JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Ketika Gus Alam Menyusul Abahnya, Sebuah Elegi untuk Penerus Cahaya
Home » Ketika Gus Alam Menyusul Abahnya, Sebuah Elegi untuk Penerus Cahaya

JAS HIJAU – Angin pagi itu tak seperti biasa. Langit mendung, tapi bukan mendung hujan—melainkan mendung dari dalam dada. Kabar itu menyebar pelan, seperti desir angin yang membawa duka: Gus Alam wafat dalam kecelakaan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Gus Alam, putera Mbah Dimyati Rois, kiai kharismatik yang dalam diamnya menyimpan samudera ilmu dan hikmah. Tak banyak bicara, tapi setiap langkahnya menuntun ke jalan terang. Beberapa tahun lalu, sang abah berpulang. Semua mata tertuju kepada sang putera. Harapan bertumpu padanya: Meneruskan dawuh, menanam ilmu, merawat warisan langit yang dititipkan lewat darah dan sanad.
Namun kemarin tubuh Gus Alam terbaring kaku. Dunia pesantren kehilangan satu penjaga pintunya lagi. Politisi muda yang santun, bapak muda yang meninggalkan keluarga kecilnya, seorang Gus yang digadang-gadang mewarisi cahaya abahnya.
Hidup para kiai bukan milik dirinya sendiri. Sejak kecil dididik bukan hanya menghafal kitab, tapi mewarisi jiwa: Sabar membimbing, istikamah mendidik, tawadhu memikul beban umat. Gus Alam memikulnya, dalam usia yang terlalu muda untuk pulang.
Ada getir yang tak bisa ditutupi. Mengapa harapan justru lebih dulu pergi? Mengapa penerus Abah hanya diberi waktu sekejap mengukir jejak?
Namun sejarah ulama selalu sama: Perjuangan bukan soal panjangnya usia, melainkan keberlanjutan cahaya. Mungkin Gus Alam telah menyelesaikan bagiannya. Kini, giliran kita menjaga api itu agar tak padam di tengah jalan.
Baca juga: Biografi K.H. Dimyati Rois, Pendiri Pesantren Al-Fadlu Wal Fadlilah Kaliwungu, Kendal
Tradisi keilmuan tak boleh putus. Sanad harus disambung. Dari ayah ke anak, guru ke murid, kiai ke umat. Lewat cinta ilmu dan rindu akhirat.
Hari-hari ke depan Kaliwungu menangis. Tapi dalam tangis itu, obor harus terus menyala.
Selamat jalan, Gus. Sampaikan salam kami pada Abahmu. Dunia ini tak akan sama tanpamu, sampai tiba giliran kami kelak pulang ke kampung keabadian. Al-Fatihah. [DR]

One comment
[…] Baca juga: Ketika Gus Alam Menyusul Abahnya, Sebuah Elegi untuk Penerus Cahaya […]