JAS HIJAU | Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama
Kiai Masdar Farid Mas’udi dalam Catatan Hairus Salim HS
Home » Kiai Masdar Farid Mas’udi dalam Catatan Hairus Salim HS

JAS HIJAU – Pagi ini tiba-tiba saya ingat sosok ini. Saya kadang memanggilnya ‘mas’ saja, ‘mas kiai’, figure yang penting dalam tiga dekade terakhir ini di lingkungan pesantren dan NU. Gelar akademisnya tak tinggi ‘hanya dokterandes’ plus embel-embel M.A. di belakang yang jarang disebut. Tapi dia adalah pemikir yang orisinil, segar dan dahsyat. Dalam bahasa anak muda, dia adalah pemikir yang berbahaya.
Saya membedakan antara pemikir dan pengamat. Ada banyak orang yang rajin meneliti, mengamati dan menulis. Dan memang meneliti dan mengamati itu, plus mengajar, adalah kegiatan utama dan profesional mereka. Tapi ya sekadar meneliti dan mengamati, bukan menjadi pemikir, dalam pengertian melontarkan dan merumuskan pemikiran-pemikiran baru dan bertarung mempertahankan pemikiran tersebut. Sangat sedikit yang mampu dan mau melakukan ini, dan ini sama sekali tidak terkait dengan rendah atau tinggi gelar akademis.
Dari yang sedikit itu, Kiai Masdar salah satunya. Kiai Masdar bukan penulis prolifik. Ia juga bukan peneliti dan pengamat. Dia adalah pemikir, seorang yang mencurahkan pemikiran dan tenaga untuk merumuskan hal-hal baru, karena hal-hal yang lama dipandang macet dan buntu. Pemikirannya tentang zakat dan pajak, tentang hak-hak perempuan, dan konsititusi dalam Islam, sangat segar dan provokatif.
Kiai Masdar juga ideolog dan penggerak. Saya kira dialah orang yang mendorong pembacaan secara konstektual terhadap khazanah kitab kuning. Semangat menengok kembali khazanah kitab kuning sekarang ini berhutang banyak pada gagasan ‘kontekstualisasi kitab kuning’ yang dikembangkannya lebih tiga dekade lalu.
Baca juga: Tan Malaka dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
Melalui jurnal Pesantren yang dipimpinnya, ia juga memperluas medan perhatian kalangan pesantren melampaui masalah ibadah saja, tetapi meluas ke masalah-masalah seperti tanah, pajak, regulasi, dan lain-lain. Serta terutama melihat masalah itu dalam kaca mata maqashid syariah, dengan menyertakan di dalamnya analisis ilmu sosial.
Menurut saya, sosok seperti Kiai Masdar, sangat layak memperoleh gelar doktor atau professor, tapi mungkin karena ada ‘slilit’ saja anugerah ini tak pernah dibicarakan. Meski demikian, tanpa gelar seperti itu, ia tetap pemikir yang cemerlang, yang jejaknya meninggalkan pengaruh besar dan layak dikenang. [DR]
NB: Di ruanganku ada kumpulan artikel Kiai Masdar, jadi pingin menerbitkannya
