Gus Dur di Tegalrejo (1957-1959)

JAS HIJAU – Gus Dur pindah dari Yogyakarta ke Magelang, tepatnya di Pesantren Tegalrejo pada tahun 1957. Di pesantren ini Gus Dur nyantri selama sekitar 2 tahun lebih sedikit, di bawah asuhan K.H. Chudlory.

Greg Barton menyebut demikian: “Gus Dur membuktikan dirinya sebagai siswa yang berbakat dengan menyelesaikan pelajarannya di bawah asuhan K.H. Chudlory selama 2 tahun di Tegalrejo. Kebanyakan siswa lain memerlukan waktu 4 tahun untuk menyelesaikan pelajaran ini. Bahkan di Tegalrejo ini Gus Dur menghabiskan sebagian besar waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat (2003: 50).

Meski sudah di Tegalrejo, Gus Dur kadang menyempatkan waktunya untuk belajar paruh waktu ke Denanyar-Jombang di bawah asuhan Mbah Bisri (2003: 51). Dan pada saat yang sama, Gus Dur juga mencari peluang menonton wayang kulit, kegemarannya yang sudah dilakoninya ketika di Yogyakarta. Untuk hal itu, menurut Greg, Gus Dur harus berjalan kaki cukup jauh agar dapat menonton wayang kulit.

Sang guru, K.H. Chudlory adalah anak dari seorang penghulu di Tegalrejo zaman penjajahan Belanda, bernama Kiai Muhammad Ihsan. Sewaktu kecil, Kiai Chudlory sekolah di HIS, pendidikan setingkat SD pada zaman Belanda. Setelah itu beliau nyantri ke Payaman, yang diasuh Kiai Siradj, kemudian ke Koripan di bawah asuhan Kiai Abdan, lalu ke Gragab dibawah asuhan Kiai Rahmat, dan dilanjutkan ke Tebuireng, di bawah asuhan Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari. Pada tahun 1933 beliau pindah lagi ke Bendo Pare, yang diasuh Kiai Chozin, lalu ke Sedayu, dan kemudian ke Lasem.

Baca juga: Gus Dur di Tegalrejo; Kisah Kiai Chudlory dan Pembagian Bondo Desa

Setelah kembali ke Magelang, Kiai Chudlory menikah dengan anak dari Kiai Dalhar Watucongol, dan sempat mengajar di pesantren Darussalam yang diasuh sang mertua. Setelah tirakat cukup lama di Gunung Pring (tempat pesarean Raden Santri) dan melakukan riyadah, akhirnya Kiai Chudlory diizinkan mertuanya untuk membuat pesantren di Tegalrejo, di tempat kelahirannya, pada tahun 1944.

Dan baru tahun 1947, pesantren itu diberi nama API (Asrama Perguruan Islam). Pesantren ini sempat hancur karena kedatangan Belanda, tetapi pad tahun 1949, Kiai Chudlory bersama masyarakat membangun kembali pesantren itu, dan pada tahun 1977, ketika beliau wafat, pesantren itu telah memiliki tidak kurang dari 1500 santri.

Oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa, Kiai Chudlory digambarkan sebagai “sosok kiai yang membekali santrinya dengan berbagai ilmu dan riyadah (tirakat) dalam rangka olah batin mengasah kemampuan spiritual santri atau yang dikenal dalam dunia tasawuf sebagai mujahadah.” Tentang tirakat Kiai Chudlory mendirikan pesantren itu, dikemukakan oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa (hlm. 171-173).

Ketika Gus Dur di pesantren Tegalrejo, sebagai santri dia juga diwajibkan menghafalkan Alfiyah dan beberapa kitab yang harus dikaji, yang kemudian hafalan Alfiyah ini didaras ulang ketika di Tambakberas. Di samping itu, sebagaimana disebut Greg, Gus Dur kadang pergi ke Denanyar. Gus Dur juga mengaji kitab al-Hikam kepada Kiai Dalhar Watucongol, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Abdurrahman Wahid (I: 107).

Baca juga: Gus Dur di Tegalrejo dan Ikan yang Dicuri Menjadi Halal

Cerita belajar al-Hikam ini, menurut Mukhlas Syarkun, penulis Ensiklopedi Abdurrahman Wahid itu (I: 95), bersumber dari Kholish Muzakki yang mendapat cerita dari keluarga yang dulu satu kamar dengan Gus Dur di Tegalrejo, yang bercerita begini:

“Gus Dur juga pernah berguru kepada Kiai Dalhar dalam bidang tasawuf, Gus Dur mengaji kepada beliau kitab al-Hikam yang merupakan kitab yang sangat berpengaruh pada pola kesufian Gus Dur. Akan tetapi menurut Gus Yusuf Chudlory, Gus Dur itu ngalap tabaruk dengan Kiai Dalhar, dan itu dikatakan ketika Gus Dur mondok di Tegalrejo, Magelang” (IV: 220).

Kiai Dalhar menurut masyarat pesantren diyakini sebagai wali, dan makamnya  ada di Gunungpring di dekat Raden Santri, dan merupakan mursyid tarekat Sadziliayh. Beberapa kali penulis sendiri mengunjungi makam ini. Mbah Dalhar ini juga guru dari Gus Miek, sehingga dalam wasilah zikir surat al-Fatihah seratus kali di kalangan Dzikrul Ghofilin, salah satu wasilahnya juga ditujukan kepada Mbah Dalhar Watucongol.

Selain kepada Kiai Dalhar, Gus Dur kemudian juga ngalap barokah al-Hikam kepada Kiai Imam Sarang. Mukhlas Syarkun menyebutkan bahwa berdasarkan informasi dari Kiai Muslih, alumni Sarang, Gus Dur sempat ngaji kepada Mbah Imam Kholil Sarang (I: 99).

Dari Kiai Dalhar, juga menurut cerita Kholis Muzakki yang mendapat cerita dari saudaranya yang pernah satu kamar dengan Gus Dur ketika di Tegalrejo, seperti disebut Muklas Syarkun, Gus Dur memperoleh Ijazah Dalail.

Baca juga: Gus Dur di Tegalrejo; Kisah Kiai Chudlory, Imtihan dan Wayang

Mukhlas Syarkun juga mengutip Kiai Nu’man (yang mimpin JQH zaman PBNU dipegang Gus Dur), yang menurut ceritanya Gus Dur pernah bercerita kepadanya bahwa ketika nyantri di Tegalrejo, dia mengamalkan riyadah dan tirakat yang diajarkan Kiai Chudlory. Sementara detil tirakat di pesantren Tegalrejo diceritakan oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa, di antaranya, santri harus berpuasa Ya Man Huwa, yang selama 41 hari; dan Yaman Huwa itu (rangkaian doa yang diawali Ya Man Huwa) harus dibaca.

Sementara juga dari cerita Kiai Nu’man, Gus Dur bercerita bahwa dia diajarkan untuk ngrowot oleh Kiai Chudlory. Menurut Bambang Pranowo, wirid hizib yang diamalkan di pesantren Tegalrejo Hizib Ghozali, dimana santri kelas Alfiyah diwajibkan mengamalkan hizib ini, dengan puasa 7 hari, dan membaca hizib ini minimal 7-41 kali setelah itu.

Menurut cerita Kiai Nu’man juga, Hizib Ghozali ini dibaca Gus Dur bukan hanya ketika di pesantren saja, tetapi juga ketika sudah tidak di pesantren (Ensiklopedi, IV: 224-225). Bagi mereka yang sudah pernah menamatkan riyadhoh dalam ilmu-ilmu hikmah, tentu, pembacaan itu setelah riyadhoh, seiring waktu berjalan, menyesuaikan kondisi dan keadaan, bisa duduk, berjalan, berbaring, dan lain-lain.

Hal ini biasa dilakukan oleh mereka yang jalan hidupnya mengurusi umat, menyebarkan ilmu, dan melakukan perubahan sosial, cara berdzikir dari wadzifah-wadzifah wiridnya, dilakukan menurut kondisinya itu. [DR]

—————————–
TONTON JUGA
Taubatnya Bos Preman Karena Akhlak KH Chudlory Tegalrejo
Indahnya Adab dan Akhlak Gus Yusuf Chudlory Tegalrejo
In Memoriam Gus Dur di PP API Tegalrejo Magelang

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *