JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Biografi K.H. Subkhi, Kiai Bambu Runcing dari Parakan Temanggung
Home » Biografi K.H. Subkhi, Kiai Bambu Runcing dari Parakan Temanggung

JAS HIJAU – K.H. Subkhi memiliki nama kecil Muhammad Benjing. Ia adalah anak dari K.H. Harun ar-Rasyid dari delapan bersaudara yang merupakan ulama terkemuka di daerah Parakan, Temanggung. Muhammad Benjing dilahirkan di Parakan pada tahun 1858 M. Saat sudah dewasa dan menikah, nama Muhammad Benjing diganti menjadi R. Sumowardojo.
Sejak kecil, K.H. Subkhi diasuh dan dibesarkan oleh ayahnya di lingkungan agamis di daerah Parakan. Pada tahun 1825-1830, terjadi perang di Jawa dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Pada saat itu K.H. Subkhi, K.H. Harun ar-Rasyid dan K.H. Abdul Wahab, kakeknya ikut pelarian bersama Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta dan menetap di daerah Parakan, Temanggung.
Selain hidup di lingkungan ulama, K.H. Subkhi juga hidup di daerah yang mayoritas penduduk berprofesi petani, sehingga ia pun menjadi petani di sana. Ia adalah seorang petani yang rajin dalam menjalankan aktivitasnya, berani, dan masyarakat pun menyeganinya. Selain itu, ia juga dikenal sosok yang rajin dalam menjalankan syariat Islam.
K.H. Subkhi dikaruniai delapan orang putera dan puteri, di antaranya: Nyai Waruyan, Zain, H. Abdurrahman, H. Syadzali, Nyai Suwaidah, Nyai Sofiyah, Nyai Umi Kultsum dan Nyai Sulaiman.
Setelah isteri pertamanya meninggal dunia, K.H. Subkhi menikah dengan isteri keduanya. Dari isteri keduanya ini, K.H. Subkhi tidak dikaruniai anak. Akan tetapi isteri tersebut sudah memiliki dua anak dari pernikahan sebelumnya, sehingga dirinya memiliki sepuluh anak.
Setelah menunaikan ibadah haji, namanya diganti menjadi K.H. Subkhi. Beliau wafat pada 6 April tahun 1959 di usianya yang ke-101, bertepatan pada Kamis Legi dan dimakamkan di pemakaman Sekuncen, Parakan Kauman, Parakan, Temanggung. K.H. Subchi juga belajar ilmu agama di Makkah selama tujuh tahun dan melaksanakan haji beberapa kali.
Pengembaraan Ilmu K.H. Subchi
Selain belajar agama di desa tempat dibesarkan dan dididik langsung oleh ayahnya sebagai salah satu ulama di Parakan, K.H. Subkhi juga pernah belajar ilmu agama di Pondok Pesantren Punduh, Magelang yang merupakan asuhan K.H. Maksum, lalu melanjutkan di Pondok Pesantren Somalangu, Kebumen asuhan Syekh Abdurrahman, lalu melanjutkan di pesantren Surabaya.
Kendati pun K.H. Subkhi hanya mengenyam pendidikan ayahnya dan pesantren, beliau memiliki kepribadian yang jujur dan pemberani. Hal ini terbukti dengan kiprahnya sebelum kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1913, daerah Parakan menjadi tempat terselenggaranya Kongres Sarekat Islam (SI). Kongres berlangsung dengan dihadiri oleh HOS Cokroaminoto yang mana sebagai ketua organisasi tersebut serta berbagai kalangan ulama di wilayah Parakan seperti K.H. Subkhi.
K.H. Subkhi mendirikan pesantren di daerah Parakan. Pesantren itu didirikan untuk masyarakat setempat menimba ilmu agama. Tapi pesantren itu bukan beliau yang mengurusnya, melainkan K.H. Ali. Demikian sebab K.H. Subkhi merasa K.H. Ali memiliki keilmuan yang lebih darinya dan lebih bisa membinanya. Sampai hari ini pesantren tersebut tidak hanya diisi oleh masyarakat Parakan, namun juga di luar daerah itu.
Baca juga: Mengenal Kiai Yahya Gading, Mursyid Tarekat Penggerak Perang Geriliya
Kiprah Politik K.H. Subkhi
K.H. Subkhi mengawali karir politiknya ketika mengikuti Kongres Sarekat Islam (SI) pada tahun 1913 di Temanggung yang dihadiri oleh HOS Cokroaminoto. Proses kongres tersebut dihadiri ulama-ulama dan santri-santri yang ada di daerah Parakan. Pada saat keadaan genting di daerah Parakan, K.H. Subkhi melakukan pembentukan atau dengan Barisan Muslimin Temanggung (BMT).
K.H. Subkhi juga berkiprah di organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Temanggung sendiri atas perintah Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari kepadanya untuk mendirikan NU di Temanggung. Hal ini disambut baik K.H. Subkhi dengan mengadakan pertemuan alim ulama dan beberapa tokoh masyarakat Parakan untuk mendirikan NU di daerah Temanggung. Pengurus NU cabang Temanggung kala itu di antaranya:
Syuriyah diisi oleh K.H. Subkhi, K.H. Abdurrahman, K.H. R. Abuamer, K.H. Nawani, K.H. Muhammad Ali, K.H. R. Somogunardo, K.H. Zaenal Abidin, K. Kasyful Anwar, K.H. Ridwan, K. Afandi dan K. Anwar. Sedang di Tanfidziyah diisi oleh K. Syahid, K. Muhammad Suwardi, Sayuti Tohir, Ayus Basyir, Sukarman Abdurrohman, Badruddin dan Adham.
K.H. Subkhi juga berkiprah di Barisan Muslim Temanggung (BMT). Pada saat Parakan dikuasai oleh penjajah, K.H. Subkhi tidak tinggal diam. Beliau mengadakan pertemuan pada tanggal 30 Oktober 1945 yang dihadiri tidak hanya dari kalangan ulama saja, tapi juga para pemuda Parakan dan Temanggung sekitarnya serta dari pemerintah Kabupaten Temanggung. Pertemuan itu dilaksanakan di Masjid Kauman, Parakan.
Dari kalangan ulama yang hadir pada saat itu adalah K.H. Sumagunarda, K.H. Nawawi, K.H. Ali, K.H. Suwardi, K.H. Abdurrahman, K.H. Sahid Baidawi dan K.H. Ridwan. Hasil dari pertemuan itu adalah dibentuknya Barisan Muslim Temanggung (BMT). Hari itu bertepatan pada tanggal 30 Oktober 1945 yang dipimpin oleh K.H Subkhi.
Kiai Bambu Runcing, Guru Jenderal Soedirman
K.H. Subkhi dikenal sebagai pejuang yang menggelorakan semangat tempur para pemuda untuk melawan penjajah. Kiai asal Parakan itu pun dijuluki “Kiai Bambu Runcing” oleh para santrinya.
Sebutan itu muncul tatkala pada suatu hari K.H. Subkhi meminta para pemuda untuk mengumpulkan bambu yang ujungnya dibuat runcing. Setelah terkumpul ia memberi bambu runcing itu nama dan merapalkan doa khusus.
Dengan bekal bambu runcing yang sudah didoakan oleh K.H. Subkhi, para pemuda berani tampil di garda depan dan bertarung melawan musuh.
Dalam catatan Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), K.H. Subkhi menjadi rujukan laskar-laskar yang berjuang di garda depan revolusi kemerdekaan. Bahkan seorang Jenderal Soedirman sempat berkunjung dan meminta berkah kepada K.H. Subkhi sebelum terjun ke Pertempuran Ambarawa pada Desember 1945.
Kala itu, Jenderal Soedirman datang bersama pasukannya membawa peralatan lengkap. Jenderal Soedirman datang menemui K.H. Subkhi setelah Kolonel Isdiman, komandan pasukan TKR, gugur dalam pertempuran sebelumnya di Ambarawa pada 26 November 1945. Setelah peristiwa nahas itu, komandan pertempuran diambil alih oleh Jenderal Soedirman yang waktu itu masih berpangkat kolonel.
Konon berdasarkan cerita masyarakat, setelah berkunjung ke kediaman K.H. Subkhi, Kolonel Soedirman terlebih dahulu mencari sumur warga untuk berwudlu setiap kali hendak ke medan laga. [DR]
