JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Gus Dur di Tegalrejo, Kisah Kiai Chudlory dan Pembagian Bondo Desa
Home » Gus Dur di Tegalrejo, Kisah Kiai Chudlory dan Pembagian Bondo Desa

JAS HIJAU – Ketika di Tegalrego, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan Gus Dur, di antaranya adalah: Kiai Chudlory dan Pembagian Bondo Desa
Cerita tentang ini sudah beredar luas, dan salah satunya disebutkan dalam novel Peci Miring yang ditulis Aguk Irawan. Pada saat itu, Gus Dur meyaksikan aktifitas Kiai Chudlory yang didatangi oleh penduduk kampung.
Suatu hari masyarakat kampung di sekitar kampung Kiai Chudlory mendatangi pesantren. Mereka sebelumnya sudah terlibat musyawarah dan belum ada titik temu, untuk membagi bondo (dana) desa yang ingin digunakan untuk apa. Sebagian masyarakat, menginginkan untuk pembangunan renovasi masjid dan sebagian menginginkan untuk membeli alat-alat kebudayaan, yaitu gamelan.
Ketika mereka sampai dan diterima Kiai Chudlory, masing-masing kelompok menuturkan keinginannya, dan ketika giliran Kiai Chudlory memberikan pendapat, mereka semua berdebar mendengarkan. Kelompok yang ingin bondo desa itu untuk renovasi masjid, sangat senang, karena mengira Kiai Chudlory sebagai kiai pesantren, pasti akan memberikan fatwa bahwa bondo itu untuk masjid.
Akan tetapi, Kiai Chudlory justru mengatakan: “Sebaiknya dana itu digunakan untuk membeli gamelan.” Sontak perkataan Kiai Chudlory itu mengagetkan banyak orang, termasuk mereka yang mendukung dana itu untuk pembelian gamelan.
Menurut Kiai Chudlory, kalau gamelannya sudah ada, nanti dengan sendirinya yang untuk masjid nanti ada. Ada juga versi yang menjelaskan, kemudian mengatakan:
“Kalau kita tidak ngemong kepada masyarakat yang senang gamelan, nanti yang salat di masjid siapa.”
Baca juga: Gus Dur di Tegalrejo (1957-1959)
Rombongan tamu itu akhirnya menerima keputusan Kiai Chudlory, dan Gus Dur melihat tamu-tamu itu, dan argumen-argumen mereka, juga melihat keputusan kiai. Sebuah keputusan yang dapat merekonsiliasikan antara kebutuhan kebudayaan dan masjid, kedua-duanya dapat terakomodasi tanpa terjadi perpecahan.
Hal ini yang di kemudian hari juga mengilhami aksi-aksi dan pemikiran kebudayaan Gus Dur, dan rekonsiliasi kebudayaan-Islam. [DR]
