Imam Ghazali dan Kalam

imam-ghazali-dan-kalam

JAS HIJAU – Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Imam Ghazali memandang belajar ilmu-ilmu agama (‘ulum syari’ah) itu hukumnya fardu kifayah. Sudah banyak diskusi tentang ini. Yang tidak dibahas orang ialah: Kenapa dia tidak memasukkan ilmu kalam sebagai ilmu-ilmu agama yang dianggapnya fardu kifayah itu?

Saya tidak tahu jawabannya. Tentu saja saya bisa berspekulasi, tapi mungkin kawan-kawan yang mempelajari karya-karya Ghazali sebagai fokus kajian dapat memberikan penjelasan.

Ghazali mendiskusikan klasifikasi ilmu dalam beberapa kitabnya, seperti Maqasid al-Falasifah, Mizan al-Amal, Risalah Ladunniyah, dan lain-lain. Namun yang paling rinci dapat ditemukan dalam Ihya’.  Dalam Ihya’-nya ini dia tidak memasukan ilmu kalam sebagai ilmu-ilmu agama (ulum syar’iah) yang dikategorikan fardu kifayah.

Menurut Ghazali, klasifikasi ilmu-ilmu agama ada 4 golongan: Usul, furu’, muqaddimat, dan mutammimat. Yang pertama jelas bersumber pada Qur’an, sunah, ijma’ dan atsar sahabat. Yang furu’ dibagi menjadi (1) ilmu dunia (ilm al-dunya), yang diidentifikasi oleh Ghazali dengan fikih, dan (2) ilmu menuju akhirat (ilm thariq al-akhirah). Yang terakhir ini dibagi menjadi ilmu teoretis dan ilmu praktis, yakni “ilmu mukasyafah” dan “ilmu mu’amalah”. Yang dibahas dalam ilmu mukasyafah meliputi ketuhanan, kenabian, kosmologi, dan masalah akhirat.

Menariknya, dua ilmu tidak disebutkan oleh Ghazali. Satu filsafat dan kedua ilmu kalam. Kata Ghazali dlm Ihya’-nya, dia tidak memasukkan filsafat karena pada prinsipnya filsafat itu bukan satu disiplin, melainkan terdiri dari 4 bidang, yakni geometri, logika, metafisika, dan alam nyata.

Ketika berbicara tentang kalam, Ghazali mengatakan bahwa elemen esensial dalam dalil kalam sudah ada dalam Qur’an dan hadis, dan argumen kalam itu hanya diperlukan untuk melawan syubhat ahli bidah. Karenanya dia secara tegas mengatakan bahwa untuk mengetahui Allah, sifat-sifatNya, dan lain-lain itu tidak diperoleh melalui ilmu kalam, melainkan ilmu mukasyafah.

Jadi, sedari awal Ghazali mengklasifikasi ilmu mukasyafah sebagai fardu kifayah, bukan ilmu kalam. Persoalan ini menjadi perdebatan menarik di kalangan sarjana: Apa yang dimaksud dengan ilmu mukasyafah ini? Pertayanyaan itu menarik, sebab tema-tema yang dibahas dalam ilmu mukasyafah menyerupai apa yang dibahas dalam ilmu kalam.

Richard Frank, penulis buku “al-Ghazali and the Ash’arite School” berargumen bahwa ilmu mukasyafah versi Ghazali merupakan (ini bahasa Frank) “higher theology”, mirip dengan apa yang diformulasikan oleh Ibnu Sina. Pandangan ini ditolak oleh Ahmad Dallal dalam artikelnya “Ghazali dan the Perils of Interpretation.”

Orang bisa saja merujuk pada kitab Ghazali “al-Iqtisad fi al-I’tiqad” sebagai bukti Ghazali memandang ilmu kalam sebagai fardu kifayah. Persoalannya ialah Ghazali tidak secara eksplisit bahwa ilmu yang dianggapnya fardu kifayah itu sebagai ilmu kalam. Dia hanya mengatakan “hadza al-‘ilm” (ilmu ini). Apa yang dimaksud dengan “ilmu ini”? Orang bisa berdebat.

Tapi kalau melihat klasifikasi ilmu dalam Ihya’, sangat dimungkinkan dia merujuk pada ilmu mukasyafah. Memang, ilmu kalam disebutkan dalam al-Iqtisad, tapi seperti agak “direndahkan.” Katanya, kalau seseorang harus memilih belajar ilmu fikih atau ilmu kalam, Ghazali menyarankan sebaiknya belajar ilmu fikih saja karena manfaat lebih besar atau jelas.

Tadi saya sepintas baca lagi Ihya di kantor disela-sela menemani para mahasiswa ngaji “Bidayatul mujtahid” karya Ibnu Rusyd. Kok kesan saya Ghazali memang agak meremehkan peran ilmu kalam, ya.

Kemudian untuk meyakinkan apakah kesan saya benar atau tidak, saya lihat-lihat apa yang telah ditulis orang. Ternyata ada disertasi ditulis mahasiswa Harvard membandingkan klasifikasi ilmu di kalangan filosof Muslim, yakni al-Kindi, al-Farabi, al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Saya cukup kaget karena ternyata kesimpulannya sama.

Seperti terlihat dalam SS, penulis disertasi tersebut (Ahmad Abdulla al-Rabe) berkesimpulan begini: “(Ghazali) menyarankan ilmu kalam diajarkan di sekolah hanya sekadarnya saja—cukup agar siswa-siswa tidak bingung dengan diskusi kalam. Al-Ghazali memandang manfaat kalam yang kecil, yakni (hanya) untuk membentengi akidah umat dari kerusakan para ahli bidah.”

Apakah karena keterbatasan fungsi itu Ghazali tidak memandang belajar ilmu kalam sebagai fardu kifayah, sebagaimana belajar ilmu-ilmu agama lainnya? Saya tidak tahu. [DR]


2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *