Corak Fikih Kiai Maimun Zubair

corak-fikih-kiai-maimun-zubair

JAS HIJAU – K.H. Maimun Zubair adalah Mustasyar PBNU, sebuah jabatan yang hanya dihuni begawan-begawan ulama yang sudah paripurna ilmu, akhlak, dan dedikasi kebangsaannya. Pemikiran dan tindakan Kiai Maimun Zubair menjadi sorotan banyak pihak.

Dalam konteks NU, maka kajian fikih menjadi dominan. Pegangan warga NU adalah hasil Bahtsul Masail baik yang diadakan pondok pesantren maupun Nahdlatul Ulama, mulai Ranting, Kecamatan, Kabupaten, Wilayah, dan Pusat.

Di level PBNU, Muktamar, Munas dan Kombes menjadi arena mengambil keputusan hukum sejak tahun berdirinya NU 1926 sampai sekarang.

Sebagai Mustasyar PBNU dan pengasuh pondok pesantren Salaf yang menekankan kajian kitab Salaf dan melahirkan ulama-ulama yang getol dalam Bahtsul Masail, bagaimana sebenarnya corak fikih Kiai Maimun Zubair?

Baca juga: Fikih Anekdotal

Tiga Tipologi Fikih NU
Ahmad Arifi dalam disertasinya di UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta membagi tipologi fikih NU menjadi tiga:

Pertama, tradisional normatif. Fikih tradisional adalah fikih yang mendasarkan pada pendapat para ulama (aqwalu al-ulama) yang ada dalam kitab-kitab klasik atau yang dikenal dengan kitab kuning.

Tugas para ulama di level ini hanya mencocokkan persoalan sosial yang terjadi dengan ta’bir-ibarat (teks-redaksi) yang ada dalam kitab. Jika teks kitab memperbolehkan, maka jawabannya boleh. Jika teks melarang, maka hukumnya tidak boleh.

Tipologi ini adalah mayoritas dalam spektrum fikih di komunitas NU. Adu ibarat dalam forum Bahtsul Masail di pesantren dan NU menjadi hal biasa. Jika Anda tidak mampu membaca, memahami dan membandingkan satu kitab dengan kitab lain, maka jangan harap Anda mampu berpartisipasi dalam forum paling ilmiah pesantren dan NU ini. Misalnya, larangan perempuan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) luar negeri karena tidak memenuhi syarat dalam kitab fikih.

Baca juga: Apa Pentingnya Fikih Sosial?

Kedua, kontekstual progresif. Tipologi fikih NU jenis kedua adalah kelompok yang masih konsisten dengan fikih klasik sebagai rujukan, namun mereka mengembangkan pemahaman menjadi kontekstual progresif. Artinya, pemahaman teksnya menganalisis aspek sosial, sejarah, serta kultur masyarakat dulu dan sekarang.

Kelompok ini menginginkan kitab kuning mampu menjadi problem sosial dengan mengambil spirit progresifnya. Zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan dengan model produktif termasuk dalam pemikiran kelompok ini. Gerbong kelompok ini diinisiasi K.H. Ali Yafie, K.H. M. A. Sahal Mahfudz, K.H. Tholhah Hasan dan K.H. A. Mustofa Bisri.

Ketiga, liberal fungsional. Tipologi ketiga ini menginginkan fikih menjadi elan vital transformasi sosial di era modern yang menekankan keadilan, perdamaian, kesamaan, kemajuan dan kesejahteraan.

Tipologi ulama kelompok ketiga ini menekankan kajian “maqasid al-syariah” dan menjadikan teks dalam kitab kuning sebagai teks sekunder yang harus sesuai dengan nilai-nilai universal dalam “maqasid al-syariah”.

Tokoh seperti K.H. Masdar Farid Mas’udi dan K.H. Husein Muhammad masuk dalam tipologi ketiga ini. Kelompok ketiga ini mendapatkan resistensi kuat dari ulama sepuh dan apresiasi dari kalangan muda. Pemikiran dan gerakan gender adalah salah satu contoh tipologi ketiga ini.

Baca juga: Perihal Ganja untuk Keperluan Medis, Sebuah Tinjauan Fikih

Bagaimana Corak Fikih K.H. Maimun Zubair?
Penulis belum banyak mendapat kajian memadai dalam konteks ini. Penulis hanya menemukan beberapa produk pemikiran fikih K.H. Maimun Zubair sebagai berikut:

[1] Sahnya pernikahan dini. Ketika penulis bertanya kepada K.H. Maimun Zubair tentang pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah, K.H. Maimun Zubair menjawab bahwa pernikahan Nabi bukan berdasarkan nafsu, tapi berdasarkan wahyu dari Allah.

Sesuai ketentuan fikih, wali nikah punya hal ijbar (memaksa dengan banyak ketentuan) anak gadisnya (perawan) menikah dengan laki-laki pilihannya. K.H. Maimun Zubair meneguhkan pandangan fikih ini. Tentu, tujuan utamanya adalah mewujudkan kemaslahatan anaknya di mana wali nikah adalah pihak yang paling mengetahui kemaslahatan anaknya.

[2] Bolehnya menggunakan jasa bank untuk kebutuhan daftar haji. Pandangan Kiai Maimun Zubair saya dapatkan dari beberapa sumber. Pandangan ini tidak ekstrem, justru menjadi solusi umat Islam supaya bisa cepat berhaji.

Pandangan ini disampaikan ketika masih ada polemik tentang perbankan konvensional yang dalam Muktamar NU diputuskan ada tiga pendapat, yaitu halal, haram dan syubhat.

[3] Wajibnya pemerintah melayani rakyat dengan program-program yang memberdayakan sehingga mereka mandiri dan sejahtera. Hal ini sesuai kaidah fikih:

تصرف الامام علي الرعية منوط بالمصلحة

Kebijakan seorang pemimpin kepada rakyatnya harus berkelit-kelindan atau berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Kemaslahatan rakyat terdiri dari primer (kebutuhan pokok), sekunder (pelengkap), dan tersier (hiasan). Dalam bahasa fikih ada tiga, yaitu dlaruri, haji dan takmili.

Baca juga: Abu Nawas dan Keresahan Ahli Fikih

Kontekstual Progresif
Corak pemikiran fikih K.H. Maimun Zubair dari produk pemikiran di atas lebih dekat kepada kontekstual progresif daripada tekstual normatif.

K.H. Maimun Zubair tidak hanya berorientasi kepada teks-teks yang ada dalam kitab kuning, tapi memikirkan solusi persoalan umat. Bukti lainnya adalah K.H. Maimun Zubair membuka Pondok Pesantren Putri Al-Anwar dan membolehkan guru putera mengajar santri-santri puteri dengan batasan yang ketat tentunya.

Tulisan ini sangat sederhana karena tidak didukung data yang cukup. Tulisan ini sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran, khususnya dari para santri Pondok Pesantren Al-Anwar yang tentu saja mempunyai memori banyak tentang pandangan fikih K.H. Maimun Zubair.

Pandangan sederhana penulis: K.H. Maimun Zubair sudah tidak di level “qariu al-kitab” (pembaca kitab), tapi beliau sudah di level “mustafidu al-kitab” (orang yang mengambil faidah kitab) untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial dalam lingkup yang luas. [DR]


One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *