Gus Dur di Tegalrejo; Kisah Kiai Chudlory, Imtihan dan Wayang

Gus Dur di Tegalrejo, Kisah Kiai Chudlory, Imtihan dan Wayang

JAS HIJAU – Ketika di Tegalrego, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan Gus Dur, di antaranya adalah: Imtihan/Khataman dan Wayang

Cerita lain yang beredar luas, ketika Gus Dur di Tegalrejo adalah ketika imtihan, yaitu masa akhir tahun para santri, yang diisi dengan doa dan hiburan. Kalau sekarang, di pesantren API Tegalrejo, ketika khataman atau imtihan tidak jarang menanggap kirab budaya dan wayang.

Dokumentasi soal ini banyak diunggah di video YouTube dan diberitakan oleh fast-fmmagelang. Pesantren API, dari sudut penerimaan mereka dan terhadap wayang dan pagelaran budaya memang unik, dibandingkan pesantren-pesantren yang tidak melakukan demikian itu.

Di antara salah seorang kiai penerus Kiai Chudlory yang melakukan ini dalah K.H. Ahmad Muhammad (dan kemudian Kiai Yusuf Chudlory), yang wafat pada Jumat, 6/3/2009. Bahkan kewafatan beliau, saat itu berbarengan dengan akan diadakannya pentas “Orkestra Afala Tatafakarun” yang sedianya akan digelar di kompleks Pondok Pesantren API Tegalrejo. Akan tetapi acara ini kemudian dibatalkan, karena pada saat itu, K.H. Ahmad Muhammad API Tegalrejo wafat.

Sejarah rekonsiliasi dan penggunaan budaya untuk dakwah di API, telah dimulai sejak zaman Kiai Chudlory sendiri, yang ketika itu Gus Dur adalah salah satu santrinya.  Dalam satu imtihan, yang akan dilakukan di API Tegalrejo, Gus Dur diajak diskusi oleh Kiai Chudlory, tentang apa kira-kira yang akan dilakukan untuk mensyukuri akhir tahun pelajaran, atau imtihan.

Baca juga: Gus Dur di Tegalrejo (1957-1959)

Akhirnya, Gus Dur mengusulkan diundangnya masyarakat yang dulu pernah datang untuk menanyakan soal ‘bondo’ desa. Kiai Chudlory pun setuju. Maka, setelah itu, Imtihan yang panitianya dilakukan Gus Dur, salah satunya adalah ‘nanggap’ wayang, di samping ada rangkaian-rangkaian mujahadah dan doa.

Tentu saja, bahwa mengundang acara sejenis wayang atau seni lain ke pesantren, panitia-panitia Imtihan santri itu pasti sudah berdebat sebelumnya tentang hubungan Islam dan seni. Bahwa akhirnya Kiai Chudlory dan API Tegalrejo memilih mengambil jalan terjadinya pertemuan Islam dan seni dan berdakwah dengan seni, adalah juga meneruskan apa yang telah dirintis oleh para wali-wali sejak zaman Walisongo.

Hanya, belakangan hal ini memang mulai berubah ketika wayang dan seni tidak lagi banyak dipentaskan pada imtihan pesantren-pesantren di Nusantara, dan di antara pengecualiaan itu adalah API Tegalrego, ada juga pernah dilakukan PP. Sunan Pandanaran.

Sementara tentang cerita soal polisi dan Kiai Chudlory, yang beredar luas, dan dimuat di antaranya oleh Novel Peci Miring sebagai berhubungan dengan Kiai Chudlory Tegalrejo, menurut buku Tambakeras (2017) adalah berkaitan dengan Kiai Chudlory Tambakberas, bukan dengan Kiai Chudlory Tegalrejo. Sebab dalam sosok diri Gus Dur memang ada dua Kiai Chudlory ini: Tambakberas dan Tegalrejo, dan hal ini akan dijelaskan di bagian “Gus Dur di Tambakberas”.

Baca juga: Gus Dur di Tegalrejo dan Ikan yang Dicuri Menjadi Halal

Begitulah, Gus Dur di Tegalrego, belajar ilmu-ilmu pesantren, ngaji kitab, mengafalkan bait-bait kitab, membaca buku Barat, riyadah, wirid, silaturahmi dan ngalap berkah kepada kiai-kiai sepuh, berziarah, dididik oleh sang kiai untuk tidak ragu-ragu dalam merekonsiliasi Islam dan kebudayan, dan lebih khususnya adalah seni, juga bergumul dengan masyarakat tani.

Di pesantren ini, Gus Dur nyantri selama 2 tahun lebih sedikit, dan setelah itu pindah ke Tambakberas, Jombang. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *