Gus Dur, Memberi Setelah Pergi

Gus Dur, Memberi Setelah Pergi

JAS HIJAU – Saya sering terlibat perbincangan tentang Gus Dur dari meja kopi ke meja kopi. Gus Dur selalu menjadi tema obrolan menarik dalam menyikapi setiap persolaan negeri. Ya, kiai nyentrik itu tak pernah kekurangan guyonan untuk menanggapi setiap persoalan. Wajar kemudian jika setiap ada ketegangan, kehadiran sosoknya kerap dirindukan.

Dalam beberapa kesempatan, saya kerap mendengar pernyataan yang intinya; Gus Dur itu sering dirasani (dibicarakan dalam arti ‘negatif’) oleh orang-orang terdekatnya lantaran jabatan yang diembannya tidak pernah memberikan keuntungan kepada kampung halamannya, khusunya Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Bahkan, saat beliau menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, tidak ada bantuan untuk Tebuireng–misal pembangunan gedung dan lain sebagainya—seperti tempat-tempat pendidikan Islam lainnya.

Gus Dur memang sosok yang tidak mudah ditebak langkahnya. Sekilas memang tampak demikian, beliau sebagai presiden tidak begitu memliki dampak signifikan terhadap pesantren Tebuireng, tempat di mana ia dilahirkan. Padahal, langkah-langkah dan kebijakannya selalu memiliki pengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi di tempat lain.

Begitu kira-kira perbincangan yang pernah saya dengar tentang sosok Gus Dur yang dikagumi jamak golongan. Benar atau tidaknya cerita itu, pembaca yang berhak menilainya. Toh, itu memang sekadar cerita mulut ke mulut yang saya dengar. Baik, mari kita lanjutkan pembahasan tentang kontribusi Gus Dur tersebut.

Selanjutnya, meski tidak rutin, dalam beberapa kesempatan saya menjura ke tempat peristirahatannya di Jombang. Setiap menjura ke makamnya, selalu ada hal baru dengan pemandangan di sekitarnya. Bahkan, perubahannya sangat siginifikan, sampai-sampai sulit dibayangkan.

Ya, apalagi kunjungan saya ke makamnya itu hanya dilakukan setahun sekali. Terasa sekali perubahan-perubahan yang saya jumpai.

Lalu, pemandangan sekitar yang dimaksud itu bagaimana? Kemudian apa kaitannya dengan perbincangan di meja kopi soal kontribusi Gus Dur ke Tebuireng? Nah, kunjungan penulis ke makam Gus Dur itulah yang akan mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut. Tentu saja ini pandangan yang subjektif karena berangkat dari pengalaman pribadi penulis.

Baca juga: Teladan dari Gus Dur yang Kebaikannya Tak Ingin Diketahui Banyak Orang


Memberi Setelah Pergi
Saya tidak ingat betul kapan kunjungan pertama ziarah ke makamnya di Jombang. Yang masih melekat dalam ingatan saya adalah akses menuju makam yang sangat mudah, tidak sesulit seperti saat ini. Namun, pada saat itu, makamnya tetap ramai dibanjiri para peziarah dari berbagai daerah.

Selang beberapa waktu, sekitar tahun 2015 atau 2016, saya berkesempatan ziarah ke makamnya lagi. Pemandangan sekitar pun semakin berbeda dengan rekaman ingatan saya sebelum-sebelumnya.

Lahan parkir yang sudah mengalami perubahan. Bus-bus besar terlihat berjejer laiknya di terminal. Peziarah pun lalu lalang, silih berganti berdatangan. Dan, yang tidak kalah penting adalah jalan menuju area pemakaman. Di kanan-kiri jalan kita akan disuguhi kios-kios dan lapak-lapak dengan aneka ragam barang yang diperjualbelikan. Mulai dari makanan, jajajan khas daerah, pernak-pernik, lukisan, pakaian, dan masih banyak lagi.

Berziarah ke makamnya seperti dejavu, suasana pemakaman Sunan Ampel saya rasakan di sana. Dalam hati saya mengilo; beliau ini tidak butuh waktu lama menjawab kegelisahan-kegelisahan yang diperbincangkan banyak orang—khususnya soal kontribusinya kepada pesantren Tebuireng.

Ya, sadar atau tidak, melakukan wisata reliji ke tanah Jawa—khususnya Jawa Timur—rasanya tidak lengkap jika tak menyempatkan mampir ke makamnya. Ternyata Gus Dur telah memberi sesuatu yang besar pada Tebuireng.

Bahkan, apa yang Gus Dur berikan setelah kepergiannya itu bisa dinikmati masyarakat di luar pesantren. Setelah kepergiannya, beliau meninggalkan perputaran ekonomi yang terus hidup dan berkembang dari waktu ke waktu.

Dalam setiap harinya, kita bisa melihat banyaknya transaksi peziarah dan penjual sekitar; ekonomi di area pemakaman Gus Dur hidup, bergerak, dan terus berjalan. Di sepanjang jalan menuju area pemakaman, di kanan kiri kita bisa saksikan orang-orang riuh menawarkan dagangannya, mereka tidak lagi menjadi beban negara dengan status pengangguran.

Swalayan-swalayan dan pusat-pusat ekonomi pondok juga tidak lepas dari serbuan para peziarah. Belum lagi berapa banyak infak yang berasal dari tangan-tangan peziarah yang terkumpul di kotak amal menuju area pemakaman.

Menyaksikan itu semua, kita tentu sudah bisa menyimpulkan bahwa perputaran ekonomi yang ada di sana sangat luar biasa. Di mana perputaran itu ada dan terus hidup karena peziarah silih berganti berdatangan. Tebuireng tidak akan pernah sepi. Makamnya akan selalu ramai dengan lalu-lalang para pezirah.

Baca juga: Gus Dur, Supremasi Sipil dan Anekdot Prajurit AL (Angkatan Laut) yang Tak Bisa Berenang


Mereka datang atas nama rindu dan cinta karena perjuangan beliau semasa hidupnya. Semua orang merasa kehilangan sosok Bapak Bangsa penuh tawa. Semua orang merasa kehilangan sosok pemimpin yang peduli pada rakyatnya.

Semua orang merasa kehilangan sosok kiai yang bersahaja. Semua orang merasa kehilangan sosok teladan bagi semua golongan.

Bagi mereka, Gus Dur tidak pergi, tapi pulang ke kampung halamannya, di Jombang. Inilah kesempatan mereka menjura padanya. Karena Gus Dur sudah tidak akan ke mana-mana lagi. Gus Dur sudah memilih pulang dan berbaring di dekat ayah dan kakeknya.

Ya, mungkin begitulah cara Gus Dur, memberi sesuatu yang berarti setelah dirinya pergi. [DR]

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *