Kiai Ahmad Siddiq dan Adagiumnya yang Populer

kiai-ahmad-siddiq-dan-adagiumnya-yang-populer

JAS HIJAU – Ada sebuah adagium populer berbunyi begini: المُحافَظةُ على القَديمِ الصالِح والأخذُ بالجَديدِ الأَصلَح “Melestarikan hal-hal lama yang baik, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik”.

Adagium di atas merupakan representasi verbal dari prinsip-prinsip Aswaja NU (tasamuh, twasut, i’tidal, tawazun, dan sebagainya), sebagaimana tertulis dalam rumusan “Fikrah Nahdliyyah” tahun 1999-2006 dan rumusan “Aswaja al-Nahdliyyah” PWNU Jawa Timur tahun 2007. Terlepas dari adanya perbedaan terkait pemahaman dan pilihan kosa katanya, adagium di atas begitu populer serta sering ditulis dan diucapkan, baik oleh kalangan Nahdliyin sendiri maupun kalangan pengamat dari luar NU.

Salah satu pertanyaan yang muncul dalam benak saya sejak lama adalah: “Sejak kapan adagium itu muncul dan siapakah yang kali pertama memunculkan atau bahkan merumuskan redaksinya?”

Kesimpulan sementara saya, redaksi adagium di atas dirumuskan dan dimunculkan kali pertama oleh Kiai Ahmad Siddiq (1926-1991). Beliau adalah Rais Aam PBNU dua periode, yakni 1984-1989 dan 1989-1994, namun keburu wafat pada tahun 1991 dan digantikan oleh Kiai Ali Yafie. Alasan saya adalah sebagai berikut.

Pertama, rumusan konseptual “Fikrah Nahdliyyah” atau “Aswaja al-Nahdliyyah” terinspirasi dari gagasan pembaruan (tajdid) NU tawaran Kiai Ahmad Siddiq. Gagasan itu, pada awalnya, beliau tuangkan dalam buku beliau yang berjudul Khitthah Nahdliyyah. Dalam buku itu, beliau mencantumkan adagium di atas sebagai representasi verbal dari penerapan prinsip moderatisme (tawasut) Aswaja NU, terutama pada bidang kebudayaan.

Baca juga: Kiai Ali Yafie, Sebuah Obituari


Menurut salah satu sumber, buku itu merupakan transkrip ceramah beliau pada tahun 1978 yang ditulis oleh Kiai Muchith Muzadi (1925-2015). Pada bulan April 1979, buku itu dicetak di Bangil, Pasuruan, setelah diberi kata pengantar oleh Wakil Rais Aam dan Ketua Umum PBNU waktu itu, yaitu Kiai Masjkur (1904-1994) dan Kiai Idham Chalid (1921-2010). Dua bulan berikutnya, yakni pada momen Muktamat NU ke-26 di Semarang pada bulan Juni 1979, buku itu diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada muktamirin oleh Sekjen PBNU ketika itu, yaitu Kiai Moenasir Ali (1919-2002).

Meskipun belum menjadi pembahasan muktamar ketika itu, gagasan khitthah dan pembaruan NU sudah mulai dibicarakan orang. Puncaknya, setelah dicetak ulang pada tahun 1980, buku itu menjadi referensi utama perumusan Khitthah NU 1926 pada momen Munas Alim Ulama NU tahun 1983 dan Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo.

Kedua, setelah ditelusuri lebih lanjut, Kiai Ahmad Siddiq ternyata telah mengonseptualisasikan gagasan pembaruan NU sejak tahun 1969. Gagasan itu beliau tuangkan dalam buku beliau, “Pedoman Berpikir NU” (al-Fikrah al-Nahdliyyah), yang dipublikasikan oleh PMII Cabang Kabupaten Jember pada bulan Oktober 1969 dan dicetak ulang oleh FOSSNU Jawa Timur pada tahun 1992. Sekali pun banyak mengandung unsur politik (karena memang pada saat itu NU masih menjadi partai politik), buku itu memuat kerangka konseptual yang penting bagi gagasan pembaruan dan Khittah NU yang beliau tulis sepuluh tahun berikutnya.

Dalam buku itu, beliau menulis adagium di atas sebagai prinsip dari pembaruan (tajdid) NU yang beliau gagas. Frase “al-muhafazhah alal qadim as-shalih” beliau tulis sebagai prinsip untuk “menilai masa lalu”, sementara frase “wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah” sebagai prinsip untuk “mengembangkan masa kini”; kedua frase itu juga menjadi prinsip untuk “merintis masa depan”.

Baca juga: Gus Dur, Kebudayaan dan Khittah NU


Ketiga, hingga status ini ditulis, saya belum menemukan data baru tentang keberadaan redaksi adagium di atas pada masa lebih awal. Sejauh yang saya ketahui, sebelum buku Kiai Ahmad Siddiq tahun 1969, tidak ada karya yang menyebut redaksi adagium di atas secara eksplisit.

Karya-karya Kiai Hasyim Asy`ari (1875-1947), misalnya, lebih banyak menekankan sisi “konservasi” (melestarikan) tradisi bermazhab, sekali pun tidak menyebut istilah “al-muhafazhah”. Hal itu tentu berkait erat dengan “ancaman” dan “tekanan” ideologi puritan kaum reformis ketika itu, baik dalam skala lokal maupun global. Sementara itu, sisi “akomodasi hal-hal baru” (al-akhdzu) dari Kiai Hasyim Asy’ari bisa dipahami dari berbagai terobosan politik dan pendidikan yang beliau lakukan.

Dengan demikian, jika memang dirumuskan oleh Kiai Ahmad Siddiq, maka redaksi adagium itu sudah tentu tidak muncul dari “ruang hampa” ataupun hasil pikiran murni beliau. Ia justru merupakan kristalisasi dari pemahaman dan penghayatan beliau terhadap tradisi berpikir kiai-kiai NU sebelumnya. Tradisi berpikir itu, secara sosiologis, merupakan bagian dari tradisi pesantren yang secara genealogis berakar pada tradisi berpikir Wali Songo pada peralihan abad ke-15 dan 16.

Tradisi berpikir kiai-kiai NU atau tradisi pesantren itulah yang menjadi salah satu alasan penting keputusan Kiai Wahid Hasyim (1914-1953), putera Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari (1875-1947), untuk bergabung dengan NU. Keputusan itu beliau ambil pada tahun 1938, setelah melalui proses berpikir selama empat tahun, yakni sejak baru pulang dari Makkah pada tahun 1934.

Semua itu beliau ceritakan dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Kenapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama?” yang dimuat dalam Majalah Gema Muslimin pada bulan November 1953. Dalam artikel itu, beliau menegaskan bahwa para ulama NU sama sekali tidak “beku” dan “jumud”, tetapi senantiasa dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan keadaan, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Baca juga: Kiai Wahab Habullah, Sosok Kiai yang Enerjik


Itulah tiga alasan kenapa saya menyimpulkan, meski sementara, bahwa redaksi adagium di atas dirumuskan kali pertama oleh Kiai Ahmad Siddiq. Sudah pasti, kesimpulan itu sewaktu-waktu bisa berubah, seiring dengan adanya bukti data baru, terutama dari kawan-kawan Facebook yang berkenan membagikannya kepada saya, baik melalui komen, inbox, Email, Telegram, maupun WhatsApp. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *