok kecil bangsa Indonesia yang terdiri dari anak‑anak pegawai, bangsawan dan tuan‑tuan tanah.
Nampaknya Belanda sangat khawatir akan munculnya orang‑orang pintar yang akan tampil sebagai pelopor dan pejuang bangsa untuk menggulingkan kekuasaan penjajah. Karenanya kesempatan belajar sangat dibatasi, demi melestarikan kekuasaan dan penjajahan.
Mas’ud termasuk anak yang beruntung, begitu juga anak‑anak Pak Naib yang lain. Setidaknya ada dua faktor yang memudahkan dirinya masuk sekolah. Pertama karena ia putera pegawai negeri dan kedua karena gelar “Mas” yang tercantum di depan namanya merupakan gelar bangsawan yang diakui secara hukum oleh pemerintah kolonial.
Hari demi hari Mas’ud terus berkembang seperti anak-anak yang lain. Usianya memasuki 6-7 tahun ketika petugas sekolah memerintahkan kepadanya untuk melingkarkan tangan kanan di atas kepala sehingga menyentuh telinga kiri. Alhamdulillah, telinga itu telah tersentuh dan resmilah ia diterima sebagai murid Sekolah Desa di Ploso. Hanya itulah testing baginya, sekadar untuk menentukan usia bisa masuk sekolah di tingkat dasar.
Tiga tahun lamanya Mas’ud duduk di bangku “cap jago” dan kemudian ia meneruskan ke Inlandsche Vervolgshool, suatu sekolah lanjutan dengan masa pendidikan selama dua tahun.
Agaknya Mas’ud semakin rajin dan tekun belajar, tidak pernah ia mengandalkan atau membanggakan kecerdasan otak yang dimilikinya. Hampir seluruh waktunya untuk belajar. Pikirannya mulai sadar bahwa bimbingan dan pengarahan ayahnya yang keras dan disiplin sejak ia masih kecil tak perlu diterirna dengan perasaan jengkel atau terpaksa menurut lantaran takut dimarahi.
Ayahnya adalah benar, semuanya dilakukan orang tua itu demi kebaikan puteranya, demi masa depan buah hatinya. Oleh karena itu ia kini lebih banyak menimang‑nimang buku, ketimbang kelereng atau kemiri.
Setelah Inlandsche Vervolgschool diselesaikannya dengan angka memuaskan, Mas’ud melanjutkan ketingkat SLTA, dia masuk Hollandsch‑Inlandsche School (HIS) di Cringging-Grogol Kediri, Sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan sekolah Ongko Kaleh. Lagi‑lagi Mas’ud termasuk murid yang menonjol dalam pelajaran. Bahasa Belanda dikuasainya dengan baik, begitu juga al-Jabar (matematika), ilmu ukur dan pelajaran‑pelajaran yang lain.
Terbuktilah diamnya Mas’ud adalah laksana lautan tenang dan dalam yang menyimpan banyak mutiara, hal ini membuat Pak Naib Utsman sangat bersyukur dan bangga melihat prestasi anaknya yang satu ini. Sejak itu Mas’ud mendapat tempat tersendiri di hati ayahnya.
Suatu ketika Pak Naib kedatangan Kiai Ma’ruf Kedunglo. “Pundi Mas’ud?”, tanya Kiai Ma’ruf mengawali pembicaraan dengan bahasa Jawa yang halus menanyakan ke manakah Mas’ud.
Pak Naib menjawab: “Ke Batavia, dia melanjutkan sekolah di jurusan kedokteran”.
Lalu dengan gayanya yang khas Kiai Ma’ruf mulai memberikan saran: “Saene Mas’ud dipun aturi wangsul, larene niku ingkang prayogi dipun lebetaken pondok. (Sebaiknya Mas’ud dipanggil pulang, anak itu cocoknya dimasukkan pondok pesantren)”, kata Kyiai Ma’ruf.
Rupanya Kiai Ma’ruf Kedunglo memiliki firasat tentang diri Mas’ud, agaknya beliau mengerti apa yang pantas bagi masa depan putera Pak Naib itu.
Dari Pesantren ke Pesantren
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar Karsidenan Kediri.
Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh K.H. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (nahwu) selama 6 bulan.
Melanglang buana mencari ilmu ke berbagai guru yang mutawatir sanad-nya, di antaranya adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng (Jombang), K.H. Dimyati Tremas (Pacitan), K.H. Zainuddin Mojosari (Nganjuk), Syekh al-Allamah al-Aidrus Makkah, dan lain-lain.
Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tasrifan (ilmu sorrof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat nyantri di Sekarputih (Nganjuk) yang diasuh K.H. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh K.H. Ali Imron di Mojosari (Nganjuk) dan pada waktu itu diasuh oleh K.H. Zainuddin.
Kiai Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam K.H. Wahab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Aam setelah K.H. Hasyim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).
Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata sepuluh rupiah. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.
Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fath al-Qarib, ia jual Rp2.5 (seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.
Si Blawong
Setiap hari diam-diam Kiai Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.
“Co, endang ning pondok! (Kawan, segera ke pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kiai. (Saya tidak punya bekal, Pak Kiai),” jawab Mas’ud.
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co! (Ayo, Kawan, besok kamu mau jadi Blawong, kawan.)”
Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.
Ternyata ‘Blawong’ adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.
Berangkat Haji dan Menimba Ilmu di Mekkah
Setelah sempat mondok di Mojosari, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Makkah. H. Djazuli, demikian nama panggilannya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di Tanah Suci, ia berguru pada Syekh al-‘Alamah al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz al-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah saw di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.
Melanjutkan Nyantri di Tanah Air
Sepulang dari Tanah Suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalail al-Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang untuk memperdalam ilmu hadis di bawah bimbingan langsung Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari.
Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke K.H. Hasyim Asya’ri untuk belajar, Hadratussyekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya: “Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar kitab tafsir Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tremas yang diasuh K.H. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syekh Mahfudz at-Tarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.
Merintis Pesantren
Dengan modal tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kezaliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.
Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Maka dengan ucapan Bismillah dan bekal tawakal dibentuknya sebuah madrasah.
Surat permohonan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama Al-Falah itu tertanggal 1 Januarai 1925. Dibangunanlah madrasah berlokasi di depan masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah). Nama ini disematkan sebab lantainya dari batu bata merah lantaran karena dananya terjangkau.
Peristiwa itu pada tahun 1927, konon Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari berkenan hadir pada acara tasyakuran pembangunan Madrasah tersebut. Pada tahun 1928 dibangun pondok pertama dan diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul tahun berikutnya dibangun pondok C (Cahaya). Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.
Pada jaman Jepang, beliau pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari beliau mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, beliau gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.
Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Selepas perang kemerdekaan, Pondok Pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kiai Djazuli selama mondok di sana.
Sampai di akhir hayat, K.H. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istikamah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kiai Djazuli mengajar kitab al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jumat bersama K.H. Abdul Madjid dan K.H. Mundzir.
Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thariqah Kiai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar. “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,” katanya berulang kali kepada para santri.
Akhir Hayatnya
Hingga akhirnya Allah swt. berkehendak memanggil ‘Sang Blawong’ kehadapanNya pada hari Sabtu Wage, 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban Ploso, Kediri.
Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian Kiai Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.
Pasangan KH.Djazuli dengan Ibu Nyai Rodliyah dikaruniai 8 anak putra dan 3 anak putri: Siti Azizah (meninggal diusia 1 tahun); Hadziq (meninggal diusia 9 bulan); K.H. A. Zainuddin Djazuli; K.H. Nurul Huda Djazuli; K.H. Hamim Djazuli (Gus Miek); K.H. Fuad Mun’im Djazuli; Mahfudz (meninggal diusia 3 tahun); Makmun (meninggal diusia 7 bulan); K.H. Munif Djazuli; Ibu Nyai Hajjah Lailatul Badriyah Djazuli dan Su’ad (meninggal diusia 4 bulan). [DR]

7 Comments
[…] HIJAU – Kiai Munif Djazuli adalah putera kelima dari pasangan Kiai Djazuli Utsman dan Nyai Rodliyah Djazuli. Kiai Munif memiliki wajah yang rupawan. Saudara-saudaranya menyebutnya […]
[…] Al Falah merupakan pesantren salaf yang berada di kota Kediri. Pesantren Al Falah didirikan oleh K.H. Djazuli Utsman pada tahun 1925 […]
[…] ibu nyai baik saat K.H. Djazuli Utsman masih sugeng maupun seusai kewafatannya sangatlah tidak mudah, apalagi di awal-awal Kiai Djazuli […]
[…] sebagai sosok kiai yang nyentrik sekaligus unik. Kiai yang lahir pada 17 Agustus 1940 adalah put3ra K.H. Jazuli Utsman, seorang ulama sufi dan ahli tarekat sekaligus pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, […]
[…] Baca juga: Biografi K.H. Djazuli Utsman, Pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso (Kediri) […]
[…] dimaklumi, persyaratan masuk tingkatan tertentu di pesantren yang didirikan K.H. Djazuli Usman itu harus sudah memiliki hafalan Alfiyah li Ibn Malik. Untuk mencapai persyaratan tersebut, Gus […]
[…] Baca juga: Biografi K.H. Djazuli Utsman, Pendiri Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Kediri […]