Gus Dur: Bapak Pluralisme, Pahlawan Kemanusiaan

gus-dur-bapak-pluralisme-pahlawan-kemanusiaan

JAS HIJAU – Membicarakan keberagaman di Indonesia rasanya tak lengkap jika tak menyebut nama Gus Dur. Beliau adalah Bapak Pularalisme dan Pahlawan Kemanusiaan. Meski sebentar mejadi orang nomor satu di Indonesia, lelaki kelahiran Jombang, 7 September 1940 tersebut mampu membuat keputusan-keputusan penting yang berkaitan dengan agama dan adat istiadat. Alhasil, pemilik nama kecil Abdurrahman ad-Dakhil dikenal sebagai tokoh yang membuka keran keberagaman di Indonesia. Ia merupakan putera pertama dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Ibu Nyai Hj. Solichah.

Gus Dur belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Menariknya, sedari kecil dirinya diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada tahun 1954, Gus Dur masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada K.H. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP.

Pada tahun 1957, beliau pindah ke Magelang untuk memulai pendidikan Muslim di Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren yang seharusnya empat tahun diselesaikan dalam waktu dua tahun. Pada tahun 1959, pindah ke Pondok Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, dirinya juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti Horizon dan Majalah Budaya Jaya.

Tidak hanya di Indonesia, beliau kemudian melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar Studi Islam di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November 1963. Gus Dur sangat menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan sepak bola. Dirinya juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia (API) dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, beliau kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan universitas. Di Mesir, beliau dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia.

Di Mesir, Gus Dur mengalami kegagalan. Pada tahun 1966, ia diberi tahu bahwa ia harus mengulang belajar. Pendidikan prasarjananya diselamatkan melalui beasiswa di Universitas Baghdad. Ia pun pindah ke Irak dan menikmati lingkungan barunya. Seperti sebelumnya, ia juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Gus Dur pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Gus Dur ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui. Dari Belanda, Gus Dur pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971.

Menilik pada cara belajar Gus Dur yang demikian—baik itu ketika ia menjadi santri atau pelajar di luar negeri—kemudian ia dipercaya memimpin Nahdlatul Ulama (NU) dan selanjutnya dipercaya memimpin Indonesia.

Pemikiran-pemikirannya sangan kontekstual hingga kerap kali dicap kontroversial. Jika dipahami secara seksama, di tengah kondisi acaman disintegrasi dan krisis kemanusian, pemikirannya sangat penting untuk dijadikan rujukan Indonsia hari ini maupun masa depan. Bagaimana pun juga, sebagai bangsa yang beragam—baik suku, agama dan ras—potensi perpecahan bukanlah suatu yang mustahil.

Setidaknya ada empat jejak Gus Dur yang akan selalu dikenang dalam konteks keberagaman dan kemanusiaan di Indonesia. Pertamamencabut Inpres No. 14/1967. Gus Dur melakukan tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Bersamaan dengan itu, ia juga kemudian menjadikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Keduamengakui agama Kong Hu Cu. Menjadikan Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia merupakan representasi Gus Dur untuk menyudahi diskriminasi terhadap kaum Tionghoa di Indonesia. Sebelumnya—sebagaimana perayaan Imlek—diskriminasi terhadap agama Kong Hu Cu juga diawali pada masa Orde Baru dengan terbitnya Inpres No. 14 Tahun 1967.

Ketigadengan gagah berani beliau mengusulkan pencabutan Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang di dalamnya berisikan larangan penyebaran paham Komunisme di Indonesia. Baginya, aturan itu bertentangan dengan UUD 1945 yang mengatakan melindungi semua. Meski banyak ditentang, ia tetap pada pendiriannya bahwa tugas mengucilkan PKI bukan tugas negara. Menurutnya, apa artinya pemisahan negara dan agama kalau negara mengurusi segala hal.

Keempatmerawat paham kebangsaan di tubuh NU. Sebagai organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, NU memiliki peran besar dalam proses pembangunan Indonesia dari masa ke masa. Dalam proses tersebut, NU berhasil menjadi jembatan antara umat Islam dan elemen lain bangsa Indonesia dengan keyakinan bahwa persoalan keumatan adalah persoalan kebangsaan, begitu pun sebaliknya. Saat menjabat sebagai Ketua Umum NU, ia secara konsisten terus memperjuangkan paham kebangsaan NU ini.

Pada akhirnya, ia harus lengser dari kursi nomor satu orang Indonesia dengan tuduhan-tuduhan yang tidak terbukti sama sekali. Pemakzulannya dilakukan dengan mengalalalkan segala cara oleh lawan-lawan politiknya. Namun demikian, dirinya tetap punya tempat di hati masyarakat karena tindakan-tindakannya selalu berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Tidak hanya itu, Gus Dur juga dikenal memiliki karomah laiknya kiai-kiai sepuh sebelumnya. Ucapan-ucapannya kerap kali melampuai rasional yang susah diterima oleh khalayak. Namun, di kemudian hari, ucapan-ucapan terbukti dan menghapus kengawuran yang disematkan kepadanya.

Salah satu karomah yang bisa diambil adalah apa yang dialami oleh K.H. Said Aqil Siradj. Pada suatu ketika, Gus Dur mengatatakan secara spontan bahwa Kiai Said akan menjadin ketua umum PBNU pada umur 56 tahun. Kala itu, Kiai Said tidak menggubrisnya dan menganggap itu adalah bagian dari guyonannya seperti hari-hari biasanya.

Tak dinyana, ucapannya pada Kiai Said pun terbukti setelah sekian tahun berlalu. Ya, pada Muktamar NU ke-32 di Makassar, ketika Kiai Said tepat berumur 56, beliau terpilih sebagai ketua umum PBNU. Sedang pada Muktamar NU sebelumnya, Kiai Said kalah dari K.H. Hasyim Muzadi. Begitulah Gus Dur yang kerap melampaui rasional dalam ucapan-ucapannya.

Akhirnya, tepat di penghujung tahun 2009, tanngal 30  Desember, Gus Dur berpulang dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Pesantren Tebuireng, Jombang. Sampai hari ini, keberagaman dan kemanusiaan di Indonesia punya utang besar kepadanya. Tak heran jika dirinya dinobatkan sebagai Bapak Pluralisme, karena memang demikian, Gus Dur adalah pahlawan kemanusiaan yang sesungguhnya dalam hidup di negara yang beragam. [DR]


3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *