Gus Dur yang Saya Kagumi

gus-dur-yang-saya-kagumi

JAS HIJAU – Kemarin pagi saya memoderatori acara bedah buku yang digelar oleh Jaringan Gusdurian dalam rangka Haul ke-10 Ziarah Pemikiran Gus Dur di UIN Sunan Kalijaga. Hadir narasumber Mas Hairus Salim selaku penulis, Mbak Alissa Wahid, selaku pembedah pertama, dan Mas Zuli Qodir selaku pembedah kedua.

Judul bukunya adalah Sang Kosmopolit. Buku ini terdiri 16 esai terkait dengan sisi kehidupan Gus Dur yang belum banyak diungkap termasuk kebiasaannya, tidak begitu tebal dan sangat renyah dibaca. Buat kalian yang pernah mengenal, mendengar, atau mungkin ingin memahami ulang pemikiran dan laku perjuangan Gus Dur buku ini sangat recommended dijamin nagih tidak akan bisa berhenti setiap kali membaca lembar per lembarnya.

Namun demikian dalam kesempatan ini saya tidak akan mengulas atau mereview buku ciamik itu, kalian perlu membaca dan merasakan sendiri bagaimana sensasinya. Karena Mas Hairus Salim memulai buku ini dengan mencoba mengingat-ingat kapan mulai mengenal Gus Dur, saya pun tergoda untuk mencoba mengingat-ingat kapan Gus Dur mulai singgah di hati saya.

Saya bertemu langsung dengan Gus Dur ketika kelas 3 SD kurang lebih umur 9 tahun, apakah saya mengenalnya tentu saja tidak saya hanya sering mendengar nama itu dalam setiap pembicaraan almarhum bapak saya dengan teman-teman sejawatnya atau kalau tidak dari grenengan bapak setiap kali membaca headline Jawa Pos atau mendengar kabar berita nasional TVRI terkait NU pada pukul 7 pagi/malam hari. Sejak saat itu nama Gus Dur sangat familiar di telinga tanpa aku tahu siapa sebenarnya dia.

Pada tahun 1990 Gus Dur singgah ke rumah, di mbale alias ruang tamu sudah penuh orang sarungan bersila menanti kedatangan Gus Dur sepertinya mereka para pengurus NU mulai dari ranting sampai dengan cabang. Gus Dur yang kabarnya akan datang bakda Isyak baru bisa datang sekitar pukul 20.30 malam, jam segitu biasanya suasana kampung halaman sudah sepi sekali tetapi saat itu orang-orang masih riuh semangat ngobrol sana-sini sambil menanti rawuhnya Gus Dur.

Baca juga: Gus Dur, Laku dan Latar Agama


Jangan tanya bagaimana mereka menghabiskan waktu untuk menunggunya, kepulan asap rokok memenuhi ruangan bak kabut malam di lereng pegunungan. Singkat cerita Gus Dur hadir, awalnya suasana hening orang-orang hanyut dalam cerita Gus Dur tapi tiba-tiba pecah riuh penuh tawa orang. Saya sendiri tidak tahu apa yang Gus Dur sampaikan, tapi bisa dipastikan obrolannya diselipi joke-joke yang memang suka mengocok perut orang.

Di tengah riuh tamu yang datang saya asik bermain pistol kayu dobis di lorong samping rumah, “Dar Derr Doorrr” tiba-tiba tangan saya terbakar. Saya menangis menjadi-jadi dan akhirnya menarik perhatian para tamu termasuk Gus Dur.

Itulah pertama kali saya melihat Gus Dur secara dekat (biasaya cuma di televisi/koran-koran). O, ya, teman bapak kalau tidak Kiai Mashudi membopong saya ke mbale tamu dan tidak tahu kenapa tiba-tiba saya dibopong menuju tempat sila Gus Dur dan dmintakan suwuk mungkin maksudnya biar luka bakar saya lekas sembuh berkat karomah GD.

Apakah sembuh? Iya, tapi ya habis di-suwuk langsung dilarikan ke dr. Soedat andalan warga kampung sekitar saat itu. Jadi buat kalian yang ilmunya belum seberapa hati-hati, jangan coba-coba tangan saya cukup sakti; ada karomahnya Gus Dur tersimpan di sini.

Tahun 80/90-an merupakan masa-masa politik yang sulit bagi NU. Hubungan NU dengan Orde Baru sangat tidak harmonis. Dan ini menurun sampai di tingkat-tingkat cabang dan ranting, izin-izin kegiatan dipersulit oleh kepolisian, relasi Pemda dan PCNU juga selalu memanas.

Saat itu almarhum bapak menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Bojonegoro (1989-1992), ia dkk. berjuang keras untuk mempertahankan aset-aset tanah wakaf NU yang kabarnya akan dicaplok negara. Jangankan tanah, Masjid Agung yang terletak di depan Alun-Alun pun tertutup untuk kegiatan NU. Ini tidak lain karena bentuk pertarungan simbolik terhadap organisasi NU yang biasa menunaikan ibadah salat Idulfitri di dalam masjid daripada di Alun-Alun.

Baca juga: Persahabtan Ibu Gedong dan Gus Dur, Potret Keharmonisan Hindu dan Islam


Sekarang semua berjalan dengan normal, tanah wakaf yang tadinya mau diakuisisi Pemda berhasil bapak pertahankan yang mana sekarang menjadi markas kantor PCNU, IAI-UNU Sunan Giri, dan RS. Muslimat Muna Anggita Bojonegoro. Tentu saja ini tidak lepas dari kerja lobi-lobi dengan Bupati. Di tengah kerja lobi-lobi ini saya meyakini ada ruh perjuangan Gus Dur yang merasuk dalam diri bapak.

Almarhum bapak sangat mengagumi sepak terjang politik Gus Dur, ia cocok dengan langkah-langkah politiknya tapi tidak selalu dengan fikih ubudiah-nya. Maklum bapak dibesarkan hanya dengan dua kiblat kiai pesantren, Mbah Bisri Syansuri Denanyar dan Mbah Kiai Zubair Dahlan Sarang. Sementara Gus Dur belajar dari banyak guru bahkan dalam bahasa Mas Hairus Salim sudah sangat kosmopolitan. 

Dalam perkembangannya saya pun turut mengagumi Gus Dur, tanpa syarat. Nama Gus Dur yang sebelumnya sering kali saya dengar dari pembicaraan bapak bersama koleganya turut mempengaruhi jalur pemikiran saya. Saya melihat Gus Dur mempunyai daya magnit yang luar biasa di kalangan akar rumput.

Sering kali saya menyaksikan ketika ada pengajian yang akan didatangi Gus Dur, lalu lintas jalan raya tiba-tiba padat dilewati rentetan motor, mobil, truk-truk/colt terbuka yang dipenuhi ibu-ibu atau bapak-bapak yang ingin datang ke lokasi pengajian. Dan bisa dipastikan selalu full tempat pengajian tersebut, baik itu di pesantren maupun di lapangan/alun-alun.

Sayang saya tidak seberuntung kakak-kakak senior yang mengenal almarhum Gus Dur dengan intens dan begitu dekat, sebutlah Mas Zastrow Al-Ngatawi, Mas Imam Azis, Mas Ahmad Suaedy, Mas Hairus Salim, Gus Muwafiq, Mas Umaruddin Masdar, Mas Eman Hermawan, Mas Alex dan seterusnya. Namun demikian, saya masih bersyukur bisa mencicipi alias menangi masa-masa hidup Gus Dur.

Baca juga: Gus Dur dan Mati Ketawa Cara Rusia


Dan karena tidak mengenal dekat Gus Dur sebagaimana pengalaman Mas Hairus Salim yang dituangkan dalam buku “Sang Kosmpolit”, akhirnya saya mensowaninya melalui esai-esai beliau yang diterbitkan dalam satu buku dan juga buku/artikel orang lain misalnya “Menggerakkan Tradisi; Esai-Esai Pesantren” (LKiS, 2001), Greg Barton “Biografi Gus Dur” (LKiS, 2003), Martin van Bruinessen “NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru” (LKiS, 1994), Robert Hefner “Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia” (ISAI, 2001), Greg Fealy “Tradisionalisme Radikal: Persinggungan NU dan Negara” (LKiS, ), Andrée Feillard “NU vis-à-vis Negara: Mencari Isi Bentuk dan Makna” (LKiS, 1999), Umaruddin Masdar “Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi” (Pustaka Pelajar, 1999), Ahmad Suaedy “Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi” (LKiS, 2000) dan lain-lain. Dan hasil sowan ini kemudian saya abadikan dalam sebuah karya ilmiah skripsi S1 saya di UIN Sunan Kalijaga.

Kini Gus Dur telah meninggalkan kita semua, tidak terasa sudah 10 tahun lamanya. Saya ingat betul malam itu saya baru saja tiba dari Jogja ke Surabaya; silaturahmi di rumah sahabat M Faishal Aminuddin karena sudah lama tak sua bersama Gus Haris Mustofa (Ngawi).

Tiba-tiba dikejutkan dengan adanya berita berpulanganya Almagfurlah K.H. Abdurrahman Wahid ke rahmatullah (30 Desesmber 2009), sontak kami semua terdiam hening sembari mencari berita kebenarannya ke jejaring masing-masing dengan penuh rasa kehilangan. Tidak menyangka Gus Dur benar-benar telah pergi meninggalkan kita semua malam itu, 18:40. Saya rasa bukan hanya warga NU yang kehilangan, tetapi masyarakat Indonesia bahkan warga dunia turut berduka. Tidak salah kalau kemudian Mas Hairus Salim menjulukinya Sang Kosmopolit.

Aku rindu sekali suaramu Gus, humor-humormu, pendapatmu, kritik sosialmu, mental intelektual yang kau ajarkan terhadap anak bangsa yang begitu plural ini. Untuk itu maafkan aku kalau telah mengubur bukumu bersama kendil ari-ari anakku pada tahun 2015 lalu, aku berharap Ananda Elora Zakia Fuadah akan tumbuh besar bersama nilai-nilai yang kau pegang dan perjuangkan.

Sekadar catatan: Selain buku Gus Dur, kendil ari-ari itu juga berisi jarum jahit, benang, secarik kertas bertuliskan lafaz Lailahaillah dan kalimat sahadat. Kalau kalian anggap aku bidah, ya, sudah. Aku memang gak punya dalil qot’i untuk itu. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *