Gus Dur, Laku dan Latar Agama

gus-dur-laku-dan-latar-agama

JAS HIJAU – Saya tak pernah jemu untuk mengingat-ingat kata bijak almaghfurlah Gus Dur yang satu ini: “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa berbuat baik untuk semua, orang-orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Kata bijak ini sangat relevan dalam rangka mendorong sikap pluralistik dan mengayomi serta berpikir dan berlaku atau bertindak tanpa dibingkai sekat-sekat identitas. Laku baik adalah sebuah tanggung jawab pribadi dan sosial yang tak perlu diklaim dan dipertanyakan latar belakang identitas pelakunya.

Namun saat ini, ketika terjadi laku jahat terhadap kemanusiaan, bangsa, dan negara RI, dalam bentuk terorisme seperti di Makassar atau wilayah lain sebelumnya, saya dihadapkan oleh wacana penghadapan antara identitas agama dan pelaku serta gagasan di baliknya.

Pertanyaan atau pernyataan bernada menggugat “apa agama dan kitab suci para teroris tersebut” atau “kenapa pemeluk agama tertentu sering melakukan aksi yang hina tersebut” atau tudingan pseudo ilmiah bahwa “agama tertentu memang mengajarkan kekerasan dibanding agama lainnya” dan seterusnya, dan sebagainya bermunculan terutama di media sosial.

Baca juga: Tiga Jenis Penerus Perjuangan Gus Dur

Seolah-olah kata bijak almaghfurlah Gus Dur di atas kemudian menjadi sebuah klaim yang satu arah belaka. Sebab peringatan Gus Dur itu bisa diartikan hanya berlaku untuk laku yang baik saja. Jika demikian, kata bijak tersebut menjadi relatif, bukan sebuah norma etika tanggung jawab yang universal. Karena jika ada laku dan sikap jahat, seolah kita perlu bertanya: “Apa agama para pelaku aksi jahat tersebut?”

Jika mau konsisten dengan norma tanggung jawab yang diutarakan almaghfurlah Gus Dur, mungkin tak bermanfaat juga untuk mempertanyakan, menghujat, dan menuduh soal latar belakang agama, suku, ras dari para pelakunya. Kalau pun mereka mengklaim bahwa agama tertentu sebagai motivator atau inspirator atau bahkan instruktor, itu hanya sekadar klaim kosong. Dan orang tak perlu repot-repot menanyakan apa latar belakang agamanya. Apalagi menuding bahwa agama tertentu bertanggung jawab atas sikap dan laku merusak tersebut.

Membaca dan memahami kalimat bijak almaghfurlah Gus Dur memerlukan kemampuan untuk juga memahami implikasinya secara lebih mendalam. Kata “berbuat baik” bisa saja dipahami dengan sebaliknya. Sehingga efeknya menjadi lebih dahsyat, yakni bahwa gagasan dan aksi serta laku baik dan buruk keduanya adalah tanggung jawab pribadi dan sosial para pemilik dan pelakunya.

Baca juga: Sebuah Refleksi untuk Para Penerus Perjuangan Gus Dur

Wacana dan debat tentang agama yang dikaitkan dengan aksi teror lantas tak produktif atau mengajak kita mencari solusi bersama sebagai manusia, bangsa, umat beragama, dan warga negara. Wacana tersebut malah akan dikapitalisasi oleh para pelaku teror dan organisasinya sebagai keberhasilan mereka untuk memecah belah, adu domba, saling tuding dan sebagainya.

Saya tentu saja tidak melarang wacana dan debat publik tentang agama dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan; ideologi, politik, ekoomi, dan sosial budaya. Namun perlu ada sebuah fokus dan prioritas yang ditujukan kepada pencapaian kemaslahatan kemanusiaan, kebangsaan, dan individual.

Dengan cara demikian kata-kata bijak almaghfurlah Gus Dur akan makin relevan secara aktual karena menjadi norma dasar etika tanggung jawab yang universal. [DR]


Baca juga artikel-artikel tentang ULAMA dan tulisan-tulisan tentang GUS DUR lainnya di jashijau.com, juga tonton juga kumpulan video HUMOR GUS DUR dan dokumentasi bersejarah lainnya tentang GUS DUR dan NU di saluran YouTube Jas Hijau.

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *