JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
K.H. Dumyathi Bukhori, Pengentas Buta Huruf yang Dekat dengan Masyarakat
Home » K.H. Dumyathi Bukhori, Pengentas Buta Huruf yang Dekat dengan Masyarakat

JAS HIJAU – “Menyayangi rakyat kecil adalah jalan tirakat saya,” K.H. Dumyathi Bukhori, 1933-2004.
Sosoknya terkenang sebagai kiai rendah hati yang mengayomi masyarakat bawah. Lahir dan dibesarkan di keluarga pesantren; ayahnya K.H. Bukhori Ismail merupakan ulama tersohor sekaligus mursyid Thariqah an-Naqsabandiyah. Kendati orang tuanya memiliki ribuan santri, tapi tidak membuatnya berbesar diri, justru beliau selalu berpesan agar tidak memandang rendah atau merasa lebih mulia dari siapa pun.
Tahun 1962 pertalian dua mempelai digelar, Dumyathi muda menikahi puteri kedua K.H. Musholli yaitu Zubaidah yang mengharuskannya menetap bersama mertua serta meninggalkan keluarga dan santrinya di kampung halaman. Baginya, sesi baru dalam kehidupan telah dimulai; menjadi suami, menjadi menantu kiai dan menjadi bagian dari masyarakat Tamanasri.
Mengentaskan Buta Huruf
Dua tahun pertama Dumyathi muda menjalani keseharian sewajarnya sebagai seorang suami, di sela waktunya ia membantu mertuanya mengajar al-Qur’an. Rentang waktu yang cukup baginya sembari menelaah berbagai problem mendasar di tengah masyarakat, salah satunya yaitu soal buta huruf. Pada masa itu melek aksara hanya lazim dinikmati oleh kalangan dari keluarga berada, sementara ‘wong cilik’ masih belum bisa baca tulis, baik aksara arab maupun latin.
Tahun 1964 dari keprihatinan terhadap rendahnya melek huruf, Kiai Dumyathi berinisiatif membuka pengajaran baca-tulis. Hal itu direspon positif oleh sang mertua, K.H. Musholli Husain, dengan mendirikannya sebuah musala di samping rumahnya untuk sarana pembelajaran agama dan umum.
Musala kecil itu cukup berhasil menjadi pusat kegiatan keilmuan. Setelah pembelajaran al-Qur’an dan kitab, Kiai Dumyathi dengan telaten mengajari masyarakat yang mau belajar huruf Arab dan Latin. Antusias masyarakat yang tinggi mengantarkan terbukanya kelas ‘melek huruf’ di tiga titik di wilayah desa Tamanasri yang kesemuanya dimonitoring langsung olehnya.
Tahun 1969, dari pendidikan berbasis musala yang belum punya regulasi, Kiai Dumyathi berinisiatif membuat sistem kegiatan belajar mengajar (KBM) yang lebih terstruktur dengan konsep yang tidak jauh dari pesantren milik ayahnya di Ganjaran yaitu gagasan Madrasah Diniyah. Nama lembaga pun disamakan dengan lembaga pendidikan di pesantren ayahnya yaitu Raudlatul Ulum. Gagasan besar di zamannya, menjadi cikal bakal adanya madrasah tertua di Ampelgading.
Tahun 1971, demi mencapai arah pendidikan yang lebih matang, standarisasi mulai dilakukan dengan tertib administrasi dan memiliki kedudukan hukum (legal standing), tapi tetap mempertahankan partisipasi masyarakat pada program dan kegiatan. Madrasah Diniyah secara resmi berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Raudlatul Ulum.
Tahun 80-an, keadaan Tamanasri telah berubah drastis dari tiga dekade sebelumnya—dari masyarakatnya yang jauh dari nilai Islam, menjadi masyarakat yang agamis dan taat—para pemuda desa lulusan pesantren pun mulai berdatangan. Di kala itu, Kiai Dumyathi justru mengurangi aktivitas mengajar di pendidikan formal dan memilih dakwah ke masyarakat melalui pendampingan personal dari rumah ke rumah.
Beliau memandatkan madrasah kepada para santri muda dan kepada adik-adik iparnya yang telah menimba ilmu dari berbagai pesantren sebagai bentuk kaderisasi penerus perjuangan K.H. Musholli.
Sejak saat itu, Kiai Dumyathi mengisi kesehariannya menyusuri daerah ‘pinggiran’ yang nyaris tak terjamah; memasuki rumah-rumah warga sekadar singgah atau mendengarkan ludruk atau karawitan dari radio si pemilik rumah, menegaskan bahwa dakwah bukan hanya soal ceramah, tapi juga pengayoman dan pendampingan spiritual yang menenteramkan.
Tahun 2000, kesehatannya menurun setelah putera bungsunya meninggal dunia, puncaknya pada 2001 setelah beliau terserang stroke. Kiai Dumyathi wafat pada tahun 2004, lautan manusia yang merasa kehilangan mengiringi kepergian kiai yang mencintai mereka dengan setulus hati. [DR]
KETERANGAN:
Biografi singkat disadur dari cerita beberapa santri K.H. Dumyathi Bukhori yang masih hidup dan diabsahkan oleh keluarga.
