JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Dari NU, KH Miftahul Akhyar, Gus Yahya, Pesantren sampai MUI
Home » Dari NU, KH Miftahul Akhyar, Gus Yahya, Pesantren sampai MUI

JAS HIJAU – Kita akan menunggu realisasi dari komitmen Gus Yahya Cholil Staquf yang beliau sampaikan kepada para kiai Jawa Timur. Beliau bertekad akan mengembalikan NU ke pesantren.
Demikian yang disampaikan oleh K.H. Nurul Huda Djazuli, Ploso kepada K.H. Ma’ruf Khozin. (Terkait perkataan Kiai Ma’ruf Khozin bisa dibca di artikel berikut Kepemimpinan Baru NU ala ‘Timur Tengah’)
Romo K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus pernah menyampaikan kepada seluruh anggota Bahtsul Masail se-Jawa-Madura di Pondok Pesantren Lirboyo, bahwa penting para santri belajar organisasi dan administrasi. Sebab, sedikit sekali output pesantren yang diserap oleh PBNU karena dinilai tidak cakap berorganisasi.
Akhirnya banyak pos-pos strategis di PBNU diisi oleh mereka yang tidak tahu baca kitab, tidak kaya penguasaannya terhadap khazanah pesantren. PBNU mendesak untuk kembali diisi oleh putra-putra terbaik pesantren.
Santri yang lama dan besar di pesantren serta intens bersinggungan dengan para kiai atau ulama, adalah figur yang paling paham tentang ide dan cita-cita Nahdlatul Ulama. Karena NU adalah pesantren besar, pesantren adalah NU kecil. NU lahir dari rahim pesantren, dan orang pesantren adalah ibu bagi NU yang paham betul tentang kebutuhan dan perasaan anak-anaknya, sangat peduli dengan pertumbuhan mereka.
Durhaka kepada ibu, dengan tidak menjadikan sosoknya sebagai entitas penting dalam hidup seorang anak, adalah pangkal kecelakaan. Ibumu, ibumu, ibumu. Begitu Nabi Muhammad Saw. berpesan. Pegelaran Muktamar NU di Lampung, bertepatan dengan Hari Ibu Internasional, dan terpilihnya Gus Yahya Cholil Staquf yang berkomitmen mengembalikan NU ke pangkuan ibunya harus disambut dengan penuh suka cita.
Di saat yang sama, K.H. Miftahul Akhyar kembali menduduki kursi Rais Aam PBNU, lembaga tertinggi Nahdlatul Ulama. Hal ini juga harus disambut dengan penuh suka cita. Sesuai harapan almarhum Saykhina Maimun Zubair dan Romo Saykhina Anwar Manshur, mattaallahu bituli hayatihi. Pemilihan Rais Aam dipilih oleh sembilan kiai yang fakih, zahid, wara’, dan ahli hikmah. Mereka melihat tidak lagi dengan mata telanjang, bashirah mereka ada dalam bimbingan cahaya Allah.
Hubungan ketua Tanfidziyah dengan ketua Syuriyah sudah sangat dekat, chemistry keduanya telah terbangun dalam periode kepengurusan sebelumnya yang masing-masing menduduki posisi Rais Aam dan Katib Aam. Tentu hal ini adalah model berharga untuk menjamin kesolidan dan kesepahaman antara pengurus Tanfidziyah dan Syuriyah.
Potensi konflik dua lembaga tertinggi NU seperti yang terjadi pada masa K.H. Idham Chalid dan poros K.H. As’ad Syamsul Arifin akan minim, setidaknya begitulah harapan kita.
Namun, sebagian anggota AHWA berpendapat bahwa kalau bisa, sebaiknya Rais Aam tidak merangkap jabatan. Inilah yang membuat saya kurang paham awalnya. Sebab, konsekuensinya, ketua MUI Pusat tidak akan lagi dijabat oleh Rais Aam PBNU. Padahal MUI selama ini kuat dan berwibawa dikarenakan ketua umumnya adalah sekaligus Rais Aam PBNU. Orang-orang yang benci MUI akan berfikir ribuan kali untuk melakukan peperangan terbuka dengan MUI.
Maka akan bermasalah jika MUI tidak lagi dijabat oleh Rais Aam PBNU. Mereka yang sejak lama gatal dengan MUI akan lebih berani menggaruknya sehingga terluka. Tidak mustahil di masa mendatang MUI akan bubar, dan dengan begitu wadah komunikasi dan kerja sama umat Islam dari berbagai kelompok yang menjadi simbol persatuan Islam akan mati. Innalillah wa inna ilaihi raji’un.
Baru setelah mencoba untuk berfikir lebih jernih lagi, saya menemukan jawabannya, dan ternyata sangat luar biasa. [DR]
