JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Gus Mus, Ulama Sastra yang Multitalenta
Home » Gus Mus, Ulama Sastra yang Multitalenta

JAS HIJAU – Menyebut K.H. A. Mustofa Bisri sebagai sosok kiai multitalenta rasanya tidak berlebihan. Ya, kiai yang karib disapa Gus Mus itu dikenal sebagai seorang ulama sekaligus seniman dan budayawan. Selain menulis buku dan kitab, Gus Mus juga gemar melukis, membuat kaligrafi, menulis artikel, esai, cerpen dan sajak.
Tak heran jika kiai kelahiran Rembang pada 10 Agustus 1944 itu mendapat penghargaan Yap Thiam Hien 2017. Penghargaan tersebut diberikan karena Gus Mus dinilai konsisten memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) melalui ajaran agamanya.
Gus Mus mungkin menang tidak bersuara lantang seperti aktivis-aktivis kemanusiaan lainnya, tapi ceramah, puisi dan karya-karyanya selalu meneguhkan komitmen untuk kemajemukan dan pluralitas. Wajar saja, jika sebagian orang mengenalnya sebagai sosok ulama satra yang tegas bersuara melalui karya.
Terlahir dari seorang ibu yang bernama Nyai Hj. Ma’rufah Cholil dan seorang ayah yang hebat bernama K.H. Bisri Mustofa sang pengarang kitab tafsir Al-Ibriz li Ma’rifah, Gus Mus sangat mendapat perhatian dalam pendidikannya. Meski dikenal otoriter dalam prinsip, namun Kiai Bisri mendukung anaknya untuk berkembang sesuai dengan minatnya.
Gus Mus memulai pendidikannya dari SR (Sekolah Rakyat) di Rembang, kemudian lanjut ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri di bawah asuhan K.H. Marzuqi dan K.H. Mahrus Aly, kurang lebih beliau belajar di Lirboyo sekitar 2 tahun.
Gus Mus kemudian lanjut belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan K.H. Ali Maksum dan K.H. Abdul Qadir, kurang lebih sekitar 4 tahun. Kemudian Gus Mus melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Sejak usia muda, Gus Mus dikenal sebagai pribadi yang terlatih dalam disiplin berorganisasi. Sewaktu kuliah di Al-Azhar Kairo, bersama K.H. Syukri Zarkasi (sekarang Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, Jawa Timur), Gus Mus menjadi pengurus HIPPI (Himpunan Pemuda dan Pelajar Indonesia) Divisi Olahraga. Di HIPPI pula Gus Mus pernah mengelola majalah organisasi (HIPPI) berdua saja dengan Gus Dur.
Pergulatan Gus Mus dengan pena itu pun kemudian melahirkan karya dalam bentuk kitab, buku, kumpulan esai, kumpulan puisi, kumpulan cerpen hingga gubahan humor.
Karena dedikasinya di bidang sastra, Gus Mus banyak menerima undangan dari berbagai negara. Bersama Sutardji Colzoum Bachri, Taufiq Ismail, Abdul Hadi WM, Leon Agusta, beliau pernah menghadiri perhelatan puisi di Baghdad (Irak, 1989). Masyarakat dan mahasiswa Indonesia menunggu dan menyambutnya di Mesir, Jerman, Belanda, Prancis, Jepang, Spanyol, Kuwait, Saudi Arabia (2000). Fakultas Sastra Universitas Hamburg, mengundang Gus Mus untuk sebuah seminar dan pembacaan puisi pada tahun 2000.
Baca juga: Menilik Sumbangsih K.H. Bisri Mustofa dalam Bidang Hadis
Dari kiai yang melepas masa lajangnya dengan menikahi Nyai Hj. Siti Fatma, puteri Kiai Basyuni pada 19 September 1971 itu selalu memberi teladan. Ya, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang tersebut dikenal begitu membumi meski ilmunya melangit.
Gus Mus pernah menolak menjadi Rais Aam PBNU. Ketika menjadi rebutan, Gus Mus memilih menghindarinya dan menolak jabatan. Saat sidang Rais Syuriah organisasi Islam terbesar yang terdiri atas sembilan kiai sepuh anggota Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) memilihnya, Gus Mus bersikukuh menolak menjadi Rais Aam PBNU. Dalam surat penolakannya, Gus Mus menyatakan penolakan ini demi kemaslahatan jamaah.
Dalam dakwah, Gus Mus dikenal sangat santun. Gus Mus merupakan salah satu tokoh yang patut untuk diteladani. Beliau berdakwah menggunakan bahasa yang santun dan mudah dimengerti. Di samping itu beliau juga mampu menempatkan dirinya dalam setiap komunitas sosial mana pun dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Hal inilah yang menyebabkan dakwah-dakwah beliau bisa diterima oleh banyak orang termasuk kaum awam sekali pun.
Laiknya Kiai pada umumnya, sepulang dari Kairo, Gus Mus mengabdi secara total kepada NU. Beliau berkiprah di PCNU Rembang (awal 1970-an), Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah (1977), Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, hingga Rais Syuriyah PBNU (1994, 1999). Tetapi mulai tahun 2004, Gus Mus menolak duduk dalam jajaran kepengurusan struktural NU. Pada pemilihan Ketua Umum PBNU 2004-2009, beliau menolak dicalonkan sebagai salah satu seorang kandidat.
Pada periode kepengurusan NU 2010-2015, hasil Muktamar NU ke-32 di Makassar Gus Mus diminta untuk menjadi Wakil Rais Aam PBNU mendampingi K.H. A. Sahal Mahfudz. Pada bulan Januari tahun 2014, K.H. M.A. Sahal Mahfudh menghadap kehadirat Allah, maka sesuai AD ART NU, Gus Mus mengemban amanah sebagai Pejabat Rais Aam hingga Muktamar NU ke-33 yang berlangsung di Jombang, Jawa Timur.
Pada Muktamar NU di Jombang, Muktamirim (peserta Muktamar) melalui tim Ahlul Halli wa Aqdi, menetapkan beliau memegang amanat jabatan Rais Aam PBNU. Namun beliau tidak menerima Jabatan Rais Aam PBNU tersebut dan akhirnya Muktamirin menetapkan K.H. Ma’ruf Amin menjadi Rais Aam PBNU periode 2015-2020. Selain itu, Gus Mus merupakan salah seorang deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sekaligus perancang logo partai yang mengantarkan Gus Dur menjadi Presiden RI pasca Orde Baru.
Selain penghargaan Yap Thiam Hien, Gus Mus juga menerima banyak penghargaan, baik dalam maupun di luar negeri atas pengabdiannya. Sewaktu kuliah di Al-Azhar Kairo, Gus Mus dikenal sebagai atlet bulu tangkis dan sepak bola yang handal. Selain bulu tangkis dan sepak bola, melukis dan menulis adalah kegemaran beliau sejak muda.
Hingga kini lukisan karyanya mencapai bilangan ratusan dan bisa disaksikan publik dalam berbagai pameran. Sebuah lukisannya yang pernah mengundang kontroversi berjudul Berdzikir Bersama Inul dipamerkan bersama karya Djoko Pekik, Danarto dan kawan-kawan di Surabaya (2003).
Ketika diselenggarakan Pameran Post-Kaligrafi Kalam dan Peradaban di Jogja Gallery (2007), Arrahmaiani seorang penulis dan perupa mencatat lukisan Gus Mus berjudul Institusi (2007) menarik untuk direnungkan. Lukisan itu menurutnya mempersoalkan kecenderungan orientasi vertikal yang kemudian diinstitusikan, yang menyebabkan manusia lupa adab karena kerancuan antara penghayatan ketuhanan dan nafsu. (Arrahmaiani, 2007: 29 kolom 4)
Baca juga: Burdah, Gus Mus dan Puisi Cinta
Atas pengabdian semua itu, beliau diberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada dedikasi Gus Mus tersebut. Acara penyematan berlangsung di Istana Negara, di Jakarta, 13 Agustus 2015.
Selain itu, Universitas Malaya (Malaysia) mengundangnya untuk seminar Seni dan Islam. Sebagai cerpenis, Gus Mus menerima penghargaan Anugerah Sastra Asia dari Majelis Sastra (Mastera, Malaysia, 2005).
Pada tahun 2021, berdasarkan The Moslem 500 yang diselenggarakan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Centre Amman, Gus Mus merupakan salah satu tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia dengan kategori Scholarly.
Sungguh sosok ulama yang benar-benar multitalenta, dari kiai yang satun dalam tutur kata itu pun lahir segudang karya. [DR]

2 Comments
[…] JUGAMembaca Tabiat Zaman, Syair-syair Kehidupan KH Abdul Wahid HasyimGus Mus, Ulama Sastra yang MultitalentaFikih […]
[…] Baca juga: Gus Mus, Ulama Sastra yang Multitalenta […]