Jaringan Murid Syaikhona Kholil Bangkalan di Tatar Sunda, Pesantren Sukamiskin Bandung

jaringan-murid-syaikhona-kholil-bangkalan-di-tatar-sunda-pesantren-sukamiskin-bandung

JAS HIJAU – Selama tiga hari sejak Selasa hingga Kamis (15-17/12) yang lalu, saya berkesempatan membersamai tim Lajnah Turats Ilmi Syaikhona Kholil Bangkalan dari Madura (Kiai Usman Hasan Su Kakov, Kiai Ismail Amin al-Khalili, Ustaz Mufti) dan tim Sanad Media (Ustaz Abdul Majid, Ustaz Mabda, Ustaz Harir) dalam kegiatan muhibah menziarahi beberapa pesantren tua di Tatar Sunda, yaitu di Bandung, Cimahi, Garut, Tasikmalaya, Kuningan dan Cirebon.

Pesantren-pesantren tersebut, melalui para ulamanya, secara genealogi intelektual dan sanad keilmuan memiliki hubungan dengan Syaikhona K.H. Muhammad Kholil bin Abdul Lathif (w. 1925), seorang ulama besar tersohor dari Bangkalan (Madura) yang merupakan mahaguru ulama Nusantara pada peralihan abad 19 dan 20 M. Para ulama di pesantren-pesantren tersebut tercatat sebagai murid dari Syaikhona Kholil Bangkalan.

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di kalangan para cendikiawan Muslim di Tatar Sunda populer sebuah tradisi yang disebut “ngetan”, atau mengembara ke arah Timur (Jawa dan Madura) untuk memperdalam ilmu-ilmu ke-Islaman dalam pelbagai bidang disiplinnya.

Van Ronkel (1942: 316) mencatat bahwa pada awal abad ke-20, para pelajar ilmu-ilmu ke-Islaman (santri) Sunda di wilayah Priangan di Jawa Barat, biasa melakukan rihlah ilmiah ke arah Timur, di mana mereka akan mendalami ilmu yurisprudensi Islam (fikih) di Jawa Tengah, lalu menyeberang ke Pulau Madura untuk lebih mendalami ilmu gramatika Arab (nahwu sharaf).

Sementara itu, Snouck Hurgronje (dalam Laffan, 2016: 173), pada akhir abad 19 menyebut para pelajar kajian ilmu-ilmu ke-Islaman (santri) di Jawa Barat akan menuju sekolah-sekolah (pesantren) terkenal di pesisir utara, seperti sekolah milik (Kiai) Salih Darat dari Semarang, yang peraturannya diberikan kepada Snouck. Selain Darat di Semarang, salah satu pusat studi Islam di Jawa yang menjadi tujuan pengembaraan intelektual adalah Sidosremo di Surabaya. Para santri dari Priangan baru akan “diakui” kedalaman ilmunya ketika mereka telah menyelesaikan studinya di Surabaya. Menurut Snouck, pesantren Sidosremo di Surabaya adalah terminal yang akan dilalui oleh para penuntut ilmu sebelum mereka melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Makkah. Sebelum itu, para pelajar akan dianjurkan untuk mendalami ilmu tata bahasa Arab di Madura terlebih dahulu (Laffan, 2016: 173).

Pesantren di Madura, yang disebut Snouck sebagai terminal pendalaman studi gramatika Arab pada saat itu, adalah pesantren yang diasuh oleh Syaikhona K.H. Kholil yang berada di Bangkalan. Hasan Mustapa (w. 1930), seorang ulama sufi, pujangga besar Sunda sekaligus penghulu besar Bandung, dalam karyanya Adji Wiwitan Istilah juga menjelaskan rute pengembaraan intelektualnya mulai dari Priangan hingga ke Surabaya dan Madura. Di Surabaya, Hasan Mustapa menyebut belajar di Pesantren Dasarema (Sidesremo) asuhan Kiai Abdul Qahhar. Sementara di Madura, ia menyebut belajar di pesantren asuhan Kiai Khalil (Bangkalan) (Rosidi, 1989: 48; Rohmana, 2018: 20).

Baca juga: Syaikhona Kholil Bangkalan sebagai Seorang Lelaki, Suami dan Manusia


Pada hari pertama (Selasa, 15/12) kami mengunjungi Pesantren Sukamiskin di Kota Bandung. Pesantren ini terhubung dengan jaringan Syaikhona Kholil Bangkalan melalui sosok pendirinya, yaitu K.H. Rd. Muhammad b. Alqo (w. 1911). Dalam buku Sejarah Pesantren: Jejak, Penyebaran dan Jaringannya di Wilayah Priangan (1800–1945) karya Dr. Ading Kusdiana (2014: 192), disebutkan juga jika K.H. Rd. Muhammad bin Alqo pernah belajar kepada Syekh Muhammad Kholil dari Bangkalan, Madura (w. 1925).

Selain terhubung dengan Syaikhona Kholil Bangkalan, K.H. Rd. Muhammad bin Alqo juga tercatat sebagai murid langsung dari Syekh Abdul Karim Banten, seorang mursyid Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah (TQN) yang berkedudukan di Makkah.

Di Pesantren Sukamiskin, kami disambut oleh pengasuhnya saat ini yaitu K.H. Rd. Abdul Aziz (Kiai Aziz) bin Haidar bin Ahmad Dimyathi bin Muhammad bin Alqo, generasi keempat dari pendiri. Terdapat juga para keluarga besar Pesantren Sukamiskin lainnya seperti Kang Fiqi, Kang Kus, dan yang lainnya.

Kiai Aziz sendiri saat ini sudah berusia sekitar 74 tahun. Di usia yang sudah terbilang sepuh ini, beliau masih tampak muda, energik, dan ceria. Kiai Aziz juga tercatat sebagai alumni Pesantren Lirboyo, Kediri (Jawa Timur) pada tahun 1967-an. Beliau satu kelas dengan Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj. Saat itu, Pesantren Lirboyo berada di bawah asuhan K.H. Marzuqi Dahlan (adik Syekh Ihsan Dahlan Jampes, pengarang kitab Siraj al-Thalibin Syarh ‘ala Minhaj al-‘Abidin) dan K.H. Mahrus Aly. Pendiri Pesantren Lirboyo sendiri, yaitu K.H. Abdul Karim Manaf (w. 1954), adalah salah satu murid kesayangan Syaikhona Kholil Bangkalan.

Generasi kedua Pesantren Sukamiskin adalah K.H. Rd. Ahmad Dimyathi bin Muhammad bin Alqo (w. 1946) atau yang dikenal dengan “Mama Gedong”. Sejarah perkembangan Sukamiskin mencapai fase kejayaannya pada masa kepemimpinan K.H. Rd. Ahmad Dimyathi ini. Beliau memiliki banyak kitab karangan, yang mayoritas ditulis dalam bahasa Sunda aksara Arab (Sunda Pegon). Di antara karyanya adalah kitab al-Tabyin al-Ajla (tafsir), Qurrat al-‘Ain fi al-Shulh Bayn al-Fariqataun (tasawuf), Syarh Sullam al-Taufiq (fikih) dan lain-lain.

K.H. Rd. Ahmad Dimyathi juga berkawan dekat dengan K.H. Ahmad Sanusi Gunungpuyuh Sukabumi (w. 1950), K.H. Rd. Nuh Cianjur (w. 1966), dan juga K.H. Hasyim Asy’ari (w. 1947). Melalui sosok K.H. Rd. Ahmad Dimyathi ini jugalah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) masuk dan berkembang di Bandung. Sejak muktamar NU ke-4 di Semarang pada tahun 1929, nama K.H. Rd. Ahmad Dimyathi sudah tercatat sebagai “Kiai NU”.

Baca juga: Pondok Pesantren Sukamiskin Bandung


Generasi ketiga pengasuh Pesantren Sukamiskin adalah K.H. Rd. Haidar bin K.H. Ahmad Dimyathi (w. ?). Beliau juga tercatat meninggalkan karya tulis, di antaranya adalah taqrirat atas kitab Natijah al-Adab dalam bidang ilmu retorika. Sayangnya, beliau wafat muda. Isteri beliau, Nyai Hj. Romlah binti K.H. Burhan Cijawura (Buahbatu, Bandung), juga tercatat sebagai seorang yang alim dan memiliki banyak karya tulis. Saya sempat diperlihatkan beberapa kitab karya Nyai Hj. Romlah ini saat ziarah kemarin itu. Sayangnya, saya tidak sempat menulis judul-judul karya tersebut dan tidak sempat juga memfotonya.

Setelah selesai di Sukamiskin, kami pun melanjutkan perjalanan menuju makam Hasan Mustapa di Kompleks Makam Bupati-bupati Bandung. [DR]


KETERANGAN:
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di akun Facebook penulis yang diunggahnya pada Minggu, 27 Desember 2020 (pukul 06.13 WIB) dengan judul Risalah Rihlah Jaringan Murid Syaikhona Kholil Madura di Tatar Sunda (1) PESANTREN SUKAMISKIN, BANDUNG.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *