JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Catatan Kecil tentang Nasab Ba’alawi, Wali Songo dan Akhlak Mujadalah
Home » Catatan Kecil tentang Nasab Ba’alawi, Wali Songo dan Akhlak Mujadalah

JAS HIJAU – Saat ini, dan nampaknya masih akan terus berlanjut, berlangsung debat panas soal nasab Ba’alawi. Sayang, ini sebenarnya bukanlah debat subtansial. Isu pinggiran. Bahkan terasa risih jika bicara nasab. Isu-isu strategis justru tidak disentuh seperti kian mahalnya pendidikan tinggi, merosotnya indeks demokrasi, kondisi kemiskinan yang tidak banyak berubah, korupsi yang meraja lela, industri tambang ekstraktif yang merusak lingkungan, dan lain-lain.
Isu-isu yang jelas-jelas terkait dengan maqoshid syariah, bukan furu’, namun ushuly. Belum lagi isu strategis terkait genosida rakyat Palestina oleh rezim zionista Israel, yang menelan puluhan ribu nyawa, yang sebagian besar perempuan dan anak-anak, yang mengiris maqoshid syariah dan konstitusi dasar Indonesia.
Namun karena impact debat itu sedemikian luas, masyarakat umum ikut-ikutan bersikap tanpa alasan memadahi, tanpa sadar menjadi buzzer, maka perlu menjernihkannya agar debat lebih produktif dan tidak terjebak pada saling stigmatisasi.
Agar jernih, perlu dipetakan dua: tesis atau antitesis ilmiah atau katakanlah debat ilmiah dan penilaian moral. Keduanya perlu diperjelas agar tidak jumbuh, sehingga bisa dibedakan antara “sikap ilmiah” dan penilain subjektif. Berikut ini yang sempat saya serap di media sosial dan saya cukupkan yang pokok-pokok saja.
Baca juga: Klaim Habib atas Pangeran Diponegoro
Pertama, soal tesis dan antitesis. Ini bisa dibagi dalam beberapa topik.
(1) Marga Ba’lawi tidak tersambung kepada Rasulullah saw. Tesis ini, kita lepaskan dulu dari latar belakangnya, dilontarkan oleh Kiai Imad cs. Argumen pokoknya dua: ada fase 5 abad nasab Sayyid Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir tidak tercatat dalam kitab kitab nasab; dan beberapa tes DNA yang menunjukkan haplogroup yang berbeda. Tesis ini sebelumnya juga pernah dilontarkan oleh kalangan Wahabi Timur Tengah dan beberapa kelompok Syiah.
(2) Sebagai antitesisnya, yang membantah tesis pertama, dengan sekian argumentasi. Argumen pokonya, ketiadaan catatan bukan berarti menafikan hak tersebut. Apalagi yang mengesahkan nasab ini banyak ulama masyhur dan kredibel. Argumen lain, secara metodik, prinsip as-syuhroh wal-istifadhoh diakui ulama ahli nasab sebagai metode meng-itsbat-kan atau menafikan nasab. Pandangan ini juga menolak tiadanya kitab yang mencatat dalam waktu 5 abad. Menurut pandangan ini, Sayyid Ubaidillah bin Ahmad lahir tahun 293 H, yang wafat 300-an (abad 4 H), maka penulisan silsilahnya tentu zaman setelahnya 5 H. Di abad 5 ini telah ada kitab Abna al-Imam karya Muhammad bin Ibrahim Thabataba atau lebih dikenal Ibnu Thabataba telah mencatat itu.
Jadi, menurut pandangan ini 500 tahun tak tercatat itu sebentuk framing saja. Ketika kitab ini disodorkan, pihak pertama hanya bisa menuding kitab palsu tanpa pembuktian melalui naskah asli. Kitab Abna al-Imam itu kitab 400-an H, artinya kitab abad ke-5 yang seharusnya terhitung kitab sumber primer.
(3) Soal uji DNA. Di sini muncul tiga pandangan. Yang pertama, uji DNA dianggap valid untuk menentukan nasab seseorang. Yang kedua, menolak uji DNA valid sebagai instrumen uji nasab, karena ilmu nasab tak bisa dikawinkan dengan dengan teori yang sampai sekarang teorinya masih berproses dan tidak bersifat final. Penolakan lainnya karena karena sampai hari ini tidak ada ulama nasab kontemporer yang menggunakan DNA untuk mengistbatkan atau menafikan nasab. Ketiga, pandangan yang menengahi dua posisi ekstrem tersebut.
(4) Jika menggunakan kerangka metode tesis yang pertama, nasab Wali Songo, bahkan Syekh Abdul Qodir al-Jailani dimungkinkan tidak diterima validitasnya.
Kedua, penilaian moral. Debat soal validitas kemudian berkembang menjadi penilaian moral yang melampaui konteks yang ada. Saling ejek, saling olok, saling serang di luar kepantasan etik. Hal ini dapat dipetakan:
- Para habaib adalah pembohong dan pendusta terkait nasab Ba’alawi.
- Para habaib adalah pemalsu sejarah dan makam.
- Para habaib sombong, arogan, penjajah, dan menempatkan manusia non-habaib sebagai kelas dua. Satu habaib dikatakan lebih utama dari 70 kiai non-habaib.
- Gembong PKI adalah para habaib. Nama Musso dikatakan berasal dari al-Musawa.
- Wali S ongo bukanlah habaib. Nasabnya terputus.
- Habaib dan kiai sama sama pelaku pendawiran.
- Habaib adalah imigran Yaman yang merupakan antek kolonial karena ada seorang mufti yang dianggap pro Belanda.
Jika dianalisis secara jernih, pada debat pertama, sampai saat ini belum menemukan titik temu. Sidang pembaca punya hak untuk memilih salah satu tesis atau antitesis tersebut. Yang penting berpijak argumentasi yang dianggap valid cukup. “Sikap ilmiah” ini tidak perlu dikembangkan menjadi penilaian moral yang melampaui batas.
Baca juga: Biografi Habib Quraish Shihab
Pada yang kedua, perlu diterapkan etika berdebat. Jika memang benar ada habaib atau non-habaib yang melontarkan demikian, tentu saja itu salah. Namun kesalahan itu bukanlah kesalahan kolektif, kesalahan semuanya, namun hanya kesalahan oknum, individual, yang tidak mewakili siapa pun kecuali dirinya sendiri. Karena itu, atas kesalahan segelintir orang, yang tidak boleh adalah berfikir rasis: semua habaib seperti itu atau non-habaib seperti itu.
Tudingan terhadap kedua pihak secara gebyah uyah adalah sebuah tudingan yang tidak etis, dan berbahaya karena fitnah yang ditimbulkannya. Selalu ada oknum yang brengsek dalam sebuah komunitas, namun generalisasi merupakan kebrengsekan yang lain. Generalisasi seperti itu mungkin bisa masuk kategori man qola ahlakan nasu, fahuwa ahlakuhum. Membangga-banggakan nasab bukanlah spirit ajaran Rasulullah saw, bahkan diancam laknat, namun menafikan atau membatalkan secara membabi buta merupakan 11-12.
Jika ada orang Aceh membantu Belanda dulu, atau orang Jawa ikut pasukan KNIL yang bedil para pejuang, atau orang Sunda ikut jadi mandor kolonial, atau orang India ikut melawan pejuang 10 November, keturunan China menjadi komprador Belanda, tidak bisa dikatakan orang Aceh, Jawa, Sunda, India, atau China sebagai antek kolonial. Model berfikir seperti adalah rasis dan berbahaya. Karena, faktanya, tidak semua demikian. Hanya oknum. Tidak valid oknum lalu digeneralisasi.
Maka, mengembalikan diskusi pada agenda keumatan jauh lebih produktif daripada debat isu-isu pinggiran dan tidak penting. Yang mendaku ini itu tidak akan meningkatkan kedekatannya kepada Allah swt, bahkan terancam terlaknat. Begitu juga yang menafikan, tidak akan meningkatkan taqorrub-nya kepada Allah swt, bahkan bisa terkena getahnya.
Baca juga: Ketawadhuan Gus Mus dan Quraish Shihab
Indonesia tidak akan maju karena kemenangan atau kekalahan satu pihak. Yang sudah pasti adalah mahabbah kepada ahli bait dan dzurriyah Kanjeng Nabi saw adalah salah satu kebiasaan salafus sholih dan tradisi kaum Aswaja. Debat tentang siapa mereka silakan kalau mau dilanjutkan yang penting dalam koridor akhlakul karimah. Yang sudah pasti adalah, sanad keilmuan ulama Aswaja Nusantara terkait erat atau melalui, salah satunya, mata rantai Sadah Ba’alawi.
Semoga kita dicatat sebagai muhibbin, sang pecinta Rasulullah saw, ahli bait, dan para dzurriyah-nya, tidak menyinggung apalagi menyakiti hati Kanjeng Nabi saw. Mengagungkan dan meledani para Walisongo dan ulama Nusantara, sang para pembawa cahaya iman-Islam di Nusantara. Amin. Wallahu a’lam bi al-showab. [DR]

4 Comments
[…] Baca juga: Catatan Kecil tentang Nasab Ba’alawi, Walisongo dan Akhlak Mujadalah […]
[…] Baca juga: Catatan Kecil tentang Ba’alawi, Walisongo dan Akhlak Mujadalah […]
[…] Baca juga: Catatan Kecil tentang Nasab Ba’alawi, Walisongo dan Akhlak Mujadalah […]
[…] Baca juga: Catatan Kecil tentang Nasab Ba’alawi, Wali Songo dan Akhlak Mujadalah […]