JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Kiai Afif: Pakar Ushul Fiqih yang Pro-Pancasila dan NKRI
Home » Kiai Afif: Pakar Ushul Fiqih yang Pro-Pancasila dan NKRI

JAS HIJAU – Saya turut bergembira mendengar kabar kalau Kiai Afif atau Kiai Khofi (sapaan akrab K.H. Afifuddin Muhajir) dianugerahi gelar kehormatan Doctor Honoris Causa (Dr. HC) oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum, yang juga almamaterku. Sebelum mempelajari dan menekuni ilmu-ilmu sosial (sosiologi, political science dan antropologi), baik S2 maupun S3, baik di Indonesia maupun Amerika Serikat, program S1 saya tempuh (selama 6,5 tahun) di fakultas dan kampus ini untuk mempelajari seluk-beluk hukum Islam dan “teman-temannya”.
Kiai Afif, yang kini diberi tambahan amanat sebagai salah satu Rais Syuriah PBNU dan Ketua DPP MUI Pusat yang membidangi bidang pengembangan metodologi berfatwa dan soal-soal kebangsaan, tentu saja tidak membutuhkan gelar kehormatan ini (dan juga gelar-gelar yang lain). Tetapi penganugerahan gelar ini menunjukkan pengakuan komunitas akademis atas peran dan kontribusi penting Kiai Afif, khususnya di bidang pemikiran ke-Islaman, wacana keagamaan, dan pendidikan pesantren.
Saya sendiri belum pernah bertatap muka secara fisik dengan Kiai Afif. Tetapi sudah lama saya mendengar kepakaran keilmuannya. Di forum-forum Bahtsul Masail NU, forum yang membahas persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan-kenegaraan dari sudut pandang ilmu-ilmu ke-Islaman, Kiai Afif termasuk “dugden”” atau pakar hukum Islam yang dinantikan pendapat, analisis, dan ulasan-ulasan genialnya.
Kiai Afif memang dikenal luas di kalangan para ilmuwan NU sebagai pakar ushul fiqih (dan juga fikih) yang sangat langka. Ushul fiqih (teori hukum Islam) adalah ibarat “pabrik” yang memproduksi fikih (hukum Islam). Banyak ulama/kiai yang ahli fikih tapi sedikit sekali yang ahli ushul fiqih. Salah satu ulama dan kiai NU yang ahli atau mumpuni di bidang ushul fiqih adalah almarhum Kiai Sahal Mahfudz (mantan Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI). Saya agak kenal dengan Kiai Sahal karena buku pertamaku dulu mengulas tentang pemikiran-pemikiran ke-Islaman/keagamaan beliau.
Memang sangat tidak mudah untuk menguasai ushul fiqih. Dibutuhkan seabrek perangkat keilmuan. Ia harus menguasai al-Qur’an dan tafsir-tafsirnya, hadis dan berbagai ilmu tentangnya, aneka metodologi penggalian hukum Islam, kitab-kitab ke-Islaman klasik dan kontemporer, dan lain sebagainya. Sangat rumit dan kompleks. Sebuah perkara sebelum diputuskan status hukumnya, memerlukan pengkajian yang sangat ketat dan metodologi yang tepat. Tanpa itu, keputusan hukum yang dihasilkan cenderung “ngawur” dan kontraproduktif.
Baca juga: Mengenal K.H. Afifuddin Dimyathi, Mutiara Nahdlatul Ulama (NU) yang Terpendam
Sudah banyak karya ushul fiqih (maupun fikih) yang dihasilkan oleh Kiai Afif, baik dalam bahasa Arab (seperti kitab Fath al-Mujib al-Qarib) maupun bahasa Indonesia (misalnya, Fiqih Tata Negara, Metodologi Kajian Fiqih, Fiqih Anti Korupsi, Membangun Nalar Islam Moderat, dan lain sebagainya).
Saat menerima gelar Dr. HC di atas, Kiai Afif menyampaikan sebuah makalah pidato pengukuhan berjudul Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Timbangan Syariat (Kajian Pancasila dari Aspek Nushush dan Maqashid).
Beberapa poin penting yang disampaikan oleh Kiai Afif yang juga Ketua Yayasan Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, ini adalah sebagai berikut. Pertama, Pancasila tidak bertentangan dengan syariat karena tidak ada satu pun ayat maupun hadis yang bertentangan dengan kelima sila-nya. Kedua, Pancasila sesuai dengan syariat karena ditemukan ayat-ayat dan berbagai hadis yang sesuai atau selaras dengan Pancasila. Ketiga, Pancasila adalah syariat itu sendiri (yaitu jalan bagi bangsa dan negara Indonesia).
Kiai Afif juga menegaskan bahwa: Pertama, NKRI yang berdasarkan Pancasila bersifat syar’i (baca, sesuai dengan spirit syariat Islam, al-Qur’an dan hadis). Kedua, Pancasila bukanlah penghambat atau penghalang untuk menerapkan aturan syariat (seperti dikemukakan kelompok radikal-Islamis). Ketiga, karena Pancasila sebagai Dasar Negara, maka tidak boleh ada produk hukum atau pun undang-undang yang bertentangan dengannya. Keempat, Republik Indonesia adalah negara yang didirikan atas “kesepakatan bersama” berbagai kelompok etnis dan agama.
Pandangan Kiai Afif yang pro-Pancasila dan NKRI itu bukanlah hal baru dan bukan hal yang aneh. Piagam Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983 merupakan tulisan tangan Kiai Afif muda yang didiktekan langsung oleh K.H. R. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), salah satu kiai/ulama kharismatik dan pendiri NU.
Kiai Afif memang murid/santri kesayangan Kiai As’ad. Sejak muda, karena kealimannya, Kiai Afif sudah dipasrahi tugas untuk mengajar para santri dan mengelola bidang keilmuan Pesantren Sukorejo yang Kiai As’ad dirikan. Bahkan Kiai As’ad sendiri menyuruh puteranya (K.H. R. Ahmad Fawa’id) untuk belajar dan mengaji secara privat dengan Kiai Afif. Hingga kini Kiai Afif masih mengabdi pesantren ini dan juga Ma’had Aly.
Baca juga: K.H. Aniq Muhammadun, Pakar Nahwu yang Tersembunyi
Demikianlah sekelumit cerita tentang Kiai Afif, seorang ulama langka ahli ushul fiqh yang sangat nasionalis, Pancasilais, dan NKRIs yang sangat layak mendapat Dr. HC. Bukan hanya itu saja, yang menarik lagi, Kiai Afif juga melarang panggilan “kafir” untuk umat non-Muslim di Indonesia karena, menurutnya, mereka tidak memenuhi syarat untuk disebut “kafir”, selain berbeda dengan konsep “kafir” dalam literatur dan sejarah Islam klasik. Sekali lagi, dari Arab Saudi, sangat mengucapkan selamat kepada Kiai Afif atas anugerah Dr. HC. ini. Semoga anugerah akademik ini bisa mendorong para kiai lain untuk meneladani Kiai Afif sebagai “kiai pemikir”, bukan “kiai politik” apalagi “kiai fulustik”. [DR]
