Kiai Asymawi, Kiai Ummul Barahin

kiai-asymawi-kiai-ummul-barahin

JAS HIJAU – Hadirin, izinkan saya untuk menceritakan pengalaman yang amat berkesan ini. Sebagian dari Anda pasti tidak tahu siapa sosok istimewa yang ada di samping saya ini. Tapi ini benar-benar istimewa. Seumur hidup saya belum pernah menemui kiai semacam ini.

Apa gerangan yang menjadi keistimewaannya?

Jadi begini. Beliau ini orang Tegal. Usianya udah sepuh. Sekitar 96 tahun. Setiap malam Sabtu beliau berangkat naik mobil dari Tegal ke Jakarta (daerah Pisangan) untuk mengajar para muridnya. Setelah mengajar langsung balik lagi ke Tegal. Perjalanan bolak-balik bisa sampai 8 jam. Ingat, 8 jam.

Uniknya lagi apa? Beliau melakukan kegiatan itu dari usia 31 tahun. Dan masih berlanjut sampai sekarang! Apa kitab yang diajarkan selama kurang lebih 60 tahunan itu? Yang beliau ajarkan itu hanya kitab Ummul Barahin. Tidak ada kitab lain selain itu!

Bayangkan. Selama 60 tahun lebih istikamah mengajar satu kitab. Dengan perjalanan jauh pula!

Kenapa bisa mengajar seserius itu? Jawabannya, ya karena itulah kewajiban pertama bagi seorang Muslim. Yaitu mempelajari akidah. Tapi sayangnya kewajiban pertama ini justru yang sekarang paling banyak diabaikan.

Belajar akidah itu, kata beliau, adalah latihan sebelum nanti kita bertemu malaikat. Yang pertama kali ditanya kan soal akidah. Yang lain nyusul belakangan. Lihatlah bagaimana seorang alim tahu betul mahalnya sebuah ilmu. Sampai-sampai ia menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk satu kitab saja!

Saya yakin betul, kalau kelak beliau ditakdirkan masuk surga, kayaknya beliau ini termasuk orang yang akan paling dicari oleh Imam Sanusi. Usia boleh tua. Tapi urusan semangat, saya aja mengaku kalah.

Karena diminta untuk bicara, saya terpaksa bicara di hadapan para jamaahnya. Dan Anda tahu siapa jamaah beliau? Bukan dari kalangan santri. Tapi kelas-kelas pekerja yang sudah punya banyak kesibukan itu. Udah gitu yang dibahas ilmu akidah lagi!

Di sela-sela saya bicara, beliau menuliskan kalimat dalam secarik kertas. Begini redaksinya:

عاب علم الكلام أناس لا عقول لهم (Ilmu Kalam dipandang cacat oleh orang-orang yang nggak punya akal)

Jadi, kata beliau, yang suka menyepelekan Ilmu Kalam itu adalah orang-orang yang sudah kehilangan akal sehatnya. Bahasa kasarnya tidak punya otak lah. Dan memang faktanya begitu. Orang-orang yang suka sok kritis terhadap agama itu rata-rata tidak paham ilmu ini.

Kalau orang paham ilmu ini dengan baik, dia tidak akan punya celah untuk mengkritik ajaran Islam. Karena semua ajarannya berbasis pada bukti dan argumen yang sangat rasional. Inilah ilmu yang kita butuhkan di zaman sekarang.

Beliau menghabiskan lebih dari separuh hidupnya untuk ilmu itu. Coba Anda renungkan baik-baik kisah ini. Ada kiai sepuh yang bisa seistikamah itu dalam mengajar. Yang diajar adalah ilmu yang sangat penting. Tapi mirisnya ditinggalkan oleh sebagian Muslim di zaman sekarang.

Ummul Barahin ini memang bukan kitab sembarangan. Keistimewaannya banyak sekali. Sebagai orang yang diberikan kemudahan untuk men-syarah kitab itu, saya sangat bersyukur dengan perjumpaan ini.

Melihat ketekunannya dalam mengajarkan Ummul Barahin—yang tergolong sudah tidak biasa (khariq lil ‘adah) itu—saya ingin menyebut beliau sebagai Kiai Ummul Barahin saja. Meskipun nama aslinya K.H. Asymawi. Dan, saya yakin beliau akan senang dengan sebutan itu. [DR]


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *