K.H. Anwar Manshur, Pandangan Bashiroh Sang Guru

kh-anwar-manshur-pandangan-bashiroh-sang-guru

JAS HIJAU – Satu ketika, saya ditimbali (dipanggil) Sang Guru, K.H. Anwar Manshur, untuk nderekne (ikut) beliau ke Malang menghadiri acara akad nikah salah satu santri puteri.

Pada saat perjalanan sampai di salah satu perempatan Kediri Selatan, mobil berhenti karena lampu merah traffic light sedang menyala. Kebetulan di sebelah kiri mobil K.H. Anwar Manshur yang kami tumpangi ada teman yang seangkatan dengan saya lagi duduk-duduk di teras rumahnya. Dengan tanpa bersuara, saya melambai-lambaikan telapak tangan ke arah teman saya itu.

Begitu dia melihat saya, spontan dia berteriak: “Mukhlas, mampirooo…!”

Kemudian, dengan tanpa bersuara lagi, saya menunjuk ke arah depan untuk memberitahu dia bahwa yang duduk di jok mobil bagian depan adalah K.H. Anwar Manshur. Seketika itu, teman saya itu langsung menundukkan kepala karena malu dan sungkan.

Saat itulah saya matur ke K.H. Anwar Manshur: “Nyuwun duko Mbah Yai, sebelah kiri ingkang lagi lenggah niku rencang dalem seangkatan. (Minta maaf Kiai, sebelah kiri yang duduk itu teman seangkatan saya).”

Kemudian beliau menoleh ke arah kiri untuk melihat teman saya itu sambil bertanya: “Mulang pora? (Ngajar apa tidak?)”

Lantas saya menjawab: “Nyuwun duko Mbah Yai, rumiyin naliko nembe tamat, piyambak-ipun nderek mucal nahwu-shorof dateng Pondok Watucongol. Menawi sak meniko dalem mboten mangertos. (Mohon maaf Kiai, dulu Ketika baru tamat, dia ikut ngajar Nahwu-Sharf di Pondok Watucongol. Untuk sekaramg, saya kurang paham).”

Ketika lampu hijau traffic light menyala dan mobil pun berjalan, tiba-tiba dengan nada yang agak meninggi, K.H. Anwar Manshur dawuh: “Titenono, santri Lirboyo bar tamat koq sing diubleg-ubleg mung urusan dunyo, ora bakal barokah. Sing barokah kuwi lek gelem mulang terus nyambut gawe sak enek-e. (Tandai, santri Lirboyo setelah tamat kok yang diurusi hanya urusan dunia, tidak akan barakah. Yang barakah itu kalau mau mengajar terus kerja seadanya).”

Sekitar dua bulan setelahnya, saya bertemu dengan teman saya itu di salah satu acara dan menceritakan dawuh K.H. Anwar Manshur tersebut. Spontan dia langsung memegang erat tangan saya sambil berkata: “Maaatur nuwuuun, maaatur nuwuuuun, aku mok ilingne. (Terima kasih, terima kasih, aku sudah diingatkan).”

Dengan agak heran saya langsung menimpali: “Loh, piye tho ceritane, koq sliramu malah matur nuwun? (Loh, bagaimana ceritanya, kok kamu malah berterima kasih).”

Baca juga: Profil dan Sejarah Singkat Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri


Dia menjawab: “Koyok sing mok weruhi, bar tamat ndisik iko aku pancen mulang lan mbantu ndek Pondok Watucongol, Magelang. Tapi bar kuwi aku mulih terus rabi oleh wong Kediri. Ndino-ndinoku isine mung nyambut gawe, tapi ora mulang. Yo bener saben dinane aku nyekel duit lumayan akeh, tapi yo ngunu, rasane ati mung nggrangsang, jan ora pati enek ayem-e. Tenan yo aku matur nuwun.”

“(Seperti yang kamu ketahui, setelah tamat dulu itu aku memang mengajar dan membantu di Pondok Watucongol, Magelang. Tapi setelah itu aku pulang terus menikah sama orang Kediri. Hari-hariku hanya bekerja, tapi tidak mengajar. Ya memang setiap hari aku pegang uang lumayan banyak, tapi ya begitu, rasanya hati cuma gelisah, tidak ada tenaggnya. Benar ya, aku terima kasih).”

Subhanallah, secara zahir, beliau K.H. Anwar Manshur pirso (tahu) bahwa dia itu adalah santri dan tamatan Lirboyo itu karena saya aturi pirso (saya beri tahu). Tapi dengan pandangan bashiroh-nya, beliau mengetahui bagaimana kiprah dan kondisi teman saya itu, sehingga berkenan dawuh pepiling (pengingat) istimewa tersebut.

Semoga K.H. Anwar Manshur panjang umur fi tho’ati al-Allah wa Rosulih, wa shihhatin wa ‘afiyatin wa salamatin wa barokatin, Amin. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *