Jatuh Cinta kepada Habib Luthfi bin Yahya

jatuh-cinta-kepada-habib-luthfi-bin-yahya

JAS HIJAU – Kunjungan ke Kota Batik kali ini benar-benar terasa sangat indah. Setelah ngalap berkah Habib Ahmad bin Abdullah al-Athhos di Sapuro dan menghadiri acara Majelis Rasulullah di Wiradesa, pada tengah malam aku langsung saja menuju kediaman Habib Luthfi bin Yahya. Dari kabar yang aku dapat dari khodim beliau, Abah Luthfi baru saja rawuh. Ketika kami sampai di depan dalem beliau, dari kejauhan tampak berlangsung sebuah pertemuan di lantai bawah.

Aku memasuki rumah beliau dengan perasaan ragu, di tengah jadwal beliau yang sangat padat, di tengah tamu-tamu beliau yang begitu membludak ini, apakah diri ini—yang bukan orang penting dan orang besar—bisa ditemui beliau?

Tidak usah lama-lama wes hanya sekadar meminta barokah doa. Kami menuju ruang tamu di lantai atas, di situ sudah banyak orang menunggu untuk ditemui Abah. Menurut kabar yang aku dapat dari seorang sahabat, banyak orang yang bahkan rela menunggu berhari-hari agar bisa menemui Habib Luthfi.

Di tengah keraguan yang masih saja menyelimuti hati, aku mengirim Fatihah dan bertawasul kepada para Awliya’ Ba’alawi, Habib Umar dan Syaikhona Kholil Bangkalan. Aku ingat, salah satu kiai sepuh di Madura pernah mengisyaratkan padaku bahwa Habib Luthfi memiliki ikatan batin khusus dengan Mbah Kholil.

Baca juga: Habib Luthfi bin Yahya; Saya bukan Bangsa Arab, Saya Orang Indonesia


Ketika berziarah ke makam Mbah Kholil di Bangkalan, beliau bahkan selalu “bercengkrama” langsung dengan “Shohibul Maqom”. Tak lama kemudian, Habib Luthfi keluar kamar. Sayang sekali beliau langsung menuju ruang rapat di lantai bawah dan masih belum bisa menerima tamu.

Akhirnya aku juga nimbrung mengikuti jalannya rapat yang ternyata adalah rapat pengurus Jatman untuk acara Multaqo Ulama Internasional yang akan diadakan di Pekalongan beberapa minggu ke depan. 

Waktu hampir menunjukkan jam 1, Habib luthfi pamit untuk bersiap-siap ke Jakarta di pagi harinya. Orang-orang langsung saja mengerubungi beliau, berebut untuk bersalaman. Aku makin ragu akan kemungkinan bisa ditemui beliau malam ini.

Namun barokah para Awliya’ memang tak akan pernah lekang oleh waktu, di tengah kerumunan siapa sangka ada satu sahabat Banser yang matur ke Abah bahwa ada “tamu” dari keluarga Bangkalan. Aku langsung maju, mencium tangan beliau dan matur: “Baru datang sebulan lalu dari Yaman, Bah…”

Abah langsung mengajak ke lantai atas, dan tak disangka-sangka, bukan ruang tamu yang beliau tuju, melainkan kamar pribadi beliau. “Mriki, Gus…” beliau memanggil dari dalam.

Baca juga: Habib Syech Teman Ngobrol yang Asyik dan Gemar Melucu


Aku langsung saja masuk, disusul Mas Agung yang menemaniku dari Jogja, Fathul Id dan Pak Nur. Tampak sebuah kamar dengan tumpukan kitab di mana-mana, ada kitab al-Maqothi’ di sebelah sana, kitab rangkuman kalam-kalam Saadah Ba’alawi keluaran terbaru.

Ada juga kumpulan topi koboi mengelantung di pojokan kamar. Abah Luthfi melepas jubah dan kopiahnya. Dengan memakai kaus oblong dan celana putih beliau mempersilakan kami duduk.

“Saya membawa amanah dari Habib Umar untuk bertamu ke para ulama, Bib,” aku membuka percakapan.

Aku lalu meminta nasihat dan arahan beliau terkait metode dakwah terbaik untuk masyarakat umum. Beliau lalu memberi arahan untuk fokus pada akidah dan hal-hal yang pokok. Tinggalkan masalah-masalah khilafiah seperti membahas hukum rokok, cadar, dan lain-lain.

Beliau juga membahas tentang beberapa ayat, menguak rahasia-rahasia Al-Qur’an yang tidak bisa dipahami dengan pemikiran yang dangkal. Beliau lalu berkata: “Di antara para mubalig, saya ini kebagian yang pahit-pahit.”

Baca juga: Kisah Sayyid Muhammad al-Maliki dan Habib Luthfi bin Yahya


Beliau kemudian menanyakan hal yang begitu menggelitik: “Sampean sudah pernah duduk dengan pelacur?”

“Mboten… (Tidak…),” aku menjawab.

“Sama peminum minuman keras?” Habib Luthfi melanjutkan pertanyaan.

“Belum pernah…” jawabku.

“Saya dulu duduk bersama mereka selama 3 tahun. Saya dicap sebagai Habib gak bener, saya gak peduli. Orang seperti mereka itu jangan dijauhi biar tidak lari. Mereka itu tanggung jawab siapa?” Habib Luthfi melanjutkan.

“Ketika kita berdakwah, maka jangan jadikan orang lain sebagai lawan. Jadikan mereka sebagai saudara. Ketika kita menganggap mereka sebagai saudara kita akan bersikap baik terhadap mereka. Kunci dakwah itu satu: Kasih sayang dan kepedulian terhadap sesame; bil mu’minina roufurrahiim.”

Abah lalu menjelaskan betapa pentingnya merangkul orang-orang seperti itu dalam berdakwah. Menceritakan bagaimana awal perjuangan dakwah beliau di masa lampau.

“Dakwah dengan sikap yang baik itu lebih kita butuhkan daripada hanya dengan ceramah-ceramah,” terang Habib Luthfi.

Baca juga: Habib Hasan, Mengayuh Sepeda Onthel Menuju Surga


Aku lalu berkomentar bahwa dulu dakwah Habib Umar juga “menjemput bola” sama seperti Abah Luthfi. Habib Umar mendatangi pemuda-pemuda pemain bola, merangkul mereka, dan pada akhirnya mengajak mereka pada kegiatan-kegiatan keagamaan.

Abah Luthfi bercerita lagi: “Saya ini kalau diajak umroh oleh orang jarang sekali mau. Soalnya saya tidak ingin meninggalkan amanah yang begitu besar di sini untuk hanya sekadar jalan-jalan dan sowan Rasulullah. Tugas saya di sini juga amanah Rasulullah. Coba andai saja uang yang dibuat umroh berkali-kali itu diberikan pada orang-orang kelaparan, anak-anak pesantren yang putus belajar karena tak punya biaya dan lain-lain.”

Abah terlihat begitu bersemangat di malam itu, beliau bercerita banyak tentang masa mondok beliau, tentang NU, Ra Lilur, dan guru-guru beliau. Juga tentang buyut beliau, Habib Syekh bin Yahya di desa Qorot Hadhramaut yang bahkan aku yang pernah 6 tahun lebih di sana tak pernah mendengar tentang itu sebelumnya.

“Saya seperti ini karena saya mondok 22 tahun. Setelah menikah bahkan saya masih tetap mengaji selama 11 tahun,” kenang Abah.

“Iya, Bib. Banyak orang yang mengira bahwa Jenengan mendapat semua ini secara instan,” celetuk seorang kiai dari Kaliwungu yang juga hadir di kamar waktu itu, Abah tertawa mendengarnya.

Baca juga: Ketawadhuan Habib Munzir al-Musawa dan Kiai Idris Marzuki Lirboyo


Beliau juga menjelaskan bahwa kakeknya Habib Hasyim bin Yahya memiliki ikatan emosional yang begitu kuat dengan Syaikhona Kholil Bangkalan. Bahkan Syaikhona sering kali datang ke Pekalongan untuk mengunjungi Habib Hasyim, begitu juga sebaliknya. Sama seperti Syaikhona, Habib Hasyim ini menurut Abah Luthfi juga memiliki andil besar dalam berdirinya NU.

Di malam itu Habib Luthfi seakan tak henti-hentinya menuangkan lautan ilmunya untuk kami. Bagaikan mimpi, yang duduk di hadapanku waktu itu bukanlah orang biasa, bukan orang sembarangan, beliau adalah sosok agung pemimpin Jamaah Thariqat se-Nusantara yang begitu disegani di mana pun.

Namun, lihatlah sambutan beliau yang sangat hangat dan antusias untuk seseorang yang bukan siapa-siapa dan baru pertama kalinya bertemu dengan beliau ini. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 3, sudah 2 jam lebih kami mendengar wejangan-wejangan berharga dari beliau. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *