JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Drama Bidah dan Ironi Dukungan Wahabi: Ketika Framing Merugikan Ulama Sufi
Home » Drama Bidah dan Ironi Dukungan Wahabi: Ketika Framing Merugikan Ulama Sufi

JAS HIJAU – Kemunculan film bertema bidah belakangan ini memantik perdebatan sengit di berbagai kalangan, terutama antara kelompok Wahabi dan komunitas Ahlussunnah wal Jamaah. Meski sebagian pihak menganggap film ini sekadar karya seni, namun secara substansial, drama ini sarat dengan narasi yang selama ini digaungkan oleh kelompok Wahabi dalam memusuhi praktik tasawuf dan ritual ulama sufi.
Ironisnya, kelompok yang selama ini dikenal keras menolak penggunaan media hiburan seperti film, justru terlihat antusias mendukung film ini. Bahkan, banyak konten dakwah Wahabi menjadikan cuplikan film tersebut sebagai dalil visual untuk memperkuat argumen lama mereka tentang praktik bidah. Ini tentu menjadi kontradiksi besar mengingat selama bertahun-tahun Wahabi mengharamkan film, menganggapnya sebagai bagian dari lahwun atau perkara sia-sia.
Lebih dari itu, film ini secara tidak langsung menciptakan framing negatif terhadap ulama sufi yang masih istiqamah dalam tradisi. Tokoh fiktif bernama Walid dalam film tersebut, digambarkan melakukan penyimpangan berat dengan berlindung di balik simbol-simbol agama. Namun, karena tokoh ini digambarkan berpakaian dan berperilaku seperti seorang guru tarekat, maka publik termasuk netizen dan pendukung Wahabi secara otomatis menarik asosiasi negatif terhadap ritual sufi yang murni.
Istilah seperti “pejamkan mata, bayangkan wajah Walid” yang muncul dalam film kini menjadi bahan olok-olokan di media sosial. Padahal, istilah tersebut sejatinya memiliki akar dalam praktik muraqabah dan zikir batiniah yang dikenal dalam tasawuf. Ketika istilah ini dipelintir, maka bukan hanya tokoh fiktif yang menjadi sasaran hinaan, melainkan seluruh laku spiritual kaum sufi ikut terseret dalam lumpur candaan dan fitnah publik.
Kritik terhadap tokoh Walid dan tindakan menyimpangnya tentu sangat wajar dan patut disuarakan. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika kritik tersebut meluas menjadi generalisasi terhadap seluruh tradisi tarekat dan ulama sufi, seolah semua ritual spiritual itu penuh tipu daya. Padahal, para ulama sufi sejati justru menjadi benteng moral dan spiritual umat Islam selama berabad-abad.
Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana jika tokoh Walid dalam film tersebut digambarkan berpakaian seperti ustaz Wahabi? Apakah respons dari kelompok mereka akan sama kerasnya? Atau akan ada pembelaan seperti “itu hanya oknum”?
Baca juga: Kapan Suatu Sunah Berubah Jadi Bidah?
Penting untuk dicatat bahwa framing media, termasuk film, bisa sangat berbahaya jika dimanfaatkan untuk memperkuat narasi kebencian terhadap kelompok tertentu. Maka dari itu, perlu ada kesadaran kritis dari masyarakat agar tidak menelan mentah-mentah pesan yang tersembunyi di balik kemasan hiburan.
Film ini bukan sekadar tontonan, tapi menjadi alat propaganda terselubung yang memperluas makna bidah hingga menyeret semua yang berbeda dalam satu keranjang kesesatan. Dalam konteks inilah, kelompok Wahabi diuntungkan besar-besaran karena secara tidak langsung mereka mendapat “dalil visual” baru untuk melanjutkan stigmatisasi terhadap ulama Ahlussunnah wal Jamaah. [DR]
