K.H. Bisri Syansuri sebagai Pendiri Pertama Pesantren Puteri dan Pahlawan Kemaslahatan Keluarga

kh-bisri-syansuri-sebagai-pendiri-pertama-pesantren-puteri-dan-pahlawan-kemaslahatan-keluarga

JAS HIJAU – Tahun keemasan bangkitnya masyarakat Muslim di Nusantara terjadi terutama pada era 1910-an hingga 1920-an. Muhammadiyah lahir pada 1912, dan Nahdlatul Ulama lahir pada 1926. Dan di antara tanda kebangkitan masyarakat Muslim itu adalah bangkitnya kalangan Muslim pesantren yang pada 1919, ditandai dengan diterimanya santri puteri di lingkungan Pesantren Denanyar, Jombang, di bawah asuhan K.H. Bisri Syansuri (1887-1980), dan Bu Nyai Nur Khodijah (w. 1958).

Pesantren Mambaul Ma’arif (nama resmi dari Pesantren Denanyar), berdiri pada 1917, di kala usia Kiai Bisri ketika itu masih terbilang muda, yakni 30 tahun. Dengan demikian, Pesantren Denanyar hanya butuh waktu dua tahun untuk menerima pelajar puteri sebagai bagian dari santri pesantren, dan menurut banyak kalangan, bahwa Pesantren Denanyar adalah pelopor pertama penerimaan santri puteri di Jawa, bahkan ada yang menyebut pertama kali di Indonesia. Upaya Kiai Bisri ini bahkan diketahui sendiri oleh gurunya, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari. Dan Mbah Hasyim sama sekali tidak berkeberatan dengan program progresif dari muridnya yang ahli fikih itu.

Pesantren pada mulanya memang ditujukan untuk santri putera. Sementara itu generasi puteri ketika itu mendapatkan pendidikan keagamaan di lingkungan terdekat, yaitu di rumah masing-masing, atau mendatangkan atau mendatangi pengajar khusus, seperti yang bisa dilihat dari cara belajar RA Kartini kepada Kiai Soleh Darat.

Adalah Kiai Bisri Syansuri dan Bu Nyai Nur Khodijah, yang pada 1919 mengagas pendirian pesantren puteri di Denanyar, dengan menampung dan membimbing puteri-puteri anak tetangga di beranda belakang nDalem kasepuhan Kiai Bisri, yang kemudian pada 1927, pesantren ini dengan lebih merata menerima secara terbuka santri puteri dari berbagai daerah, yang puncaknya pada 1930 didirikan Madrasah Diniyah Puteri Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar.

“K.H. Bisri Syansuri memberikan identitas tersendiri bagi para santri perempuannya, yaitu mengenakan atasan berupaya kebaya dan bawahan berupa ‘sewek’ atau sarung kemudian menggunakan kerudung sebagai penutup aurat (rambut) yang hanya diselempangkan,” dikutip dari buku Biografi K.H. Bisri Syansuri, h. 83.

Gagasan kiai ahli fikih dan bu nyai progresif ini, juga diteruskan oleh puterinya, yaitu Nyai Musyarofah (lahir 1925), yang diperisteri Kiai Abdul Fattah Tambakberas, dengan pendirian pesantren puteri di Tambakberas pada 1951.

Baca juga: Kewafatan dan Kesaksian tentang K.H. Bisri Syansuri


Demikianlah, kedudukan Kiai Bisri sebagai ulama pakar fikih dan ushul fiqh justru melahirkan terobosan penting atau ijtihad kreatif progresif untuk kemajuan pendidikan kaum perempuan. Tak heran pula ketika Kiai Bisri, sebagai representasi Nahdlatul Ulama, merestui program Keluarga Berencana (KB), yang bertujuan untuk kemaslahatan keluarga, yang dalam kesaksian Kiai Abdul Aziz Masyhuri mengundang kekaguman pemimpin luar negeri dari negeri-negeri Muslim untuk berkunjung ke Denanyar, untuk mengambil inspirasinya.

“Pada akhirnya, program Keluarga Berencana didukung oleh organisasi masyarakat Islam seperti NU. Saat itu ulama NU, K.H. Bisri Syansuri dengan merujuk pendapat Imam Ghazali, memperbolehkan dengan niat untuk kemaslahatan umat dalam berumah tangga,” Biografi K.H. Bisri Syansuri, h. 102. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *