Identitas dan Politik Identitas, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

identitas-dan-politik-identitas-apa-yang-sebenarnya-terjadi

JAS HIJAU – Ketika identitas dan politik identitas dibicarakan lagi (re-tell), maka pertanyaan pembukaannya adalah: Ada apa dengan hirarkhi sosial-politik-ekonomi dari pembicaraan politik identitas itu sendiri? Krisis politik dan ekonomi macam apa yang sedang berlangsung sehingga pembicaraan ulang identitas terjadi? Pertanyaan awalnya bukan tentang identitas dan politik identitas itu sendiri.

Satu pandangan bisa diambil, bisa mengambil sudut pandang Stuart Hall atau Paul Gilroy misalnya, pembicaraan-kembali tentang politik identitas terjadi karena kegagalan menyelesaikan ketidakadilan ekonomi-politik makro dalam sebuah masyarakat dan kegagalan mengakui dosa beruapa praktik perbudakan pada zaman kejayaan imperium Inggris yang dianggap sebagai misi suci kemanusiaan.

Kedua pemikir yang pernah tinggal sekota dengan Bob Marley menelusuri terjadinya esensialisme-autentikisme ras karena kegagalan nasionalisme Inggris memahami-mengakui dosa bernama perbudakan-hitam dalam sejarah mereka, di mana kegagalan-pemahaman itu terjadi dalam konteks Inggris yang limbung sebagai imperium. Inilah fakta dari gejala melankolia kekaisaran (penjajah): mengkambinghitamkan kehitaman (blackness), menyuburkan rasisme, untuk menutupi kemerosotan atau power-syndrome kolonialisme mereka pada level global.

Orang Inggris-putih melihat adanya fakta kebenaran ras hitam sebagai sumber masalah dalam kerangka nasioanal mereka. Sebaliknya, orang Afro-Karibia melihat kehitaman (blackness) sebagai jenis ensialisme yang memberikan mereka klaim istimewa atas kehitaman sendiri: tidak ada orang yang bisa memahami kehitaman selain mereka sendiri.

Identitas dan politik identitas dibicarakan lagi sebagai gejala melankolia imperium.

Baca juga: Yang Lebih Penting dari Politik Kekuasaan adalah Kemanusiaan


Poinnya, perang identitas atau persaingan politik-ekonomi berbasis identitas akan terus berlangsung di tengah masyarakat sepanjang keadilan ekonomi-politik tidak menjadi sesuatu yang nyata. Tidak terjadi redistribusi ekonomi-politik yang merata.

Keadilan sosial bagai seluruh rakyat belum lagi mewujud sehingga mereka yang mapan akan memantik politik identitas. Mereka yang kurang beruntung tidak memiliki kapasitas ekonomi-politik-budaya dalam memperjuangkan keterpurukan mereka selain memakai politik identitas.

Jadi, politik identitas akan terus berlangsung sepanjang terjadi kesenajangan ekonomi-politik. Dan, sudut pandang di atas sangat umum diketahui umat.

Yang agak sering dilupakan, bahwa politik identitas itu tidak bisa serta merta dihilangkan sepanjang satuan masyarkat dalam bentuk kebangsaan misalnya, tidak mampu menyadari bahwa di antara beragama kelompok identitas terjadi proses saling mempengaruhi yang membentuk dinamika masing-masing identitas. Utamanya, ada sikap saling mengakui (rekognisi) dalam kerangka tertentu.

Tidak ada istilah, “kalau tidak ada gang saya, maka Indonesia itu tidak akan keren.” Atau, “karena bapak saya founding father Indonesia, maka saya berhak menerima jatah dari republik.”

Baca juga: NU dan Tafsir Politik


“Karena Anda bukan warga NU, maka Anda tidak memahami maner warga NU. Karena Anda bukan warga MU, maka sangat sulit memahami apa yang kami maksudkan dengan kemajuan.”

“Karena bukan perempuan, maka Anda tidak akan paham perjuangan perempuan.”

Pada kerangka kebudayaan, identitas itu dilihat sebagai suatu yang kotor oleh perubahan. Tidak suci. Tanpa esensi. Sangat cair. Terus dalam proses. Karenanya, identitas lebih dilihat sebagai pengakuan akan keberbedaan yang tidak esensial pada tataran sosial (masyarakat).

Politik identitas adalah upaya manusia untuk tidak merendahkan, tidak mengukur-keberadaan orang lain, di level sosial berdasarkan identitasnya: rasial, gender, etnis, ekonomi, politik dan agama. Dan aksi sosial politiknya harus mengatasi politik identitas.

Penulis buku Imperila Intimacy: A Tale of Two Island (Verso, 2015), Hazel V Carby mengingatkan kita tentang identitas dengan susunan kata yang prosaik: “(Identitas) Jauh tidak datang dari titik kecil kebenaran dari dalam diri kita. Identitas (sebenarnya) datang dari luar (diri), identitas adalah cara kita dikenali dan kemudian menjadi langkah pengakuan yang diberikan orang lain pada kita.”

Identitas dan politik identitas akan terus berlangsung, tidak bisa ditinggalkan dan dihilangkan, sepanjang tidak mewujudnya keadilan ekonomi dan politik serta tidak adanya keberterimaan akan keniscayaan akan keberagaman. [DR]


3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *