kh-zaini-munim-dan-ikhtiar-memilih-tanah-yang-hangat-dan-wangi

JAS HIJAU – Para leluhur kita memang tidak sembarangan apabila mau mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Bukan hanya tinjauan strategis-geografis yang menjadi pertimbangan utama, melainkan pada aspek keberkahan maupun “x factor”. Ada tanah yang strategis jika ditinjau dari aspek geografis-politis, namun ternyata dianggap tidak membawa keberkahan apabila di atasnya didirikan lembaga pendidikan.

Mereka yang memiliki ketajaman mata batin biasanya yang bisa melihat di manakah tanah yang memiliki keberkahan untuk didirikan sebuah lembaga pendidikan. Dalam istilah yang khas, disebut sebagai tanah yang “hangat dan wangi”. Sebab, hal ini bakal mempengaruhi tingkat kebetahan para santri yang tinggal di dalamnya, keayeman masyarakat di sekelilingnya, dan hawa nyaman yang meliputinya.

Tradisi istikharah dan tirakat terlebih dulu sebelum mendirikan pondok pesantren merupakan lelaku para leluhur kita. Biasanya juga dimintakan petunjuk kepada ulama sepuh. Hal ini, misalnya, dialami oleh K.H. Zaini Mun’im saat merintis pendirian Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Beliau terlebih dulu meminta petunjuk kepada K.H. R. Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, dengan membawa sampel tanah yang diambil dari berbagai kawasan.

Setelah contoh tanah tersebut dilihat dengan mata batin K.H. Syamsul Arifin, beliau memilih salah satu tanah yang diambil dari Desa Tanjung (sekarang Karanganyar), Paiton, Probolinggo, dan merestuinya.

Selain itu, ketika K.H. Hasan Sepuh, pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, melewati Desa Tanjung, beliau dawuh: “Di masa mendatang, ada kiai yang akan mendirikan pondok di daerah sini, maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar dan santrinya kelak melebihi jumlah santri saya.”

Mendeteksi tanah yang cocok untuk lembaga pendidikan Islam agar bisa berkembang dan berbarakah bukan perkara gampang. Dalam sebuah cerita, di era 1980-an, K.H. Hasyim Muzadi yang saat itu masih aktivis GP Ansor Malang diajak K.H. Anwar Nur, gurunya, yang juga pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Bululawang, Malang, keliling naik sepeda motor ke pelosok.

Kiai Anwar muter-muter seolah tanpa tujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak berani bertanya tujuan gurunya. Hingga ketika melewati sebuah tanah kosong yang dipenuhi ilalang, tiba-tiba Kiai Anwar berpesan kepada Kiai Hasyim Muzadi: “Kang, nanti kalau kamu mau mendirikan pondok, pilihlah tanah ini. Ini lahan yang bagus untuk pengembangan pondok pesantren.”

Meskipun saat itu Kiai Hasyim Muzadi sama sekali belum terpikir mendirikan sebuah pondok pesantren, namun beliau tetap menggenggam pesan gurunya tersebut. Dan, beberapa tahun kemudian, di atas lokasi yang ditunjuk oleh gurunya tersebut, Kiai Hasyim Muzadi mendirikan Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, di Jl. Cengger Ayam, No. 25, 02, Tulusrejo, Kec. Lowokwaru, Kota Malang.

Baca juga: Biografi K.H. Zaini Mun’im, Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo


Pesantren ini pun berkembang dengan baik, dan bahkan sekarang memiliki cabang yang fokus pada kajian al-Qur’an, yaitu di Pondok Pesantren Al-Hikam Depok, yang sekarang diasuh oleh putera bungsu Kiai Hasyim, Gus Yusron Shidqi, Lc.

Apa yang saya tulis di atas merupakan bagian dari apa yang kita sebut sebagai local wisdom di kalangan pesantren. Sebelum mendirikan sebuah lembaga pendidikan, terlebih dulu mereka menjalani lelaku prihatin maupun meminta petunjuk kepada mereka yang memiliki ketajaman mata batin agar lembaga yang mereka dirikan bisa langgeng dan diguyur keberkahan oleh Allah.

Jadi, visi dan orientasi para ulama ini bukan semata urusan duniawi. Tapi lebih dari itu, aspek ukhrawi lah yang juga menjadi pertimbangan mereka saat mengawali pendirian lembaga pendidikan Islam. Semoga kita semua bisa meneladani para ulama. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *