Gus Baha, Ulama Sederhana dan Kampanye Islam Mudah

gus-baha-ulama-sederhana-dan-kampanye-islam-mudah

JAS HIJAU – Gus Baha dalam bebrbagai kesempatan kerap menyampaikan; Islam itu mudah. Tak heran, jika sosok kiai muda yang kini digemari oleh berbagai golongan. Pemilik nama lengkap K.H. Bahaudin Nursalim tersebut lahir pada 15 Maret 1970 di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Beliau merupakan putera dari seorang ulama pakar al-Qur’an dan juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA yang bernama K.H. Nursalim al-Hafiz dari Narukan.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sarang, Gus Baha menikah dengan seorang anak kiai yang bernama Ning Winda pilihan pamannya dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Ada cerita menarik dengan pernikahan beliau. Jadi sebelum lamaran, beliau menemui calon mertuanya dan mengutarakan sesuatu. Beliau mengutarakan bahwa kehidupannya bukanlah model kehidupan yang glamor, melainkan kehidupan yang sangat sederhana. Sosok sederhana itu bisa dilihat dari penampilannya yang lekat dengan kemeja lengan panjang putih polos dan kopiah hitam yang harganya tentu biasa-biasa saja.

Setelah menikah, Gus Baha mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya. Ia menetap di Yogyakarta.  Selama di Yogyakarta, beliau menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya.

Semenjak menetap di Yogyakarta, banyak santri-santri beliau di Karangmangu yang merasa kehilangan. Hingga pada akhirnya mereka menyusul Gus Baha ke Yogya dan urunan atau patungan untuk menyewa rumah di dekat rumah beliau. Tiada tujuan lain selain untuk tetap bisa mengaji kepada beliau.

Ada sekitar 5 atau 7 santri mutakhorrijin (alumni) Pondok Pesantren Al-Anwar maupun MGS yang ikut ke Yogya. Saat di Yogya inilah kemudian banyak masyarakat sekitar rumahnya yang akhirnya minta ikut ngaji kepada beliau.

Produk Lokal Pesantren Sarang
Gus Baha kecil dididik belajar dan menghafalkan al-Qur’an secara langsung oleh ayahnya dengan menggunakan metode tajwid dan makhorijul huruf secara disiplin. Hal ini sesuai dengan karakteristik yang diajarkan oleh guru ayahnya yaitu K.H. Arwani Kudus. Kedisiplinan tersebut membuat Gus Baha di usianya yang masih muda, mampu menghafalkan al-Qur’an 30 Juz beserta Qira’ah-nya.

Memasuki usia remaja, ayahnya menitipkan beliau untuk mondok dan berkhidmah kepada K.H. Maimun Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang. Pondok Pesantren Al-Anwar tepat berada sekitar 10 KM arah Timur dari rumahnya. Di Pondok Pesantren Al-Anwar inilah keilmuannya mulai menonjol seperti ilmu hadis, fikih, dan tafsir.

Dalam ilmu hadis, Gus Baha mampu menyelesaikan hafalan Sahih Muslim lengkap dengan matan, rawi dan sanad-nya. Selain Sahih Muslim, beliau juga mengkhatamkan dan hafal isi kitab Fath al-Muin dan kitab-kitab gramatika bahasa Arab seperti Imrithi dan Alfiyah Ibnu Malik.

Baca juga: Gus Baha dan Sikap Alami Tanpa Pencitraannya Para Ulama


Bahkan menurut sebuah cerita, dengan banyaknya hafalan yang dimiliki oleh Gus Baha, menjadikan beliau sebagai santri pertama Al-Anwar yang memegang rekor hafalan terbanyak. Selain itu, menurut cerita lain juga menyebutkan bahwa, ketika akan mengadakan forum musyawarah atau batsul masa’il  di pondok banyak teman-temannya yang menolak kalau Gus Baha untuk ikut dalam forum tersebut, sebab beliau dianggap tidak berada pada level santri pada umumnya karena kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan banyaknya hafalan yang dimiliki oleh beliau.

Maka, atas dasar kedalaman keilmuan yang dimilikinya, hal ini yang kemudian membuat Gus Baha diberi kepercayaan untuk menjadi Rois Fath al-Muin dan Ketua Ma’arif di jajaran kepengurusan Pondok Pesantren Al-Anwar.

Selain menonjol dengan keilmuannya, beliau juga merupakan sosok santri yang dekat dengan kiainya. Dalam berbagai kesempatan, beliau sering mendampingi guru beliau K.H. Maimun Zubair untuk berbagai keperluan. Mulai dari sekadar berbincang santai, hingga urusan mencari ta’bir dan menerima tamu-tamu ulama-ulama besar yang berkunjung ke Al-Anwar. Hingga beliau dijuluki sebagai santri kesayangan K.H. Maimun Zubair.

Dalam sebuah cerita, beliau pernah dipanggil untuk mencarikan ta’bir tentang suatu persoalan oleh K.H. Maimun Zubair. Karena saking cepatnya ta’bir itu ditemukan tanpa membuka dahulu referensi kitab yang dimaksud, hingga K.H. Maimun Zubair pun terharu dan ngendikan (berkata): “Iyo Ha’, koe pancen cerdas tenan. (Iya Ha’ [Baha], kamu memang benar-benar cerdas).”

Gus Baha juga kerap dijadikan contoh teladan oleh K.H. Maimun Zubair saat memberikan mawa’izh di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. “Santri tenan iku yo koyo Baha iku. (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha itu).” Begitu kurang lebihnya perkataan K.H. Maimun Zubair.

Selain mengeyam pendidikan di Pondok Pesantren al-Anwar Rembang, pernah suatu ketika ayahnya menawarkan kepada Gus Baha untuk mondok di Rushoifah atau Yaman. Namun Gus Baha menolaknya dan lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya Madrasah Ghozaliyah Syafi’iyyah PP. Al-Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.

Setelah ayahnya wafat pada tahun 2005, Gus Baha melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di pondoknya, Pondok Pesantren LP3IA Narukan, Rembang.

Saat menjadi pengasuh di pondoknya, banyak santri yang ada di Yogyakarta merasa kehilangan atas kepulangan beliau ke Narukan. Akhirnya para santri pergi sowan dan meminta beliau kerso kembali ke Yogya. Hingga pada akhirnya Gus Baha bersedia namun hanya satu bulan sekali.

Selain menjadi pengasuh di pondoknya dan mengisi pengajian di Yogyakarta, Gus Baha juga diminta untuk mengisi pengajian tafsir al-Qur’an di Bojonegoro, Jawa Timur. Adapun untuk waktunya dibagi-bagi, di Yogya minggu terakhir, sedangkan di Bojonegoro minggu kedua setiap bulannya. Hal tersebut, dilakukannya secara rutin sejak 2006 hingga sekarang.

Baca juga: Lampu Merah di Nahdlatul Ulama (NU), Gus Baha: Saya Hanya Ingin Tradisi Ilmiah di NU itu Kembali


Beragama dengan Mudah
Dalam beberapa kesempatannya, Gus Baha sangat sering mengatakan bahwa beragama Islam itu gampang dan mudah. Ia hadir menjadi lentera di tengah umat beragama terjebak dengan ajaran-ajaran simbol dan cenderung egois terhadap pemahaman-pemahaman sepihak. Sehingga ekspresi beragama yang ditampakkan sangat kaku dan seolah-olah agama itu menakutkan.

“Walaupun mengaji sembari bercanda, namun tetap diniati untuk beribadah, maka sama saja pahalanya seperti orang beribadah. Agama (Islam) itu gampang, seperti itu tidak masalah, karena sudah nyaman dalam keadaan Islam.” Hal tersebeut disampaikannya saat menyampaikan Tausiah Ramadan 1442 PR Sukun pada Jumat 30 April 2021.

Selain itu, ngaji dan dakwah guyon ala Gus Baha ternyata merupakan pesan atau wasiat dari ayahnya, K.H. Nursalim, katanya: “Ha, kalau kamu mengajar atau berdakwah, guyon saja. Sebab orang yang sedang ngaji itu sudah dibebani banyak hal; punya utang, takut isteri dan lainnya. Jangan membuat mereka menangis keduanya kalinya.”

Pesan sang ayah tersebut membuat dakwah dan ngajinya selalu diselingi dengan guyon-guyon khas ala kiai-kiai pesantren tanpa mengurangi esensi dakwah dan muatan ngajinya. Dengan begitu, beliau menjadi primadona—baik di dunia nyata maupun maya—pengajian-pengajiannya selalu dinanti oleh para pecintanya. Di hadapan Gus Baha, para awam akan menemukan ketenteraman. Mengaji kepadanya selalu menyenangkan dengan segala anekdot dan logika yang ringan dan susah dibantah.

Jika publik digegerkan dengan sajian-sajian membela agama, membela al-Qur’an, membela ulama dan seterusnya, Gus Baha justeru hadir dengan membela semua umat. Baginya, semua umat Rasulullah—tanpa terkecuali—layak menempati surgaNya. [DR]


2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *