JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Ijtihad Kiai Nusantara
Home » Ijtihad Kiai Nusantara

JAS HIJAU – Kiai Masduki Ali, pengasuh Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, pernah diminta membagi harta waris keluarga Asnawi Lebak, Ciwaringin, Cirebon. Asnawi meninggalkan seorang isteri dan sepuluh anak; tujuh laki-laki dan tiga perempuan.
Sebelum pembagian waris, Kiai Masduki memisahkan dulu harta gono gini (harta yang dihasilkan suami-isteri) dan membaginya secara merata (Jawa: diparoh brak, dibagi dua). Setelah itu, isteri mendapat 1/8 dan sisanya diberikan pada anak-anaknya. Anak laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian anak perempuan (li al-dzakari mitslu haddi al-untsayain).
Namun, kata Kiai Masduki, mengingat persaudaraan (Jawa: seseduluran) lebih berharga daripada harta, maka semua anak (laki-perempuan) mendapat bagian yang sama.
Inilah ijtihad kiai-kiai Nusantara. Pertama, harta gono gini tak ditemukan dalam setting masyarakat Arab. Pada umumnya perempuan Arab berada di dalam rumah dan sepenuhnya menjadi tangggung jawab suami. Karena itu ketergantungan istri terhadap suami cukup tinggi. Dari situ lahir konsep nafkah (nafaqah). Suami wajib menafkahi isterinya sebagai kompensasi telah mengurungnya di rumah
Dalam kehidupan masyarakat Nusantara, suami-isteri umumnya bekerja bersama-sama, saling menopang satu sama lain. Sebelum era industri pun, para isteri biasa menemani suaminya bekerja di luar rumah. Entah di sawah atau pun berdagang di pasar. Pola pembagian kerjanya berbeda dengan masyarakat Arab. Perempuan Nusantara tidak menganal “domestifikasi”. Mereka lumrah dan biasa bekerja di ruang publik
Ternyata, meski tidak disebut secara eksplisit sebagai gono gini, pembagian harta gono gini bias dibenarkan secara fikih. Salah satunya dikemukakan Syekh Abdrurrahman bin Muhammad bin Husain, pengarang kitab Bughyatul Mustarsyidin. Menurutnya, jika terjadi percampuran antara harta suami dan isteri dan tidak bisa dibedakan, maka bisa diselesaikan dengan cara kompromi (sulh) dan saling memberi (al-tawahub) antara keduanya. Keputusan ini dikukuhkan pada waktu Muktamar NU yang pertama.
Baca juga: Pondok Pesantren Babakan Cirebon
Kedua, Kiai Masduki membagi rata bagian waris anak laki-laki dan perempuan atas pertimbangan kemanusiaan; “persaudaraan lebih berharga daripada harta benda”. Padahal teksnya (nash) sudah jelas: “li dzakari mitslu haddil untsayayn”. Apakah Kiai Masduki telah menghianati teks? Tidak! Beliau tetap setia menyebut laki-laki bagiannya dua kali lipat perempuan. Namun, karena ada pertimbangan lain yang lebih maslahat, teks tersebut disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan realitas. Di sinilah dialog teks dan realitas itu terjadi. Teks tidak dihadirkan kaku dalam realitas yang beku, melainkan mencair Bersama realitas yang terus mengalir.
Dua contoh di atas adalah bentuk kreatifitas kiai Nusantara dalam mendakwahkan Islam di Nusantara. Dalam kaidah fikih disebut “al-adah muhakkamah” (adat istiadat/tradisi bisa dijadikan hukum). Kaidah ini diambil dari sebuah hadis Nabi: “Ma ra’ahu al-muslimuna khair fa indallah wa rasulihi khair. (Sesuatu yang menurut orang muslim baik/maslahat, maka baik juga menurut Allah dan rasulNya).”
Di sinilah common sense atau “akal public” berlaku. Karena, sebagaimana dikatakan Nabi, mustahil semua orang bersepakat dalam kesesatan, “la tajtami’u ummati ala dalalah” (umatku tak mungkin bersepakat dalam kesesatan).
Jadi, Kiai Masduki tidak sedang mengada-ada. Tindakan dan keputusan beliau tentu berdasar pada argumentasi yang kuat dan kokoh.
Kiai Masduki bukanlah kiai sembarangan. Beliau murid langsung Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari. Di samping sebagai sekretaris pribadi, beliau pernah menjabat kepala Pondok Tebuireng. Karena itu, Gus Dur sangat menghormati dan menganggapnya orang tua sendiri. Saat melayat kepergian Kiai Masduki, Gus Dur berpidato bahwa Kiai Masduki adalah tokoh yang berjasa memasukkan sistem madrasah ke pondok pesantren-pondok pesantren.
Setelah Kiai Ali Yafie mengundurkan diri dari posisi Syuriah, di Munas Lampung (1992), Gus Dur berencana mengusulkan beliau sebagai Syuriah PBNU, tapi Allah swt terlebih dulu memanggil kekasihNya itu. Wallahu A’lam bi Sawab. [DR]
