Keblinger dan Mbah Panggung

keblinger-dan-mbah-panggung

JAS HIJAU – Setelah berziarah ke Mbah Sunan Panggung di Tegal, di jalan saya dibekuk untuk dapat menulis tentang keblinger! Ya, kata Jawa ini diberi makna, yang menurut KBBI: “Sesat; keliru”, yang diikuti angan angan bahwa dirinya benar.

KBBI mencontohkan: “Pembajakan di udara yang terjadi baru-baru ini didorong oleh angan-angan yang, dari seseorang yang mau jadi jagoan.” Pembajakan seperti ini disebut sebagai tindakan “keblinger”. Contoh lain banyak, misalnya dalam komunitas masyarakat, politik, yayasan, dan lain lain. Keblinger menganggap tindakan-tindakan keblinger itu dengan angan-angan sebagai hal yang benar, padahal itu keliru.

Dalam komunitas organisasi dan bangsa, sikap pijaknya pada aturan yang ada, atau konstitusi, tetapi aksi dan praktik keblinger, dengan melakukan tindakan-tindakan, yang mengabaikan aturan organisasi, atau politisasi konstitusi. Kadang-kadang hal seperti ini juga dilakukan orang orang pintar dan sarjana. Kadang-kadang dia menganggap dirinya sebagai otoritas kebenaran itu sendiri, lalu mempolitisasi aturan bersama. Lalu ditabrak aturan itu dan konstitusi.

Tindakan-tindakan keblinger akan mewariskan perpecahan; dan pewarisan nilai-nilai dalam komunitas yang tuna etika, generasi para pecundang. Karena tidak ada jenis tindakan yang tidak ada ganjarannya. Sejauh ia bertindak tidak adil. Hanya waktu yang akan menagihnya. Pak Harto dulu, dengan dukungan militer sekali pun bisa jatuh. Apalagi yang di bawah itu.

Kalau sesuatu memang dikehendaki jatuh, dia akan jatuh, melalui segala wasilah (perantara) yang ada. Demikian juga sebaliknya. Manusia terikat dengan aktualisasi Tindakan-tindakannya sebagai wasilah kehendakNya. Kalau pijakannya adil, karena adil salah satu pusering bumi, tak akan ada waktu yang akan menagih. Yang ada hanya waktu yang akan menyempurnakannya.

Angan-angan sering mengkamuflase banyak manusia dan tersungkur dalam dekapannya. Sementara berpijak pada aturan yang telah disepakati bersama, atau aturan yang adil, adalah jalan yang menyelamatkan. Keinginan memiliki untuk klik dan pribadi atas milik publik dan komunitas, merupakan makanan angan-angan yang sering menjatuhkan manusia, sebagaimana terlihat dalam banyak praktik sejarah sebuah bangsa, komunitas dan kementerian.

Bangsa penakut, sebuah kata dari Gus Dur. Akan tetapi ini bukan untuk menyebut keseluruhan bagian-bagian dan rentang waktu bangsa. Tetapi salah satunya ditujukan untuk para kebliger. Orang cerdik pandai akan memfokuskan pada ide dan mewujudkannya dengan jalan yang adil. Tidak dengan orang keblinger.

Seorang politisi akan mempertahankan dan mencari jalan kedudukan, dengan apa pun caranya, dengan terang-terangan. Dan seorang keblinger kadang lebih buruk lagi, bukan dengan segala cara yang terang, tetapi dengan menggunakan dalih yang disembunyikan, ditutupi dengan otoritas, dengan sikap lembut-lembut, sampai akhirnya orang mengerti di dalam waktu tertentu bahwa tindakan-tindakan itu adalah tindakan keblinger.

Baca juga: Jejak Mbah Sabilan Demaan, Sayyid Asal Hijaz yang Lari dari Misi Belanda


Dan dengan keberanian saja tidak cukup, karena keberanian saja bisa menjurus pada tindakan keblinger. Dan mengandalkan sarjana, proffesor doktor saja juga tidak cukup, karena tidak sedikit mereka yang hanya mengejar jabatan di kampus. Dan dengan mengandalkan senior saja tidak cukup, karena ketika muda meminta kerelaan tak melawan kepada junior, dan ketika tua masih haus dengan jabatan kekuasaan sehingga yang muda ditutup. Memiliki sejarah perjuangan rekonsiliasi saja juga tidak cukup, kalau pas menjabat bangsanya tidak dilakukan dengan tindakan-tindakan yang rekonsiliatif. Juga memiliki sejarah pimpinan militer saja tidak cukup, karena sebuah bangsa bukan barak dan tangis militer.

Dan tanpa mengandalkan kebenaran dan keadilan yang menjadi pusering jagad, waktu yang akan menagih tindakan-tindakan keblinger.

Bahaya, kalau orang sudah tak memiliki rasa takut, tetapi dipeluk angan-angan dalam tindakan-tindakan keblinger. Dalihnya ijtihad, dan menganggap hal semacam itu sebagai ijtihad. Mbah Panggung mengingatkan saya tentang jejak kebenaran dan keadilan dari para pendahulu santri.

Terima kasih Mas Hendri dan sahabat-sahabat di Tegal. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *