Hikayat Kedermawanan Para Penguasa, Catatan Ngaji Ihya Ulumuddin

hikayat-kedermawanan-para-penguasa-catatan-ngaji-ihya-ulumuddin

JAS HIJAU – Dikisahkan bahwa suatu waktu pada masa musim paceklik di tanah Mesir, gubernur Abdul Hamid bin Sa’ad berkata: “Demi Allah swt! Pasti aku akan memberitahu kepada syaitan bahwa sesungguhnya aku adalah musuh sejatinya yaitu dengan cara bersedekah kepada rakyatku.” Akhirnya, Abdul Hamid memenuhi kebutuhan mereka yang kesusahan dan membuat keadaan stabil kembali sehingga daya beli masyarakat pulih.

Tak lama kemudian, Abdul Hamid dilengserkan dan digantikan oleh gubernur baru. Setelah sudah tidak lagi menjabat gubernur, Abdul Hamid kemudian bersedekah dengan harta-hartanya sendiri, sekali pun dengan cara berutang.

Karena utangnya kepada para pedagang menumpuk dan ia tidak punya kemampuan untuk membayarnya kembali, akhirnya Abdul Hamid menggadaikan perhiasan isteri-isterinya untuk membayar utangnya tersebut.

Bagaimana tidak menggadaikan perhiasan isteri-isterinya, nilai semua perhiasaan tersebut sudah berada diangka 5000.000 dirham (alias lebih tinggi dari jumlah semua utangnya yang 1000.000 dirham).

Itu sebabnya, perhiasan-perhiasan yang sudah digadaikan tersebut tidak bisa ditebus kembali oleh Abdul Hamid. Atas kejadian ini, Abdul Hamid menulis surat kepada para pemegang perhiasan gadainya agar supaya perhiasan yang sudah digadaikan tersebut dijual saja.

Abu Thalib ibn Katrisin bertemu seorang lelaki yang tahu bahwa dirinya kelompok Syiah dan meminta tawassul dari Sayyidina Ali: “Demi haknya Ali bin Abi Thalib, sesungguhnya engkau akan memberikan kepadaku kebun kurma di tempat ini.” Abu Thalib berkata: “Aku telah melakukannya demi haknya Sayyidina Ali. Sungguh aku akan memberikan kebun kurma yang engkau minta.”

Abu Mirzad adalah seorang dermawan dan para penyair selalu memuji-mujinya, kemudian Abu Mirzad berkata kepada penyair tersebut: “Demi Allah! Wahai penyair, aku tiada ada harta untuk diberikan kepadamu sebagai honor, tetapi bawalah aku kepada seorang qadhi (hakim) dan mendakwalah engkau kepadaku sejumlah 10.000 dirham (utang) sehingga bisa aku bayar kepadamu (dengan mengaku-aku buat bayar utang), dan katakan kepada qadhi untuk penjarakan aku karena tidak mampu bayar utang. Sementara keluargaku tidak akan tega membiarkan aku dipenjara sehingga mereka akan menebusku.”

Karena permintaannya Abu Mirzad demikian, akhirnya si penyair ini melakukan perkataan Abu Mirzad dan karenanya Abu Mirzad ditebus 10 dirham (untuk diberikan kepada penyair agar tidak menetap di dalam penjara.

Kata Gus Ulil, inilah contoh orang yang dermawan. Ia berani melakukan rekayasa di depan hakim seolah-olah mempunyai utang dari seseorang. Dan apabila utangnya tidak dibayar, maka ia siap dimasukkan penjara. Begitulah kedermawanan Abu Mirzad.

Anda tahu! Pada zaman dahulu, posisi para penyair sangat tinggi dan syairnya sering menjadi hafalan orang-orang. Dan jika para penyair sudah mengarang syair, apalagi syairnya sangat bagus, maka seketika syairnya akan langsung viral, sehingga orang-orang menjadi takut jika dirinya disyairkan dengan caci-makian. Jelasnya, syair pada masa itu adalah medium untuk menyebarkan apa pun.

Seorang gubernur Ma’an bin Zaidah didatangi oleh seorang penyair di negeri Irak tanah Bashra, dan penyair ini tinggal selama waktu tertentu. Karena kesibukannya, si gubernur tidak sempat bertemu si penyair, akhirnya si penyair berkata kepada pembantunya: “Saat tuanmu sedang istirahat atau pada saat jalan-jalan di kebun, tolong kenalkanlah aku kepada gubernur.”

Suatu waktu, ketika Ma’an sedang jalan-jalan, dengan cepat si penyair membuat syair di sepotong papan kayu dan diceburkan di air agar sampai kepada si gubernur. Sepotong kayu tadi mengikuti air yang mengalir masuk ke kebun gubernur dan akhirnya sampai di ujung parit. Sang gubernur melihat dan membacanya. Bunyi isi syairnya:

أيا جود معن ناج معنا بحاجتي*  فما لي إلى معن سواك شفيع

Artinya: “Wahai kedermawanannya Ma’an, berbisiklah engkau kepada gubernur tentang kebutuhan-kebutuhanku, maka tidak ada kebutuhanku darinya selain engkau sebagai makelarnya.”

Ma’an bin Zaidah berkata: “Siapakah yang mempunyai papan kayu ini?” Kemudian sang penyair dipanggil dan diminta untuk membacakannya: “Bacakanlah kepadaku syair ini.” Selesai membaca syair, akhirnya sang gubernur memberikan 10 kantong uang kepada penyair tersebut.

Tak berhenti di sini, potongan papan kayu yang berisi syair itu diletakkan di bawah karpet. Di lain hari, ketika membaca kembali syair di papan kayu itu, Ma’an terharu kembali dan menyuruh agar sang penyair disuruh panggil untuk diberikan honor kembali sebanyak 100.000 dirham.

Ketika si penyair mengambil 100.000 dirham itu, akhirnya ia menjadi khawatir hartanya gubernur akan habis untuk diberikan padanya setiap baca syair itu. Akhirnya, ia pun pergi dari kediaman gubernur.

Di lain hari ketika sang gubernur membaca syair itu lagi, spontan ia menyuruh memanggil si penyair untuk diberikan honor. Akan tetapi, si penyair tidak ditemukan karena sudah pergi. Sang gubernur kemudian berkata: “Aku akan memberikan harta kepada si penyair itu sehingga tidak ada harta sama sekali yang tersisa di kas uangku.”

Inilah contoh betapa dermawannya penguasa-penguasa zaman dahulu, jika dibandingkan dengan penguasa zaman sekarang. Jangankan bicara soal kedermawanan di zaman sekarang, katakanlah membantu seikhlasnya, justru para koruptor-koruptor sedang merajalela. [DR]


Silakan baca juga tulisan-tulisan lainnya tentang catatan ngaji kitab al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan catatan ngaji kitab Ihya Ulumuddin dari Gus Ulil Abshar Abdalla yang dirangkum oleh Salman Akif Faylasuf.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *