JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Isimnya Kāna
Home » Isimnya Kāna

JAS HIJAU – Malam itu, setelah mengikuti acara tahlilan daring, saya lagi-lagi diajak diskusi oleh Khoiruddin. Dia kembali menemukan redaksi yang musykil dalam kitab Kifayah al-’Awamm.
Begini bunyi redaksinya:
والكون قادرًا لم يرتقِ إلى درجة الوجود لأنه حال
Apa yang dibingungkan oleh Khoiruddin adalah isim-nya kāna, ke mana ia kok tidak muncul di situ? Dari segi makna, redaksi di atas sudah sangat jelas sejelas rasa kopi di hadapan saya. Tapi dalam segi nahwu, redaksi itu menyimpan tanya yang masih perlu dijawab.
Oleh karenanya, seperti biasa, di mana ada persoalan, maka di situ ada problem solving. Di mana ada pertanyaan, maka di situ ada pencarian jawaban.
Mari kita petakan dulu musykil yang sedang dihadapi oleh Khoiruddin itu. Dengan pemetaan, kita bisa mendudukkan suatu persoalan secara tepat, sehingga nantinya bisa dirumuskan jawaban yang tepat pula. Pemetaan ini seperti kerja seorang dokter yang mendiagnosis penyakit pasien. Dengan diagnosis yang tepat, sang dokter bisa memberi resep yang tepat kepada pasiennya.
Musykil itu berpusat pada lafaz kāna, sebuah topik ketatabahasaan yang khas Bahasa Arab. Topik tentang kāna dan semua ‘amil nawasikh lainnya—sejauh yang saya ketahui—hanya terdapat dalam tata bahasa Arab, tidak ada dalam tata bahasa lainnya. Untuk itu, perlu kiranya topik ini dijelaskan secara ringkas dalam rangka pemetaan atau diagnosis persoalan yang dihadapi Khoiruddin.
Kāna (كان) adalah kata kerja yang bermakna “ada”, “terdapat” atau “menjadi.” Kadangkala, kata itu tidak perlu diartikan saat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, tergantung susunan kalimatnya.
Dalam bahasa Arab, kata kāna (كان) terdapat dua jenis: (1) kāna tamm, dan (2) kāna naqish. Sebetulnya ada satu lagi: kāna za’idah, tapi sebaiknya tidak usah dijelaskan di sini sebab jenis satu ini jarang sekali ditemui.
Kāna jenis pertama adalah sinonim dengan hashala dan hadatsa. Secara kebahasaan, kāna jenis ini berfungsi seperti fi’il lazim (kata kerja intransitif) pada umumnya.
Adapun kāna jenis kedua adalah salah satu ‘amil nawasikh—sebuah topik yang khas bahasa Arab, seperti dikemukakan di muka. Kāna jenis ini membuat isim khabar (predikat dalam susunan kalimat nominal) berharakat fathah.
Kāna bisa berfungsi sebagai ‘amil nawasikh dalam berbagai bentuk fi’il, baik fi’il madli, fi’il mudlari’ maupun fi’il amr. Kiranya ini tidak perlu dikasih contoh, sebab ini mudah sekali ditemui.
Sebaliknya, kāna bentuk isim juga bisa berfungsi sebagai ‘amil nawasikh, namun terbatas pada isim mashdar dan isim fa’il semata. Kasus kāna isim fa’il tampaknya cukup langka dan jarang ditemui, misalnya seperti ini:
وما كُلُّ مَن يُبْدي البشاشَةَ كائنًا 🔘 أخاك إذا لم تُلْفه لك مُنْجدا
Lafaz ka’inan (كائنًا) di atas berbentuk isim fa’il dan ia berfungsi sebagai ‘amil nawasikh.
Adapun kāna yang berbentuk isim mashdar, kasusnya lebih lumrah dan mudah ditemui. Contohnya adalah seperti redaksi yang oleh Khoiruddin dianggap musykil di atas.
Penjelasan singkat tentang kāna ini semoga sudah memadai untuk dijadikan media pemetaan dan diagnosis. Singkat kata begini: pertanyaan Khoiruddin (di mana isim-nya kāna?) itu sudah didukung oleh pemetaan yang tepat, yakni bahwa lafaz al-kawn memang berfungsi sebagai ‘amil nawasikh yang membuat mubtada’ dibaca rafa’ dan khabar-nya dibaca nashab.
Jadi, berikutnya kita fokus ke musykil di atas: di mana isim-nya kāna?
Untuk menjawab kemusykilan ini, perlu kiranya kita menengok sebentar topik “isim yang ber-’amal seperti fi’il” (al-asma ta’mal ‘amal fi’l). Sebenarnya topik ini bukan khas bahasa Arab, dalam bahasa lain juga ada topik ini namun format dan perinciannya tidak serupa.
Dalam bahasa Arab, jumlah fi’liyyah (kalimat verbal) biasanya tersusun dari: verba (predikat) + subjek + objek. Jadi predikatnya berupa kata kerja (fi’il). Namun ada kasus-kasus tertentu di mana predikatnya berupa kata benda (isim). Isim inilah yang dalam Ilmu Nahwu diistilahkan dengan “isim yang ber-‘amal seperti fi’il” (al-asma ta’mal amal fi’l).
Ada beberapa isim yang bisa ber-‘amal seperti fi’il, di antaranya adalah isim mashdar. Para ahli Nahwu sudah merumuskan tiga komposisi yang memungkinkan isim mashdar ber-‘amal seperti fi’il: (1) dengan idlafah, (2) dengan membaca isim mashdar tersebut dengan tanwin, dan (3) dengan memasukkan artikel al (ال) pada isim mashdar tersebut.
Dalam rangka menjawab musykil di atas, kita akan fokus pada komposisi nomor 3 saja. Contoh komposisi nomor 3 itu seperti ini.
ناصرتُ صديقي كالنصرِ الأهلَ
Artinya: “Aku menolong temanku seperti menolong keluarga sendiri.”
Lafaz (النصرِ) adalah isim mashdar yang ber-‘amal seperti fi’il, karena lafaz sesudahnya, yakni lafaz (الأهلَ), adalah maf’ul bih (مفعول به) darinya. Lalu, di mana fa’il-nya? Fa’il-nya adalah dlamir-tersembunyi (ضمير مستتر) yang serupa dengan dlamir bariz (ضمير بارز) dalam lafaz (ناصرتُ). Jika fa’il-nya ditampakkan, maka contohnya itu jadi seperti berikut ini.
ناصرتُ صديقي كنَصْرِيْ الأهلَ
Perhatikan contoh terakhir ini. Artikel al jadi menghilang karena dlamir-nya ditampakkan dan ia berfungsi sebagai mudlaf ilayh (مضاف إليه). Pada saat fa’il yang berupa dlamir pada contoh kedua ini disembunyikan, maka lafaz nashr (نصر) dikasih artikel al (ال) untuk menunjukkan bahwa tindakan itu sudah disebutkan di muka. Al yang demikian disebut al li al-‘ahd al-dzikr (ال للعهد الذكري).
Kalau ini sudah jelas, maka kita sekarang bisa masuk ke inti persoalan yang hendak dibahas oleh tulisan ini. Redaksi yang dianggap musykil oleh Khoiruddin di atas pada dasarnya berlaku kaidah serupa. Lafaz al-kawn (الكون) dalam redaksi itu adalah isim mashdar yang ber-‘amal seperti fi’il. Oleh karena fi’il dari lafaz itu berupa kāna naqish, maka ‘amal-nya adalah menjadikan khabar dibaca nashab.
Jadi, bisa disimpulkan, lafaz al-kawn (الكون) adalah isim mashdar yang ber-‘amal seperti fi’il naqish. Isimnya adalah dlamir mustatir yang dikonversi menjadi artikel al. Khabar-nya adalah lafaz qadiran (قادرًا).
Demikianlah, jawabannya sudah ketemu, problem solving sudah didapati. Penjelasan di atas memang terkesan berbelit-belit dan tidak to the point. Tapi, besar harapan, semoga ada titik terang. [DR]

One comment
[…] Baca juga: Isimya Kana […]