Dari Ujung Peci Hingga Ujung Kaki, Gus Baha Ini Ilmu Semua

dari-ujung-peci-hingga-ujung-kaki-gus-baha-ini-ilmu-semua

JAS HIJAU – Untuk pertama kalinya saya sowan ke nDalem (kediaman) Gus Baha di Narukan, Rembang. Sebagaimana yang saya tulis dalam catatan sebelumnya, saya pertama kali bertemu beliau di Masjid Syaikhona Kholil Bangkalan, kala itu beliau transit sebentar dan berziarah ke makam Mbah Kholil, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke PP. Bata-Bata Pamekasan.

Di sore itu, sebelum hadir ke acara Haul Mbah Zubair, saya sowan bersama dua ponakan saya, Muhammad Ismail al-Ascholy dan Muhammad Thoifur (Putera Kiai Thoifur Ali Wafa Sumenep), ada juga Yek Shodiq El Khered (salah satu santri kesayangan Gus Baha) dan para Gus dan Lora (panggilan untuk putera kiai di Madura) lainnya.

Kala itu ternyata Gus Baha sudah bersiap-siap untuk tindak ke Sarang, tapi beliau masih menyempatkan diri untuk menyambut kami, mempersilakan kami duduk dan memulai dawuh beliau yang penuh mutiara ilmu dan hikmah itu:

”Orang itu kalo keturunan ulama atau wali, dia seharusnya tidak bangga, tapi justru sedih dan terbebani. Sedih jika akhlak, perilaku, dan pencapaiannya tidak sama dengan mbah-mbahnya.“

Gus Baha seakan ingin menjelaskan kepada tamunya di sore itu yang kebanyakan adalah para Gus dan Lora, bahwa nasab mulia itu bukan untuk dibuat bangga-banggaan, bukan hanya dapat ditunggangi untuk mendapat rasa hormat manusia kebanyakan, lebih dari itu semua nasab mulia adalah sebuah beban dan tanggung jawab, sebuah pelecut diri untuk mengikuti “tindak-jejak” para leluhur yang merupakan wali-wali Allah itu.

Beliau lalu mengambil sebuah kitab, kitab Fawaidul Mukhtaroh kumpulan kalam dan Fawaid Habib Zain bin Smith, beliau meminta Yek Shodiq untuk membacakan sebuah kisah dalam kitab itu:

Baca juga: Gus Baha di Mata Gus Ghofur; Abu Bakar di Zaman Ini


Suatu ketika ada golongan para sayyid sedang berkumpul membaca kitab المشرع الراوي, kitab manaqib para Habaib Ba’alawy. Kala itu ada seorang Baduwi yang kebetulan ikut menyimak sejak awal. Ketika pembacaan kitab selesai, Baduwi itu bertanya:

“Mereka yang dibaca manaqibnya ini keluarga siapa?”

“Mereka adalah buyut-buyut kami!” jawab para sayyid.

“Alhamdulillah, mereka bukan buyut-buyut saya.” Baduwi itu menimpali.

Para sayyid itu jelas kaget lalu berkata: “Jika mereka buyutmu, itu adalah sebuah anugerah untukmu.”

“Tidak, justeu jika mereka adalah kakek buyut saya, saya akan merasa sangat malu karena amal perbuatan saya sangat jauh dibandingkan amal perbuatan mereka.”

Gus Baha lalu mengomentari kisah itu: “Jadi tidak enak to anaknya kiai? Misalnya ada orang baca sejarahnya Syaikhona Kholil, kita (yang bukan keturunan beliau) senyum-senyum saja, tidak ada beban, tidak harus meniru, kan bukan cucunya.“

Baca juga: Kesombongan Gus Baha


Beliau tertawa, sedangkan kami yang menjadi target “sindiran” itu hanya bisa tersenyum malu. Tapi itu yang saya suka dari Gus Baha, beliau selalu mempunyai cara yang khas dan unik dalam menyampaikan sebuah pesan, tanpa ada kesan menyakiti atau menggurui.

Alih-Alih menyampaikan pesan kaku: “Kalian keturunan ulama harus begini… Harus begitu…“, Gus Baha justeru lebih memilih menyampaikan sebuah cerita dengan hikmah yang sangat dalam, diselingi dengan “gojlokan” ilmiah yang selama ini sudah menjadi ciri khasnya.

Sowan pertama saya waktu itu hanya berlangsung beberapa menit, tapi beberapa menit bersama beliau jelas sangat istimewa rasanya. Baru ketika sowan ke nDalem beliau untuk kedua kalinya pada malam Iduladha kemarin, saya bisa ngobrol dengan beliau agak lama, mulai dari jam setengah sebelas sampai hampir jam dua belas malam. Saya ingat ketika itu beliau berpesan:

“Saya dengar sampean suka menulis. Pesan saya, jika sampean menulis jangan hanya karena mengikuti permintaan atau minat pembaca. Tapi jadikan tulisan itu sebagai sesuatu yang ‘Talqallah bihi’, sesuatu yang bisa dibawa dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.”

Di Kantor PWNU Jatim kemarin untuk kesekian kalinya saya bertemu beliau. Setelah acara launching kitab Syaikhona Kholil beliau bahkan mengajak saya untuk sowan kepada Habib Zain Baharun di Markaz Ha’iah Sofwah. Dan, di mana pun Gus Baha memang seperti itu, yang selalu beliau bicarakan adalah ilmu, ilmu dan ilmu.

Ketika beliau berbicara dengan saya dan saya hanya bisa terkagum-kagum seraya mengimbangi “sekali-kali” agar kebodohan saya tidak begitu “kentara”, kadang terbesit di dalam hati saya:

“Gus Baha ini ilmu semua, mulai dari ujung peci sampai ujung kaki.” [DR]


2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *